KESUKSESAN para nasabah membekuk direksi,para pemegang saham dan operator PT Promail Indonesia (PI), Tam Lan Chuan alias Henry Tan (Malaysia), Lee Shi Fai (Malaysia), Lo Wan Teng (Malaysia), Baljit Khaur (malaysia) dan Win Song Chian (Singapura) yang sedang bersiap-siap ingin meninggalkan Indonesia melalui Bandar Soekarno Hatta, Cengkareng, pada 25 September 2001 pukul 05.00 Wib dini hari, tampaknya akan menemukan ujung yang kurang membahagiakan. Padahal, sebelumnya kelima orang tersebut sudah sempat diperiksa di Mabes Polri.
Kini, setelah para nasabah berhasil membekuk mereka, pihak Kepolisian Daerah Metro Jaya, hanya menahan dua orang tersangka saja. Masing-masing Yacob Jaya (Indonesia), Managing Director PT PI dan Henry Tan (Malaysia). Sementara yang lainnya sudah dilepas pihak kepolisian dan kembali ke negara masing-masing.
Bagaimana cerita hingga para nasabah yang melakukan penangkapan? Begini. PT.Promail Indonesia merupakan sebuah badan hukum yang berpraktik dalam bidang investasi uang secara langsung. Dalam kegiatannya, seperti yang dituturkan Santoso, salah seorang members yang melaporkan para Direksi PT.PI kepada pihak kepolisian, di dalam parktiknya, PT.PI menyodorkan tiga bentuk paket investasi uang, masing-masing Plan A, C, dan D.
Setiap nasabah (members) yang ingin turut serta dalam kegiatan PT PI, maka si nasabah diwajibkan terlebih dahulu mengikuti paket C, yakni menyetor dana cash sebanyak US$ 5.500 yang mana dalam jangka waktu 14 bulan akan berlipat menjadi US$100.000. Si Nasabah, dalam setiap bulannya akan menerima bonus sebesar US$ 1.250 dari PT PI selama 14 bulan atau mengikuti Paket D yang jumlah setorannya lebih kecil, yakni US$228 yang selama 14 bulan akan menjadi US$1.870.Sementara setiap bulannya, nasabah juga kan menerima bonus sebesar US$75 selama 14 bulan.
Setelah menjadi members, maka Si Nasabah baru diperbolehkan mengikuti Paket A yang merupakan sistem meraih nasabah dalam bentuk jaringan. Bahasan kerennya multi level marketing (MLM).Bila para members sukses menggaet nasabah baru, maka members ini akan diberi bonus langsung sebesar 10% dari nilai investasi yang ditanamkam.
Pola dan rangsangan inilah yang membuat kita jadi tertarik dan getol mencari members baru,ungkap Santoso yang hingga kasus PTPI ini ditangani pihak kepolisian berhasil menggaet 600 nasabah (downline) dengan nilai investasi sebesar US$1.100.000. Hal serupa juga dikatakan Agus Tri yang memiliki downline sebanyak 6000 orang dengan nilai investasi sebesar US$8.000.000 dan Eko yang memiliki downline sebanyak 1.000 nasabah dengan nilai investasi sebesar US$44.000. Nah, menurut keterangan yang berhasil dihimpun PILAR Bisnis, PT PI yang melakukan operasi sejak Desember 2000, dimiliki oleh tujuh orang, yakni Yacob Jaya (WNI) yang sekaligus bertindak sebagai Managing Director, dan enam orang berkewarganegaraan asing, masing-masing Jhoni Chung (Hongkong), Tam Lan Chuan alias Henry Tan (Malaysia), Lee Shi Fai (Malaysia), Lo Wan Teng (Malaysia), Baljit Khaur (malaysia) dan Win Song Chian (Singapura). Sebelum PT PI yang beroperasi di Indonesia, PT. Promail sudah beropeasi di Brunei Darussalam, Hongkong, Australia, dan Malaysia.
Jhoni Chung yang berhasil buron dari Indonesia sebelum kasus ini ditangani pihak kepolisian, adalah otak yang mendirikan Promail di Brunei Darussalam dan Australia dan Indonesia.Sementara Henry Tan adalah otak dibelakang Promail di Hongkong dan Win Song Chian, warga negara Singapura adalah managing director Promail di Malaysia.Hingga saat ini, Henry Tan berstatus sebagai buronon interpol akibat kasus Promail di Hongkong.
Pada September 2001, Yacob Jaya dan Sony mengekspose kondisi PT PI kepada salah seorang, sebut saja Alex, bahwa PT PI sedang mengalami mis-manajemen yang bisa membawa PT.PI kearah kebangkrutan.Sony lantas menawarkan kepada Alex agar bersedia menjadi investor baru karena bila PT.PI dibenahi dengan baik dan diubah pola manajemennya akan membawa keuntungan yang cukup lumayan.
Melihat proposal bisnis yang cukup lumayan tersebut, Alex menyetujui untuk masuk sebagai investor.Hanya saja, A.Alex mengajukan syarat untuk melakukan due deligent terhadap PT.PI. Permintaan Alex disetujui para pemilik PT.PI. Sebagai calon investor baru, Alex meminta kepada Yacob Jaya agar diadakan rapat para pemegang saham PT.PI.
Maka dilakukanlah rapat disebuah hotel berbintang yang dihadiri oleh Yacob Jaya, Sony,Jhoni Chung, Tam Lan Chuan alias Henry Tan, Lee Shi Fai,Lo Wan Teng,Baljit Khaur, Win Song Chian, A.Alex dan Deny orang yang direncanakan A.Alex untuk melakukan due-deligent terhadap PT.PI sebelum dia masuk menjadi investor.Pada rapat ini, maka disepakati bahwa, sebelum A.Alex masuk sebagai investor baru, para pemegang saham lama diharuskan menyetorkan seluruh dana nasabah yang sudah diterima PT.PI.Untuk mewakili selama proses due deligent dan penyetoran dana nasabah, maka Deny ditugaskan untuk mengkordinasikan proses penyetoran dana nasabah yang dipegang para pemegang saham, sembari menjalankan tugas due deligent.
Apa yang terjadi? Tiga hari setelah rapat dilakukan, bukan dana yang disetor, malah Jhoni Chung kabur meninggalkan Indonesia.Mendengar kabar buronnya Jhoni Chung, Deny bersama Yacob Jaya menghubungi para pemegang saham yang lainnya yang menginap di Hotel Mandarin, Jakarta.
Setiba Deny di hotel, disini para pemegang saham yang WNA itu sedang bersiap-siap dengan tiket dan koper untuk berangkat menuju Bandara Soekarno Hatta.Namun, Deny menyarankan agar mereka berpamitan secara baik-baik dengan Alex, bila memang tidak ingin mememnuhi komitmen pada rapat sebelumnya.Kelima WNA ini menyetujui untuk berpamitan dengan Aalex.Maka meluncurlah mereka menuju kediaman Alex, namun Aalex tidak ada ditempat.Sedang keluar kota.Maka disarankanlah oleh Deny agar mereka menunda kepergiannya.
Setelah dua hari menunggu di hotel, Alex belum kembali ke Jakarta.Maka Deny menyarankan kepada Yacob Jaya, selaku Managing Director PI PI untuk mengambil tindakan melapor kepada pihak kepolisian.Sebab, ini menyangkut pertanggungjawaban dana nasabah yang jumlahnya mencabai 8.000 lebih dengan nilai lebih dari Rp75 miliar.Namun saran ini tidak disetujui oleh Yacob.
Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba pihak Kepolisian melalui Kasubdit Jatanras Koserse Mabes Polri, Komisaris Besar (Kombes) Pol Rizal Zein berhasil menangkap kelima WNA ini di tempat menginap mereka di sebuah hotel di kawasan Ancol, Jakarta, pada 21 September 2001. Menurut keterangan Kombes Rizal, kelima orang WNA ini selama tinggal di hotel, melakukan hubungan telpon dengan keluarganya di laur negeri dan mengatakan mereka diculik.Para penculik meminta uang tebusan dan ke lima WNA ini meminta agar kelaurganya mengirimkan uang ke Indonesia agar mereka dilepaskan.Namun, seperti yang dikatakan Rizal, pihak kepolisian ketika itu tidak berhasil meringkus pelaku penculikan dan kasusnya sedang ditangani Mabes Polri.
Apa yang terjadi kemudian, kelima WNA ini, setelah diperiksa di Mabes Polri dilepaskan. Para nasabah PT.PI lantas melaporkan mereka, termasuk Yacob Jaya kepada pihak kepolisian karena mereka merasa ditipu. Kemudian, sebagian dari nasabah lainnya mendatangi kantor PI PI di Lantai 17 Gedung Gajahmada Plaza, namun didapati lokasi kantor tersebut sudah disegel pihak kepolisian.
Dan lagi-lagi entah bagaimana cerita sebenarnya, hingga nasabah yang melakukan penangkapan terhadap kelima WNA ini di Bandar Soekarno Hatta, Cengkareng, pada 25 September 2001 pukul 05.00 Wib dini hari, ketika mereka siap-siap ingin meninggalkan Indonesia. Tampaknya baru kali ini terjadi, nasabah yang tertipu, menangkap sendiri para pelaku penipuan yang sudah disempat diperiksa pihak kepolisian. Yang pasti, semua ini bisa terjadi karena trik-trik bisnis ala MLM PT.PI.
Dalam aksi tersebut Henry Tan, General Manager PT Promail di tangkap oleh para nasabah ketika bersembunyi di toilet Bandara Soekarno-Hatta. Keesokan harinya, dengan bantuan polisi, beberapa nasabah juga menangkap Direktur Utama PT Promail, Jacob Jaya, di Bogor, Jawa Barat. Jacob, warga Jakarta, diperkirakan akan kabur ke luar negeri lewat Bandara Husein Sastranegara, Bandung.
Roesmanhadi yang Tertipu.
PADA Desember 2000, PT Promail Indonesia mengibarkan benderanya. Dibawah kendali Jacob Jaya dan Henry Tan, Promail mulai menjalankan trik-trik bisnisnya. Ketika itu, perusahaan penggandaan uang yang konon berpusat di Hong Kong tersebut muncul dengan penuh percaya diri. Tidak tanggung-tanggung, Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi turut menghadiri acara peresmian PT.PI yang mengambil tempat di Wisma Antara Lantai 14 Suite 1410B, Jl Merdeka Selatan ,Jakarta Pusat---belakangan pindah operasional di Lantai 17 Gedung Gajahmada Plaza. Keyakinan PT.PI tersebut sungguh menjadi kenyataan.Hingga kasus ini ditangani pihak kepolisian, setidaknya 9.000 orang sudah tercatat sebagai members. Perusahaan yang memiliki cabang di berbagai negara di Asia, seperti Malaysia, Singapura, Brunai, Macao, Thailand, dan di Australia. Skenario nasabah menggaet nasabah ini berhasil dan berjalan mulus.Tak heran dalam waktu hanya sembilan bulan perusahaan tersebut berhasil mengumpulkan dana miliaran rupiah. Diduga ratusan nasabah dirugikan akibat permainan bisnis ala MLM ini---PT Promail tak menepati janjinya.
Sistem manajemen yang dikembangkan PT.PI memang menjanjikan keuntungan yang cukup besar. Dari situlah kemudian, banyak warga masyarakat mendaftar menjadi anggota. Dan janji PT.PI memang menggiurkan, namun setelah tiba waktunya, PT.PI tak kuasa menepati.
Melalui sistem pemasaran berjenjang, PT Promail berhasil menggaet ribuan nasabah. Mereka tersebar diberbagai kota di Indonesia. Selain Jakarta, PT.PI membuka cabang operasional di Medan, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makassar.
Menurut para nasabah tersebut, untuk meyaakinkan calon korban perusahaan sering menjual nama Jenderal Roesmanhadi. Dengan menunjukkan foto Kapolri dalam peresmian PT Promail, mereka berhasil menarik minat para nasabahnnya.
PT.PI bilang, Roesmanhadi ada dibelakang perusahaan ini, ungkap seorang nasabah yang turut melapor di Polda Metro Jaya. Yang pasti, Roesmanhadi menolak namanya dikait-kaitkan dengan PT Promail. Menurut dia, kehadirannya di acara peresmian tersebut tas undangan Direktur Utama PT Promail, Jacob Jaya.Bahkan kepada wartawan, bekas Kapolri tersebut mengatakan bahwa uangnya sendiri turut ditipu oleh PT.PI.(K.H Abdurrahman Wahid tumbang dari kursi Kepresidenannya akibat Pansus Bulog dan Brunai yang dirancang secara apik oleh kalangan politisi senayan. Kini, setelah Rahardi Ramelan, Kabulog semasa pemerintahan B.J Habibie mengumbar cerita tentang kemana larinya dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 54,6 miliar dihadapan jaksa penyidiki di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, para politisi sibuk membrondong Akbar Tanjung yang berdasarkan cerita Rahadi menerima Rp40 miliar.
Padahal cerita Rahardi tidak hanya soal Ketua Umum Partai Golkar itu saja. Mantan Kabulog ini juga mengumbar cerita tentang mantan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto yang menerima dana sebesar Rp10 miliar yang katanya untuk PamSwakarsa.
Menurur Rahardi, dirinya mencairkan dana nonbujeter Bulog tersebut sesuai permintaan rapat kabinet yang dipimpin Presiden BJ Habibie.
Kini, cerita Rahardi dianggap sebagian orang merupakan sebuah cerita jujur dan apa adanya.Namun, tentu saja cerita itu tidak lengkap. Misalnya berapa besar dana non-bujeter Bulog yang diterima Rahardi ketika memangku jabatan Kabulog, menggantikan Beddu Amang.
Apa yang terjadi sebenarnya terhadap dana Bulog ini? Mengapa hanya Akbar, setelah Gus Dur yang ditembak habis-habisan? Berapa besar sih dana non-bujeter yang dikelola oleh Rahardi Ramelan yang menjabat sebagai Kabulog selama 14 bulan itu? Siapa yang memerintahkan Rahardi Ramelan untuk mengucurkan dana ini? Selain yang diceritakan Rahardi, masih adakah pihak lain yang menikmati dana Bulog? Sepantasnya, semua ini diungkapkan oleh seorang Rahardi Ramelan.
Nah, guna menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka napak tilas dilakukan. Satu persatu keterangan dan data itu dirajut, termasuk hasil diskusi beberapa orang tokoh dengan Jaksa Agung, Almarhum Baharuddin Lopa sebelum berangkat ke Riyadh.
Soal dana dana yang dialokasikan melalui Menseneg Akbar Tanjung itu ditangani oleh oleh M.S Hidayat dan Fadel Muhammad yang kebetulan ketika itu bersama beberapa pengusaha membentuk sebuah Yayasan guna mengentaskan kemiskinan (?)
Bila Akbar Tanjung lupa tentang nama yayasan ini, bisa dimaklumi karena memang dibentuk secara tergesa-gesa oleh kelompok pengusaha ini. Disamping itu, posisi Mensesneg yang dipegang Akbar ketika itu membuat dirinya larut untuk mem-backup posisi Presiden Habibie yang mendapat serangan dari berbagai pihak.
Disisi lain, kelompok Habibie mencanangkan target untuk tetap mempertahankan Habibie di kursi presiden.Namun, Akbar Tanjung kurang setuju terhadap target ini.Sehingga posisi Akbar sebagai Ketua Umum Partai Golkar digoyang habis-habisan oleh kelompok Habibie Iramasuka.
Tentu para politisi dan rakyat masih ingat, bagaimana Akbar, Marzuki Darusman,Mahadi Sinambela,Rambe Kamaruzzaman, Ekky Syahrudin terbelah dengan kelompok Iramasuka ini.Beragam upaya dilakukan untuk menurunkan Akbar dari kursi Ketua Umum Partai Golkar oleh kelompok ini yang dikomandani oleh A.A Baramuli. Dalam konteks dana Bulog dan posisi Akbar di Golkar, sebagai politisi yang telaten, tentu lelaki kelahiran Sibolga ini, tak melihat proses penyaluran dana ini semata-mata sebagai sebuah upaya pengentasan kemiskinan saja.Tentu, dibalik semua itu Akbar akan melihat dan skenario politik lain yang diarahkan kepada dirinya oleh lawan politik untuk menjebak dirinya sehingga bisa disingkirkan.
Pemikiran politik dan realitas politiklah yang kemudian membawa Akbar tidak ingin terlibat dalam penggunaan dana kucuran dari Bulog secara mendalam.Dan itu bisa terbaca dari surat Mensesneg (Akbar Tanjung) kepada Kabulog Rahardi Ramelan, ketika menanyakan dana dimaksud.
Tetapi, mari kita coba tinggalkan dulu soal Rp40 miliar yang ditudingkan kepada Akbar Tanjung.Sebab ada hal yang tampaknya lebih penting.Jika pemerintah benar-benar akan menjadikan hukum sebagai panglima dan KKN benar-benar dijadikan musuh bersama serta pemerintah berkomitmen jujur kepada rakyat.
Mari kita memulainya dari berapa besar posisi dana non-bujeter Bulog yang diserahkan Beddu Amang kepada Rahardi Ramelan yang menggantikannya sebagai Kabulog. Dan berapa besar dana yang diserahkan Rahardi Ramelan kepada Jusuf Kalla yang menggantikannya sebagai Kabulog.
Berdasarkan hasil telisikan yang ada, dana non-bujeter yang diserahkan Beddu Amang kepada penggantinya, Rahardi Ramelan adalah sebesar Rp700 miliar. Dan ketika Rahardi menyerahkan tongkat komando yang dipegangnya selama 14 bulan kepada Jusuf Kalla, dana ini menyusut menjadi Rp430 miliar.
Dari sini timbul pertanyaan, kemana dan untuk apa dana yang sebesar Rp270 miliar digunakan oleh Rahardi Ramelan? Bila kasus yang ditujukan kepada Rahardi Ramelan hanya sebesar Rp54,6 miliar saja, apakah dana ini termasuk dalam kelompok yang Rp270 miliar yang hilang? Bila demikian, kemana saja selisih yang sebesar Rp215,4 miliar dialokasikan? Sudah bisa dipertanggungjawabkan alias tidak bermasalah semua ini?
Selisih angka-angka ini akan menjadi membengkak bila turut dipertimbangkan dari posisi bunga rata-rata perbankan ketika itu yang mencapai 62%.Nah, dari angka Rp215,4 miliar ini, disebut-sebut dikalangan atas, turut kecipratan Gus Dur, ketika itu Ketua Dewan Syuro PKB, sebesar Rp 50 miliar, Hamzah Haz, ketika itu Ketua Umum PPP sebesar Rp26 miliar, Yusril Ihza Mahendra. Ketika itu Ketua Umum PBB sebesar Rp1,5 miliar dan Nurdin Khalid, melalui KDI-nya sebesar Rp189 miliar.
Mengapa ini semua bisa terjadi? Ya itu tadi, ada target kelompok Habibie Iramasuka untuk menjadikan sang ahli pesawat terbang ini untuk tetap duduk di kursi presiden.Dengan demikian, adalah sebuah langkah politik yang logis untuk mencari dukungan keberbagai faksi-faksi politik. Dan sudah diketahui secara umum, bahwa seorang Kabulog Rahardi Ramelan itu teman seiring sejalannya B.J Habibie.
Lantas, pertanyaan terakhirnya adalah, apakah semua pengucuran dan Bulog tersebut atas perintah Presiden Habibie?.Sebab hanya presidenlah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkannya. Atau ada kreasi lain dari Kepala Bulog kita?
Yang jelas, berdasarkan keterangan Kabulog saat ini, Widjanarko Puspoyo kepalanya sedang pusing. Pasalnya, sampai sekarang masih berupaya mencari dokumen otentik, agar pengucuran dana itu bisa di katagorikan pinjam meminjam, dan bukan perbuatan hukum yang lain. Dokumen itu tidak saya temukan. Jika pinjam meminjam seharusnya ada kewajiban yang harus dipenuhi peminjam, ungkap Widjanarko. Kemana pula dokumen ini? Beginilah ujungnya bila kasus hukum dieksplotasi dari sisi politik.Bukti otektik tidak ada, tetapi secara politik seseorang hancur dan tumbang.Sampai kapan hukum kita akan terus dipolitisir? (Guntur Taruna)
© Copyright 2024, All Rights Reserved