Sadarestuwati duduk tafakur dalam balutan busana muslimah, di sebuah kursi depan lift lantai 6 Gedung Nusantara I, MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Rabu pagi pekan lalu. Sepagi itu ‘belum pukul 7’ anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR ini, menunggu ruang kerjanya dibuka.
Seorang pesuruh, tergopoh-gopoh keluar dari pintu lift, menuju ruangan 621, membukakan pintu sang empunya ruangan. Tak ada raut muka masam apalagi marah. Senyumnya bahkan mengembang, begitu melihat sang pesuruh berlari tergesa-gesa, seperti merasa bersalah. Hj. Sadarestuwati SP M.MA, sang empunya ruangan itu pun mengajak politikindonesia memasuki ruangan yang tertata rapi.
Beberapa foto keluarga memenuhi dinding. Di sudut kanan atas, foto orang tua terbingkai dengan indahnya. Sedang di dinding depan meja, tergantung foto kedua putri dan seorang putra, masing-masing Churrotun Nisa, Salsabila Animatun Nisa dan M Satrio Dewantoro yang masih balita. Juga terpampang foto suami tercinta, Ir HM Masykur M.MA. Itulah bentuk penghargaan terhadap orang-orang terdekatnya.
Perempuan kelahiran Jombang, 26 Juli, empat puluh tahun lalu, merupakan figur ibu rumah tangga yang hangat dan sangat care dengan keluarga, meski kesibukannya sebagai anggota dewan sangat menyita waktunya. Master di bidang manajemen agribisnis itu tanpa malu mengakui sebagai petani yang mendapat amanah menjadi wakil rakyat.
Tidaklah mengherankan jika di benaknya tersimpan segudang cita-cita untuk memajukan kaum petani, khususnya di daerah pemilihannya, Ada keprihatinan mendalam ketika kaum petani dalam politik ekonomi belum mendapat prioritas di negeri ini. Padahal data penduduk miskin 2004 mencatat 21,265 juta dari 36,147 juta penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Keprihatinan itulah yang memicunya untuk mencoba peruntungan menjadi anggota DPR (2009-2014).
Ia pun dipercaya partainya, PDI Perjuangan, duduk di Komisi V yang membidangi sektor Perhubungan, Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Tertinggal, Badan Meteorologi, Klimatologi & Geofisika, Badan SAR Nasional dan BPLS.
Bagaimana gagasan dan pemikirannya dalam memajukan petani di pedesaan. Apa pula komentarnya terhadap Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, berikut petikan wawancaranya dengan Sapto Adiwiloso dari politikindonesia di ruang kerjanya, Rabu (03/03).
Apa yang diupayakan Komisi V dalam mempercepat pembangunan pedesaan?
Banyak program yang bisa diimplementasikan di level bawah. Di sektor Pekerjaan Umum, misalnya, terdapat program PPIP (Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan). Di sektor Perumahan Rakyat terdapat program rumah swadaya. Sedang di sektor Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) ada program pembinaan usaha kecil menengah, program bantuan bagi masyarakat miskin, dan program di bidang peternakan. Pendeknya di komisi kami, banyak program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil di pedesaan. Karena itu, jika program pemberdayaan tersebut dikelola dengan baik dan tepat sasaran, saya optimistis, jumlah masyarakat miskin akan berkurang dari tahun ke tahun.
Pertanian dalam politik ekonomi masih ditempatkan sebagai nomor dua, komentar anda?
Yang namanya petani selalu tidak dapat lepas dari pengaruh-pengaruh atau bahkan dipakai untuk media politik bagi penguasa. Pemerintah masih menganggap petani itu salah satu komoditas politik. Sehingga petani kita sangat berbeda dengan petani-petani di negara lain. Bisa dikatakan petani kita tidak dapat menikmati hasil karyanya sesuai keinginannya.
Semua dikendalikan pemerintah. Petani tidak bisa menjual hasil produksinya dengan harga tinggi, mengikuti harga dunia. Begitu petani menaikkan produk pertanian mereka seperti pangan, gula dan produk yang menyangkut kebutuhan masyarakat banyak, pasti ditekan. Hal ini karena keberpihakan pemerintah kepada petani masih kecil. Di Jombang, daerah pemilihan saya, pertanian begitu pesat kemajuannya, karena peran Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) begitu menonjol.
Kebetulan saya pernah menjadi ketuanya. Ini artinya, kami memahami betul kondisi wilayah kami, sehingga bisa men-support masyarakat kami yang mayoritas petani. Kata kuncinya, jangan pernah menjadikan petani sebagai komoditas politik. Melalui HKTI, kami memfasilitasi petani untuk menjual hasil produksinya langsung ke pabrikan, tanpa harus melalui tengkulak atau pedagang.
Memotong rantai birokrasi pemasaran, itu salah satu upaya agar petani tidak terjerat ijon, yang selalu menyengsarakan petani. Kami juga menjalin kerjasama dengan dinas terkait. Bupati pun kami ajak berkeliling menemui para pengusaha rokok, untuk memasarkan tembakau petani. Hal itu kami lakukan secara rutin setiap tahun. Door to door.
Kami juga menjalin kerjasama dengan salah satu pabrik makanan yang memproduksi, makanan kecil dari bahan kacang tanah. Bahkan waktu itu, kami langsung membuat MoU dengan perusahaan tersebut untuk pengadaan jagung pulut. Perusahaan harus membeli produk jagung petani tersebut. Dan mereka mematuhinya. Kepada pengurus HKTI baik di kabupaten maupun di kecamatan-kecamatan, kami instruksikan agar melayani masyarakat dengan tulus.
Jangan pernah ada pengurus dari kabupaten maupun kecamatan yang meminta uang dari petani dengan alasan untuk menjalankan organisasi. Pelayanan kepada masyarakat, semua kami gratiskan. Dana kami cari sendiri. Jalin kerja sama dengan pihak sponsorship. Maret ini saya reses. Saya sudah beritahu kepada semua pabrikan bahwa kami akan mengadakan road show ke desa-desa atau kecamatan untuk menyosialisasikan program-program HKTI. Pabrik sangat menyetujui karena pabrik punya kepentingan mendapatkan bahan baku. Jadi HKTI tidak keluar uang tapi bisa menjalankan programnya karena disuport pabrik.
Tapi bagaimana dengan standar mutu yang dikehendaki perusahaan, apakah petani anda bisa memenuhinya?
Petani punya kelemahan karena tak punya alat processing. Lalu waktu itu kami minta agar pabrik bisa langsung menampung produk petani tanpa harus melalui proses pengeringan dulu. Bahkan kalau perlu, jagung dalam bentuk glondong sudah bisa diterima pabrik. Jadi pipilan basah pun sudah diterima pabrik karena sudah menyediakan dryer (mesin pengering). Jadi begitu panen petani langsung kirim, dan tidak ada masalah. Kerusakan itu terjadi kalau jagung dua malam tertunda. Tapi dengan cara pengiriman langsung, kerusakan pun dapat diminimalisir.
Apa pola semacam ini juga bisa diterapkan di daerah lain?
Sangat bisa. Satu hal lagi, yang membedakan Jombang dengan daerah lain, Kami sudah memberikan asuransi kepada 8.000 petani. Petani tidak dipungut biaya sepeser pun. Memang belum jumlah yang besar tetapi paling tidak itu sudah memberikan dukungan kepada petani, betapa pentingnya jaminan keselamatan bagi seorang petani. Namanya petani di musim hujan kan biasanya ada petir. Atau ketika menyangkul terkena cangkul dan sebagainya. Asuransi bisa berfungsi sebagai upaya prefentif. Kami berusaha memberikan kesadaran mulai dari situ. Di Komisi V ada mitra kerja yang namanya Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
Itu sangat berguna bagi petani karena petani menentukan kapan mulai tanam dan tanaman apa yang akan ditanam. Kemudian seberapa besar curah hujannya. Ini sangat menentukan pola tanam. Katakanlah, musim tanam kedelai mulai Februari, kalau tanamnya molor sampai Maret, produksinya akan tidak bagus karena serangan hamanya tinggi. Artinya, kita harus cari varietas lain yang lebih tahan.
Tapi bagaimana bentuk sosialisasinya kepada petani?
Ya informasinya dilancarkan. Saya mencoba bicara dengan BMKG, bagaimana agar dibuat program semacam pendidikan pelatihan untuk petani berkaitan dengan klimatologi. Kami menyadari, mendidik petani itu tidak bisa instan. Tapi setidaknya, melalui tahapan itu para ketua kelompok tani yang mengikuti bisa menyampaikan pengetahuannya kepada anggota. Kami juga sudah meminta kepada Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (Meneg PDT) untuk memfasilitasi pembangunan saluran-saluran air secara tersier di masyarakat pedesaan dengan anggaran yang ada. Karena jika mengandalkan anggaran dari pemerintah kabupaten, kecil kemungkinan terlaksananya.
Bagaimana seharusnya pembangunan tata ruang agar lahan petani tidak terganggu?
Saya pernah menekankan melalui dirjen tata ruang di kementerian terkait, agar pemerintah daerah sesegera mungkin menyelesaikan rencana tata ruang wilayahnya karena itu menjadi acuan untuk rencana pembangunan daerah. Paling tidak di situ juga sudah ada pemetaan wilayah. Bahwa ini wilayah pertanian yang tidak boleh ada pembangunan industri atau perumahan. Sebaliknya, begitu ada wilayah perumahan harus ada saluran irigasi bagus untuk menghindari banjir dan lain-lain. Demikian juga di daerah industri. Jadi pemetaan-pemetaan itu sudah ada, tertata dan sudah dalam pembuatan RT/RW juga harus dipikirkan untuk jangka waktu panjang. Itu telah kami upayakan melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi V.
Mengapa regulasi terkait perlindungan petani masih sangat sedikit?
Saya sudah sering sekali ngomong. Hampir di setiap diskusi masalah pertanian saya sering membahas hal itu. Keberpihakan kepada petani masih sangat sloganistik. Namun faktanya tidak pernah terealisir. Lucunya, pembahasan masalah petani selama ini selalu dilakukan di tempat-tempat nyaman seperti di hotel-hotel berbintang. Hasilnya petani tetap saja termarjinalkan. Ini fakta yang tidak bisa kita tutup-tutupi. Keinginan petani sebenarnya sederhana sekali.
Petani tidak butuh subsidi serba gratis. Yang diinginkan petani itu utamanya kepedulian, perhatian pemerintah kepada petani. Pemerintah juga perlu memberikan jeminan atas produk-produk yang dihasilkan kepada petani. Bukan harus memberikan pupuk gratis, benih gratis. Bukan itu ! Wong petani itu, kasarannya dikasih pinjaman dengan bunga 20% pun sanggup koq mengembalikan. Pasti dilunasi. Tidak ada ceritanya petani ngemplang. Gagal panenpun dia akan tetap membayar. Petani itu orang yang jujur dan mau bertanggung jawab. Karena itu, kalau koperasi-koperasi tani yang menunggak, harus dilihat dulu, siapa yang melakukannya.
Dalam banyak kasus, ada dugaan uangnya diselewengkan oknum-oknumnya. Modus operandinya, oknum tersebut memiliki sertifikat tapi dia tidak punya lahan itu karena sudah disewakan. Tapi tetap meminta fasilitas pinjaman. Di Jombang, kasus-kasus seperti itu sudah tidak ada lagi. Karena yang namanya kelompok tani tidak lagi berlandaskan alamat tetapi berlandaskan hamparan. Siapa yang mengerjakan, itulah yang menjai anggota kelompok tani. Jadi tidak ada fiktif-fiktifan.
Dalam menghadapi ACFTA tantangan petani lebih besar lagi. Bagaimana mempersiapkan mereka agar tidak kalah dalam persaingan?
Kalau program ini dilaksanakan, hancur kita. Itu kebijakan yang sudah keblinger. Kita tidak pernah mampu bersaing dengan China. Karena pertanian kita masih bertumpu pada konsep padat karya. Kalau kita menggunakan mekanik (mesin), berapa jumlah penganggguran yang akan terjadi? Jangan lupa, serapan tenaga kerja paling banyak di pertanian. Kita bukan Taiwan. Kalau di Taiwan, pengelolaan lahan 5 ha cukup dilakukan suami istri dengan menggunakan mesin. Baik tanam maupun panen. Di sana akses infrastrukturnya luar biasa. Bahkan infrastruktur jalan sudah dibangun sehingga sarana jalan untuk mengangkut produk-produk pertanian sudah tersedia. Nah di negara kita, sebaliknya. Jadi bagaimana harus bersaing?
Apakah Thailand juga menjadi ancaman bagi produk pertanian kita?
Pemerintah Thailand betul-betul serius dalam memajukan pertanian. Mereka sangat peduli dengan kehidupan petani. Di negara kita, pemerintahnya tidak seperti itu. Masih ingat tahun 1969/1970 kita mulai diperkenalkan pupuk anorganik dan diberikan secara cuma-cuma kepada petani, tanpa didampingi petugas penyuluhan. Misalnya lahan satu hektare perlu pupuk berapa, petani tidak tahu, karena memang tidak pernah diwacanakan. Penyuluh pertanian itu memiliki peran penting dalam menyejahterakan petani.
Di sini, pemerintah gencar memberikan subsidi tapi tanpa dibarengi pengawalan. Dulu, petani kita jika tidak ada pupuk anorganik, mereka menggunakan pupuk kandang. Tidak ada pestisida mereka menggunakan daun-daunan seperti mojo, kenari, tembakau dan sebagainya. Di kelompok petani binaan kami, hal-hal seperti itu masih kami budayakan. Saya sendiri masih menggunakan pupuk semacam itu.
Seberapa besar kontribusi Kantor Kementerian Negara PDT dalam memacu pembangunan di daerah tertinggal?
Memang anggaran Kemeneg PDT tidak terlalu besar. Bahkan dapat dikatakan sangat terbatas. Namun Kemeneg PDT harus dituntut untuk tetap memberikan support kepada pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah miskin dan tertinggal. Karena itu, program-program Kemeneg PDT harus sinkron dengan program-program pemerintah daerah setempat dan harus saling bersinergi. Tak hanya dengan pemerintah daerah tetapi juga dengan lintas kementerian. Dengan begitu, Kementerian PDT dapat membantu percepatan pembangunan di daerah tertinggal.
Ada 199 kabupaten yang termasuk daerah tertinggal. Apa yang harus diprioritaskan?
Di Kementerian PDT ada program bantuan untuk UKM, ternak dan sebagainya. Namun yang mendesak ya pembangunan infrastruktur pedesaan seperti pembangunan saluran tersier tadi. Juga membantu masyarakat pedesaan di sektor perekonomian seperti pembangunan pasar desa. Untuk menumbuhkan perekonomian di pedesaan.
Biografi:
Nama Lengkap : Hj. Sadarestuwati SP, M.MA
Tempat/Tgl lahir: Jombang 25 Juli 1970
Fraksi : PDIP
Dapil : VIII Jatim
Anggota Komisi : V
Pendidikan terakhir: Magister Manajemen Agribisnis Univ.Wijaya Kusuma, Surabaya
Anak : 1. Churrotun Nisa 2. Salsabila Animatun Nisa 3. M.Satrio Dewantoro
Suami : Ir.HM. Masykur M.MA
Pengalaman Organisasi : Ketua HKTI Kabupaten Jombang (2005), Dewan Penyantun GN-OTA Kabupaten Jombang Pendiri dan Pengelola P4S Sedulur Tani Pendiri dan Pengelola Estu Center Bendahara Masyarakat Desa Hutan (MDH) Center Kab.Jombang Pembina Jombang Motor Club
© Copyright 2024, All Rights Reserved