Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menyambangi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jumat (21/6/2024).
Kehadiran mereka untuk mengadukan ketua sekaligus seluruh anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) karena telah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu.
Koalisi menganggap seluruh anggota KPU RI periode 2022–2027 telah melanggar kewajiban hukum dan etika untuk mengakomodir paling sedikit 30% keterwakilan perempuan pada daftar bakal calon legislatif di Pemilu DPR dan DPRD Tahun 2024.
Padahal, ketentuan tersebut merupakan perintah eksplisit dari Pasal 245 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pengabaian hukum oleh seluruh anggota KPU tersebut dilakukan secara terang-terangan dengan melanggar perintah hukum Putusan Mahkamah Agung (MA) No 24 P/HUM/2023 dan Putusan Bawaslu No 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/ XI/2023. Meski sudah ada putusan MK dan Bawaslu, namun KPU bergeming.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Mike Verawati Tangka, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia yang juga menjadi inisiator Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan untuk mengadukan KPU RI ke DKPP, di kantor DKPP, Jumat (21/6/2024).
Mengapa akhirnya memutuskan melapor ke DKPP?
Karena KPU tidak segera mengubah atau berkomitmen untuk mengubah peraturan terkait pemenuhan 30% keterwakilan perempuan berdasarkan case terakhir yang sebenarnya juga diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kasus di Gorontalo.
Di mana MK juga sudah memutuskan pemilihan ulang di Gorontalo akibat pelaporan yang tidak memenuhi 30% keterwakilan perempuan. Artinya ada proses peninjauan suara ulang yang juga diberikan pada Keputusan MK.
Kami juga menyoroti bahwa proses ini kenapa tidak juga direspon secara cepat oleh KPU, bahwa ini harusnya juga sudah harusnya kembali kepada komitmen yang sebenarnya sudah lebih dulu juga diputuskan oleh Mahkamah Agung bahwa peraturan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 khususnya Pasal 28 ayat 2 itu harus segera dikembalikan kepada hasil atau mandat dari MK untuk dikembalikan bahwa pengaturan 30% itu tidak perlu lagi melalui prosedur perhitungan ke bawah.
Mengapa KPU sepertinya secara sengaja mengabaikan semua putusan itu?
KPU sepertinya memang terlihat tidak punya komitmen dan memang tidak punya keinginan untuk mengembalikan. Padahal ini jelas sekali, sudah banyak Keputusan yang meminta atau memandatkan secara tegas, agar KPU mengembalikan regulasi soal pemenuhan 30% keterwakilan perempuan dalam proses Pemilu.
Meskipun dalam proses-proses ini sudah menunjukkan, tetapi sampai dengan detik ini KPU tidak mengindahkan, KPU tidak melihat proses-proses itu untuk segera memperbaiki regulasi KPU yang sudah menurunkan atau mencederai prinsip affirmative action, yaitu pemenuhan 30 persen keterwakilan perempuan.
Siapa saja yang tergabung dalam koalisi ini?
Oleh karena itu, kami bersama-sama, ada Koalisi Perempuan Indonesia, ada INFID, Kalyanamitra, Perludem, NETGRIT, ada perwakilan dosen, dan ada juga dari Maju Perempuan Indonesia. Kami melaporkan KPU yang tidak bersegera atau tidak berkomitmen dalam mengembalikan prinsip affirmative action 30% keterwakilan perempuan hingga sampai pada kasus yang juga diputuskan, yaitu yang terjadi di Gorontalo sehingga ada pemilihan ulang.
Karena ini sudah berlangsung, mungkin kita bisa tanyakan juga pada mereka, bagaimana keseriusan dengan memberikan sanksi yang bisa menimbulkan efek jera.
Dampak apa yang dikhawatirkan sehingga Anda dan teman-teman menyampaikan protes langsung ke DKPP?
Kami ini akan melakukan Pilkada. Bagaimana ini bisa kita biarkan? Padahal sudah jelas, kasusnya juga sudah ada. Kasus Gorontalo ini harusnya menjadi sebuah ketakutan bagi KPU. Bagaimana kalau nanti wilayah lain, yang tadi digambarkan ada 267 temuan kami, yang di Dapil itu tidak memenuhi 30% keterwakilan perempuan pada saat pendaftaran.
Itu ternyata terbukti ada sekian 8.000, yang bisa jadi sekian 8.000 itu masuk ke wilayah provinsi maupun juga wilayah kabupaten kota. Ini saja tidak diapa-apain. Kalau pelanggaran ini sudah dibiarkan, bagaimana nanti ketika Pilkada? Bisa jadi akan lebih banyak pembiaran yang mengabaikan hak politik perempuan.
Artinye meskipun ada ribuan laporan bahwa jumlah perempuan tidak mencapai 30% tapi juga tidak ada sanksi, tidak ada teguran, bahkan mengabaikan putusan?
Ini bentuk ketidakprofesionalan dari proses ini. KPU dalam proses ini, terang benderang faktanya dan keputusannya selalu kami selalu ada di posisi yang menang, bahwa ini pelanggaran. Ke Bawaslu kami mendapatkan bahwa itu terbukti pelanggaran administratif, ke DKPP yang pertama juga begitu sampai akhirnya DKPP juga memberikan peringatan keras kepada ketua dan juga komisioner yang lain, dan Mahkamah Agung (MA) ketika kami juga mengajukan bahwa Pasal 8 Ayat 2 PKPU 10/2023, itu melanggar hak konstitusi, melanggar juga hak politik dari kandidat perempuan yang akan berproses dalam Pemilu maupun Pilkada.
Tetapi itu tidak dijadikan sebuah mandat yang kuat bahwa ini harus segera karena sebenarnya sudah banyak. Ada apa sebenarnya?
Ini kan sebenarnya secara terang benderang, KPU memang betul-betul melakukan pengabaian dan tidak melihat bahwa prinsip ini penting.
Jadi Pemilu yang sudah berlalu kemarin adalah pemilu yang mengabaikan soal keterwakilan perempuan?
Iya. Menurut kami, Pemilu yang mengabaikan ini adalah Pemilu yang cacat. Karena apa? Karena mereka secara terang benderang telah mengabaikan dan juga mematikan atau meminggirkan hak perempuan. Mulai dari proses regulasi teknis saja. Bahkan sejak pendaftaran. Ini bukan Pemilu yang dikatakan bahwa ini pemilu yang demokrasi, pemilu yang berasaskan adil, itu sama sekali tidak terjadi
Kenapa KPU bisa sepercaya diri ini melakukan pengabaian terhadap aturan yang sudah jelas?
Saya kira kita semua sudah banyak mendengar kasus-kasus yang terjadi di KPU. Bahkan ada semacam juga tudingan, bahwa ini mereka tidak independen, mereka diintervensi. Jadi saya pikir ini adalah bagian dari konspirasi. Konspirasi yang terstruktur, masif dan sistematis. Yang tujuannya mungkin memang ingin mengajukan orang-orang tertentu, kelompok tertentu, bahkan mungkin juga yang berkaitan dengan dinasti, nepotisme, seperti itu. Bahkan juga dipotong melalui kebijakan yang sebenarnya itu tidak perlu dilakukan.
Artinya dengan mengabaikan 30 persen ini di dalam setiap dapil, artinya mungkin ada, maaf kata, orang-orang yang dititipkan itu tidak bisa. Itu mungkin pemikiran yang bolehlah dibilang itu parno, tapi seperti itulah yang kami pikirkan. Dan ini mau Pilkada. Kalau itu tidak ada sebuah sikap yang jelas dan tegas, saya pikir Pilkada juga akan mengalami situasi yang sama.
Dengan kasus ini, dampak apa yang terjadi pada perempuan?
Jelas perempuan akan mengalami situasi yang tidak adil. Ruang-ruang yang katanya afirmatif, itu tidak terjadi. Dan tentu saja perempuan dirugikan. Perempuan yang punya kapasitas, perempuan yang memiliki kemungkinan untuk misalnya menjadi pemimpin daerah, itu tidak bisa berproses dengan setara, adil di dalam Pilkada nanti. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved