Isu advokasi terkait tambang mineral dan batu bara (minerba) biasanya dianggap isu maskulin. Jarang perempuan yang mau bergerak di isu tersebut. Tapi hal tersebut tidak berlaku bagi Mimi Surbakti, Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari.
Mimi Surbakti memilih bergerak di isu ini setelah melihat dampak lahan tambang batu bara milik PLTU di Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara. Pengelolaan limbah PLTU dan ekspolitasi tambang batu bara menimpulkan efek kesehatan yang buruk pada masyarakat sekitar. Tahun 2017, Mimi tergerak untuk terjun langsung bergerak mengadvokasi masyarakat sekitar melalui Srikandi Lestari.
Mimi mengedukasi, meski ternyata masih banyak warga yang percaya bahwa negara tak mungkin berniat jahat pada mereka. Tapi langkah Mimi tak pernah surut. Mimi terus berjuang dan mendampingi siapapun warga yang dirugikan oleh isu tambang dan hutan.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Mimi Surbakti, Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari. Berikut petikannya:
Apa sebenarnya hal yang paling meresahkan bagi pegiat lingkungan saat ini?
Bagi kami pegiat lingkungan, hal yang paling meresahkan saat ini adalah pihak penjaga negara tidak berpihak pada masyarakat kecil. Mereka lebih berpihak pada kekuatan besar, yaitu oligarki. Dan itu menjadi sumber keresahan kami karena hal itu menyebabkan timbulnya ketidakadilan di sesame warga negara.
Ketidakadilan seperti apa yang paling terasa?
Paling terasa adalah di penegakan hukum. Ketika ruang hidup kita dirampas, lalu kita melakukan advokasi dan perlawanan, tapi ternyata aparat selalu berpihak pada pemilik modal, pada pihak yang punya uang. Sementara kami sebagai masyarakat kecil dipaksa untuk menerima pilihan penguasa. Kami diminta untuk mengikuti maunya penguasa dan pemilik modal.
Ada aparat, tapi mereka juga selalu berpihak pada pemilik modal, pada yang punya uang. Akhirnya kami sebagai masyarakat yang bersentuhan langsung dengan lingkungan yang dieksploitasi terpaksa dan dipaksa menerima kondisi yang sebenarnya sangat merugikan bagi kami.
UU kita sendiri saat ini juga sudah tidak lagi berpihak pada masyarakat sipil. Atas nama Proyek Strategis Nasional, masyarakat dipaksa harus tunduk pada aturan PSN. Itu sudah tidak betul. Negara diamanatkan untuk menjaga dan melindungi rakyatnya. Negara diamanatkan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Tapi yang terjadi hari ini, kita dipaksa untuk menerima saja keputusan negara terutama dalam wilayah-wilayah yang menjadi Proyek Strategis Nasional itu.
Sejak kapan merasakan situasi tidak adil ini?
Sebenarnya sudah sejak lama ini terjadi. Tapi semakin ke sini saya rasa semakin parah. Semakin ke sini maksudnya di era pemerintahan
Jokowi ini semakin parah?
Wah, iya. Era Jokowi ini semakin parah. Revisi UU Minerba itu semakin merugikan kami. Di situ kan dikatakan, wilayah tambang baik di darat maupun di lautan, itu akan dikelola negara. Jadi kalau ada wilayah di tempat kita yang setelah dicek ternyata berpotensi tambang, maka kita harus siap dipindahkan, direlokasi, harus siap terima ganti rugi, yang sebenarnya memang benar-benar merugikan kita.
Ada contoh konkretnya?
Ada Perpres yang mengatakan bahwa FABA (fly ash and bottom ash-red) tidak lagi menjadi limbah beracun dan berbahaya di wilayah tambang batu bara. Itu hal yang sangat merugikan bagi masyarakat. Selama ini kan PLTU diwajibkan mengelola limbahnya agar tidak merugikan dan berdampak buruk bagi masyarakat. Tapi ketika mereka mengelola sendiri limbahnya, maka keuntungan mereka jadi berkurang hingga separuh. Berkurang jauh. Lalu bagaimana supaya keuntungan penuh, caranya ya dengan mengatakan bahwa FABA itu tidak berbahaya. Sehingga pengelolaan limbah juga dibagi-bagi ke warga. Padahal warga tidak punya modal dan kekuatan untuk mengelola limbah. Akhirnya FABA dijadikan tanah timbun.
Menurut Anda apa dampaknya di masyarakat?
Ini jadi pembelajaran yang menyesatkan ke warga ketika disampaikan bahwa limbah ini tidak beracun buat mereka. Bagi mereka yang sangat yakin dan percaya bahwa negara tak mungkin berbuat jahat pada mereka, mereka sangat percaya itu tidak beracun. Mereka yakin tidak mungkin negara berniat jahat pada warganya. Jadi ketika kami memberikan edukasi yang sebaliknya, maka warga menolak. Mereka tak percaya yang kami sampaikan.
Padahal banyak warga yang sudah kena penyakit, termasuk kanker karena limbah batu bara yang membahayakan itu dbiarkan saja dan tidak dikelola oleh PLTU. Tapi warga karena segitu cintanya pada negara tetap yakin bahwa negara sudah melakukan hal yang benar pada mereka.
Sejak kapan Anda melakukan advokasi pada warga yang dirugikan oleh tambang?
Kalau untuk isu transisi energi, saya sudah melakukannya sejak tahun 2017. Tapi kalau untuk isu hutan saya baru melakukannya sejak 2021
Mengapa memilih bergiat di isu ini padahal ini adalah isu yang sangat sensitif dan biasanya keras terjadi represif dari negara pada aktivisnya?
Mungkin karena panggilan jiwa ya. Rasa ketidakadilan yang saya alami itu sangat menyakitkan hati. Jadi rasanya saya tidak bisa diam ketka melihat ada kesewenang-wenangan dan penindasan yang terjadi di depan mata. Saat ini saya juga sedang mendampingi pelindung hutan yang malah dikriminalisasi. Padahal dia berusaha menjaga hutan lindung dan desa, malah dia yang dikriminalisasi sampai masuk pengadilan. Sekarang sedang proses pengadilan, dan kami akan tetap membantu.
Tak khawatir ancaman dan teror?
Wah, sudah sering. Bukannya tidak takut, tapi saya memilih melakukan cara akal-akalan untuk menghindari teror dan ancaman. Misalnya kalau sedang melakukan aksi, maka kami sembunyi dulu. Tak ada di antara kami yang berada di kantor. Tapi bagi saya menghadapi teror adalah hal yang biasa dan bagian dari konsekuensi dari cara yang saya pilih. Saya memilih terus melakukan perjuangan ini, karena saya percaya ini adalah jalan kebaikan. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved