Kasus selingkuh pengucuran dana non-bujeter milik Bulog kembali meramaikan blantika berita nasional.Sayangnya, pusat perhatian hanya digiring kepada Akbar Tanjung.Padahal ada sekitar Rp270 miliar yang masih perlu dipertanyakan.Sebuah cermin hukum yang ditunggangi oleh politik.
K.H Abdurrahman Wahid tumbang dari kursi Kepresidenannya akibat Pansus Bulog dan Brunai yang dirancang secara apik oleh kalangan politisi senayan. Kini, setelah Rahardi Ramelan, Kabulog semasa pemerintahan B.J Habibie mengumbar cerita tentang kemana larinya dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 54,6 miliar dihadapan jaksa penyidiki di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, para politisi sibuk membrondong Akbar Tanjung yang berdasarkan cerita Rahadi menerima Rp40 miliar.
Padahal cerita Rahardi tidak hanya soal Ketua Umum Partai Golkar itu saja. Mantan Kabulog ini juga mengumbar cerita tentang mantan Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto yang menerima dana sebesar Rp10 miliar yang katanya untuk PamSwakarsa.
Menurur Rahardi, dirinya mencairkan dana nonbujeter Bulog tersebut sesuai permintaan rapat kabinet yang dipimpin Presiden BJ Habibie.
Kini, cerita Rahardi dianggap sebagian orang merupakan sebuah cerita jujur dan apa adanya.Namun, tentu saja cerita itu tidak lengkap. Misalnya berapa besar dana non-bujeter Bulog yang diterima Rahardi ketika memangku jabatan Kabulog, menggantikan Beddu Amang.
Apa yang terjadi sebenarnya terhadap dana Bulog ini? Mengapa hanya Akbar, setelah Gus Dur yang ditembak habis-habisan? Berapa besar sih dana non-bujeter yang dikelola oleh Rahardi Ramelan yang menjabat sebagai Kabulog selama 14 bulan itu? Siapa yang memerintahkan Rahardi Ramelan untuk mengucurkan dana ini? Selain yang diceritakan Rahardi, masih adakah pihak lain yang menikmati dana Bulog? Sepantasnya, semua ini diungkapkan oleh seorang Rahardi Ramelan.
Nah, guna menjawab semua pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka napak tilas dilakukan. Satu persatu keterangan dan data itu dirajut, termasuk hasil diskusi beberapa orang tokoh dengan Jaksa Agung, Almarhum Baharuddin Lopa sebelum berangkat ke Riyadh.
Soal dana dana yang dialokasikan melalui Menseneg Akbar Tanjung itu ditangani oleh oleh M.S Hidayat dan Fadel Muhammad yang kebetulan ketika itu bersama beberapa pengusaha membentuk sebuah Yayasan guna mengentaskan kemiskinan (?)
Bila Akbar Tanjung lupa tentang nama yayasan ini, bisa dimaklumi karena memang dibentuk secara tergesa-gesa oleh kelompok pengusaha ini. Disamping itu, posisi Mensesneg yang dipegang Akbar ketika itu membuat dirinya larut untuk mem-backup posisi Presiden Habibie yang mendapat serangan dari berbagai pihak.
Disisi lain, kelompok Habibie mencanangkan target untuk tetap mempertahankan Habibie di kursi presiden.Namun, Akbar Tanjung kurang setuju terhadap target ini.Sehingga posisi Akbar sebagai Ketua Umum Partai Golkar digoyang habis-habisan oleh kelompok Habibie Iramasuka.
Tentu para politisi dan rakyat masih ingat, bagaimana Akbar, Marzuki Darusman,Mahadi Sinambela,Rambe Kamaruzzaman, Ekky Syahrudin terbelah dengan kelompok Iramasuka ini.Beragam upaya dilakukan untuk menurunkan Akbar dari kursi Ketua Umum Partai Golkar oleh kelompok ini yang dikomandani oleh A.A Baramuli. Dalam konteks dana Bulog dan posisi Akbar di Golkar, sebagai politisi yang telaten, tentu lelaki kelahiran Sibolga ini, tak melihat proses penyaluran dana ini semata-mata sebagai sebuah upaya pengentasan kemiskinan saja.Tentu, dibalik semua itu Akbar akan melihat dan skenario politik lain yang diarahkan kepada dirinya oleh lawan politik untuk menjebak dirinya sehingga bisa disingkirkan.
Pemikiran politik dan realitas politiklah yang kemudian membawa Akbar tidak ingin terlibat dalam penggunaan dana kucuran dari Bulog secara mendalam.Dan itu bisa terbaca dari surat Mensesneg (Akbar Tanjung) kepada Kabulog Rahardi Ramelan, ketika menanyakan dana dimaksud.
Tetapi, mari kita coba tinggalkan dulu soal Rp40 miliar yang ditudingkan kepada Akbar Tanjung.Sebab ada hal yang tampaknya lebih penting.Jika pemerintah benar-benar akan menjadikan hukum sebagai panglima dan KKN benar-benar dijadikan musuh bersama serta pemerintah berkomitmen jujur kepada rakyat.
Mari kita memulainya dari berapa besar posisi dana non-bujeter Bulog yang diserahkan Beddu Amang kepada Rahardi Ramelan yang menggantikannya sebagai Kabulog. Dan berapa besar dana yang diserahkan Rahardi Ramelan kepada Jusuf Kalla yang menggantikannya sebagai Kabulog.
Berdasarkan hasil telisikan yang ada, dana non-bujeter yang diserahkan Beddu Amang kepada penggantinya, Rahardi Ramelan adalah sebesar Rp700 miliar. Dan ketika Rahardi menyerahkan tongkat komando yang dipegangnya selama 14 bulan kepada Jusuf Kalla, dana ini menyusut menjadi Rp430 miliar.
Dari sini timbul pertanyaan, kemana dan untuk apa dana yang sebesar Rp270 miliar digunakan oleh Rahardi Ramelan? Bila kasus yang ditujukan kepada Rahardi Ramelan hanya sebesar Rp54,6 miliar saja, apakah dana ini termasuk dalam kelompok yang Rp270 miliar yang hilang? Bila demikian, kemana saja selisih yang sebesar Rp215,4 miliar dialokasikan? Sudah bisa dipertanggungjawabkan alias tidak bermasalah semua ini?
Selisih angka-angka ini akan menjadi membengkak bila turut dipertimbangkan dari posisi bunga rata-rata perbankan ketika itu yang mencapai 62%.Nah, dari angka Rp215,4 miliar ini, disebut-sebut dikalangan atas, turut kecipratan Gus Dur, ketika itu Ketua Dewan Syuro PKB, sebesar Rp 50 miliar, Hamzah Haz, ketika itu Ketua Umum PPP sebesar Rp26 miliar, Yusril Ihza Mahendra. Ketika itu Ketua Umum PBB sebesar Rp1,5 miliar dan Nurdin Khalid, melalui KDI-nya sebesar Rp189 miliar.
Mengapa ini semua bisa terjadi? Ya itu tadi, ada target kelompok Habibie Iramasuka untuk menjadikan sang ahli pesawat terbang ini untuk tetap duduk di kursi presiden.Dengan demikian, adalah sebuah langkah politik yang logis untuk mencari dukungan keberbagai faksi-faksi politik. Dan sudah diketahui secara umum, bahwa seorang Kabulog Rahardi Ramelan itu teman seiring sejalannya B.J Habibie.
Lantas, pertanyaan terakhirnya adalah, apakah semua pengucuran dan Bulog tersebut atas perintah Presiden Habibie?.Sebab hanya presidenlah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkannya. Atau ada kreasi lain dari Kepala Bulog kita?
Yang jelas, berdasarkan keterangan Kabulog saat ini, Widjanarko Puspoyo kepalanya sedang pusing. Pasalnya, sampai sekarang masih berupaya mencari dokumen otentik, agar pengucuran dana itu bisa di katagorikan pinjam meminjam, dan bukan perbuatan hukum yang lain. Dokumen itu tidak saya temukan. Jika pinjam meminjam seharusnya ada kewajiban yang harus dipenuhi peminjam, ungkap Widjanarko. Kemana pula dokumen ini? Beginilah ujungnya bila kasus hukum dieksplotasi dari sisi politik.Bukti otektik tidak ada, tetapi secara politik seseorang hancur dan tumbang.Sampai kapan hukum kita akan terus dipolitisir?
© Copyright 2024, All Rights Reserved