Melalui Rapat Paripurna DPR, Jumat 17 Desember 2010, Ketua DPR Marzuki Alie mengkonfirmasi bahwa Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta telah diterima DPR dari Pemerintah. Ditargetkan, pada masa sidang mendatang, yang rencananya akan dimulai pada 10 Januari 2011, RUUK DIY sudah bisa dibahas bersama.
Ketua DPR sempat menyatakan bahwa DPR akan membahas RUUK DIY secara hati-hati dengan memperhatikan masukan dan aspirasi masyarakat. Memang begitulah seharusnya DPR bertindak. Ada prinsip-prinsip tertentu yang harus diperhatikan DPR dan Pemerintah dalam membentuk undang-undang. Saat membahas RUU, yang forumnya berada di DPR, tentu ada sejumlah kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang.
Keterbukaan
Sebagai contoh, Pasal 5 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memuat asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Salah satunya adalah asas keterbukaan.
Dalam penjelasannya, asas keterbukaan diartikan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.
Sejalan dengan penegakan prinsip keterbukaan, Pasal 200 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Pasal 240 ayat (1) Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib menyatakan bahwa setiap rapat DPR bersifat terbuka, kecuali dinyatakan tertutup.
Sayangnya, Pasal 200 dan Pasal 240 ayat (1) tidak mengatur alasan atau kriteria suatu rapat dilakukan tertutup, termasuk bagaimana status dokumen yang dipersiapkan, dibahas, dan beredar selama rapat tertutup berlangsung. Ini mengkhawatirkan karena bisa saja nanti DPR (memutuskan) menyelenggarakan rapat-rapat yang tertutup.
Sebagai perwujudan hak masyarakat terhadap informasi proses legislasi, undang-undang dan tata tertib seharusnya mengatur kesempatan bagi publik (khususnya pemangku kepentingan RUUK DIY) untuk memperoleh akses terhadap dokumen dimaksud. Pimpinan, dibantu sekretariat alat kelengkapan, harus menyampaikan kepada publik proses dan kesepakatan yang dicapai melalui rapat yang dilakukan secara tertutup. Ini salah satu upaya agar setiap pengambilan keputusan di DPR berjalan akuntabel dan tersosialisasikan.
Sudah pernah ada presedennya, yaitu saat Panitia Kerja (Panja) RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (sekarang menjadi UU No 10 Tahun 2008) menjadwalkan (secara reguler) pertemuan dengan wartawan media cetak dan elektronik setelah rapat Panja berakhir. Pimpinan Panja kemudian menyampaikan kepada para wartawan tentang perkembangan pembahasan RUU dimaksud, termasuk dokumen terkait, sehingga secara tidak langsung, masyarakat pun bisa mengetahui apa yang sedang dibahas dan capaiannya. Namun disayangkan, pertemuan dengan kalangan pers tersebut tidak bertahan lama. Mereka kemudian (mengalihkannya dengan) menerbitkan siaran pers (tertulis) tanpa ada pertemuan hingga akhirnya tidak ada kelanjutan sama sekali, alias berhenti.
Kanalisasi Aspirasi
Pembahasan RUUK DIY memiliki karakter yang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan pembahasan RUU lain. DPR “berhadap-hadapan” lebih kentara dengan dinamika di luar sana, yakni rakyat Yogyakarta. Situasi yang hampir sama terjadi pula saat pembahasan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi). Gelombang respon yang ditunjukkan publik saat itu, begitu besar.
DPR perlu menyediakan saluran agar respon rakyat Yogyakarta tidak longsor dan salah arah, atau bahkan bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari sebuah kondisi ketidakpastian. Audiensi dengan berbagai komponen masyarakat Yogyakarta, yang merepresentasikan beragam pandangan dan kepentingan mutlak dilakukan. Tidak sekedar selesai di Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), tapi juga tersedia kesempatan pada saat pembahasan materi RUUK DIY, setidaknya melalui serangkaian konfirmasi dan pengujian.
Gelombang tuntutan masyarakat Yogyakarta yang semakin deras pada akhirnya akan memposisikan Pemerintah dan DPR berpacu dengan waktu. Perlu cara agar pembahasan materi RUUK DIY berlangsung efektif dan tidak mengkonsumsi waktu yang terlampu banyak.
Metode
Membahas materi RUU yang hanya mengandalkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), seperti yang diatur dalam Pasal 136 ayat (1) huruf b Tata Tertib, tidak akan banyak membantu.
Apa yang dipraktekkan oleh Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD/RUU Susduk (UU No. 27 Tahun 2009) layak dijadikan sebagai pertimbangan untuk meninjau kembali penggunaan DIM. Pansus melakukan terobosan dalam membahas muatan RUU Susduk. Tidak lagi terpaku pada DIM, tapi mengkombinasikan pembahasan melalui kluster/pengelompokan ketentuan berdasarkan jenis kelembagaan (MPR, DPR, DPD, DPRD, dan Kesekretariatan) menjadi metode alternatif dalam membahas RUU tersebut.
DPR dan Pemerintah mengidentifikasi lebih dulu isu-isu krusial apa saja yang terdapat dalam kluster yang diperkirakan memiliki tingkat kepentingan dan sensitivitas politik serta mendapat perhatian publik yang tinggi. Sedangkan hal-hal teknis menyangkut bahasa dan kalimat perundang-undangan diserahkan kepada tim teknis.
Jika kita simulasikan pada pembahasan RUUK DIY, maka persoalan tentang penetapan atau pemilihan gubernur/wakil gubernur DIY harus diselesaikan lebih dulu, termasuk kelompok isu-isu krusial lainnya. Atau bisa pula dipilah mana materi RUUK DIY yang tidak ada ketergantungan dengan persoalan-persoalan “kelas berat” seperti posisi gubernur. Konsekuensinya, Pemerintah dan DPR harus mengeluarkan energi lebih besar. Tapi apapun strategi yang dipilih punya kelebihan dan kekurangan.
Lobby
Jalur lobby bisa saja ditempuh, karena sulitnya mencapai titik temu antar fraksi atau DPR dengan Pemerintah dalam membahas materi RUUK DIY. Yang harus diperhatikan, serumit apapun persoalan yang dihadapi, (arena) lobby dilakukan dan menghasilkan kesepakatan, di gedung DPR, bukan diselesaikan di luar DPR. Bahkan lobby untuk menyepakati dilakukannya voting, sebagai salah satu cara pengambilan keputusan, sebisa mungkin dilakukan melalui rapat-rapat di DPR. Tidak seperti yang pernah terjadi pada pembahasan RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dimana saat itu, pada awal Maret 2008, telah berlangsung pembicaraan di rumah Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait mekanisme penentuan calon terpilih (selengkapnya bisa dilihat pada http://bit.ly/evJlmU).
Lobby yang dilakukan, seperti pada contoh di atas, saat pembahasan RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, cenderung menciptakan hegemoni dan ketidaksetaraan peran diantara fraksi-fraksi di DPR. Selain itu, kesepakatan yang diperoleh dari mekanisme lobby yang dijalani di DPR, memperlihatkan sikap konsisten terhadap (keberlanjutan) forum pembahasan rancangan undang-undang (dalam hal ini RUUK DIY) serta membangun tradisi parlemen dalam menghasilkan produk legislasi. Selagi materi RUUK DIY masih diperdebatkan di dalam DPR, relatif lebih menjamin kemudahan masyarakat untuk mengetahui fluktuasi pembahasan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved