Perkembangan dunia dewasa ini menyadarkan kita bahwa ancaman terhadap pertahanan mulai bergeser. Kemampuan menghadapi bencana, perubahan iklim dan cyber war, merupakan bagian dari strategi pertahanan ke depan. Diharapkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat duduk bersama, melakukan sinergi untuk memperbaiki kesiapan negara dalam penanggulangan bencana.
Demikian dikemukakan oleh Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam (SKP BSB) Andi Arief dalam perbincangannya dengan politikindonesia.com, Selasa (04/01).
Terkait evaluasi situasi kebencanaan yang dilansir oleh Muhamad Arwani Thomafi, anggota Tim Pengawas Bencana dari Komisi VIII DPR. Andi Arief mengungkapkan apresiasinya terhadap evaluasi tersebut. " Saya sangat mengapresiasi apa yang dikemukakan saudara Arwani.”
Sejak awal, sambung Andi, dirinya berharap agar parlemen memiliki kepedulian yang tinggi terhadap persoalan kebencanaan. Demikian pula , soal perubahan iklim yang ke depan dapat berimplikasi pada ketahanan pangan dan energi.
Kata Andi, pada 2010 dan mungkin juga pada 2011 ini, Indonesia menghadapi ancaman perang non militer. Kemampuan menghadapi bencana, perubahan iklim, dan cyber war, merupakan bagian dari strategi pertahanan ke depan.
“Kita berharap, DPR dan pemerintah dapat duduk bersama untuk membicarakan hal-hal yang menjadi evaluasi Arwani tersebut. Langkah-langkah perbaikan, memerlukan sinergi dari kedua lembaga ini,” ujar dia.
Andi sepakat bahwa persoalan asuransi bencana harus menjadi salah satu aspek yang perlu mendapatkan kajian lebih mendalam dari pemerintah. Kementerian Sosial harus pro-aktif mengkomunikasikan hal-hal yang terkait dengan usulan ini kepada stakeholdres kebencanaan. Meski demikian, sambung dia, langkah-langkah di luar asuransi bencana juga dapat menjadi alternatif. “Seperti, upaya mitigasi bencana.”
Andi menerangkan, pemerintah telah mulai membangun pusat riset gempa di Bandung. Saat ini juga sedang dipertimbangkan pendirian pusat riset vulkanologi di Yogjakarta. “Keberadaan pusat-pusat riset sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana. Jadi perlu mendapatkan dukungan semua pihak,” ujar Andi.
Berbicara soal regulasi, Andi berpandangan, bahwa DPR perlu memulai inisiatif untuk mempertimbangkan keberadaan UU Mitigasi Bencana. UU itu penting demi memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi pencegahan bencana sejak dini.
Pasar Bencana
Sebelumnya, Muhamad Arwani Thomafi mengatakan berbagai bencana terus melanda negeri ini di tahun 2010. Tercatat gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir dan gunung meletus sepanjang 2010 membuat Indonesia seperti "pasar bencana".
Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan ini mengritisi, penanganan bencana sebagaimana diamanatkan UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB) belum secara maksimal memberikan rasa aman. “Belum benar-benar terlindunginya rakyat dari bencana, baik sebelum, saat maupun pasca bencana,” ujar dia.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP PPP mengatakan, dari evaluasi penanganan bencana di tahun 2010, sebagian besar persoalan terjadi pada fase pemulihan ekonomi masyarakat pasca bencana.
Dalam pandangannya, ada beberapa masalah terkait ini, seperti problem kelembagaan. UU PB mengamanatkan pembentukan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) di Provinsi dan Kab/kota tiga tahun setelah terbitnya UU tersebut. Namun, ujar Arwani, tercatat hingga Juni 2010, baru terbentuk BPBD di 24 provinsi dan 113 kabupaten/kota.
Menurut Andi Arief, saat ini telah terbentuk 31 BPBD provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Bukan 24 BPBD. "Provinsi yang belum mempunyai BPBD adakah DKI Jakarta dan Papua."
Sementara untuk kabupaten dan kota, telah terbentuk 306 BPBD dari 497 kabupaten dan kota di Indonesia. “Itu pun ada BPBD yang meskipun secara resmi sudah dibentuk melalui Perda, hingga saat ini belum terisi personilnya, seperti yang ada di Yogyakarta,” terang Andi.
Sementara Arwani menilai, belum meratanya BPBD di seluruh daerah, menunjukkan lemahnya perhatian pemerintah terhadap persoalan bencana. “Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri harus menegur Gubernur, Bupati atau Walikota yang belum segera membentuk BPBD,” ujar dia.
Dalam evaluasinya, Arwani juga menyebut soal problem regulasi. Dia melihat, belum ada regulasi yang mengatur tentang instansi mana yang berwenang melakukan pendataan asset ekonomi korban. Juga soal standarisasi, aset apa saja yang harus didata dan diganti, sampai kapan waktu pendataan dan pemberian ganti rugi. “Bagaimana mekanisme pemberian ganti rugi dan seperti apa standar nominal ganti rugi,” terang dia.
Sebagai solusinya, Arwani menyarankan, harus segera diterbitkan Pedoman Khusus Pemulihan Ekonomi Masyarakat Pasca Bencana sebagai turunan dari dari pasal 58 ayat (2) – 59 ayat (2) UU PB dan PP tentang Rehabilitasi dan PP tentang Rekonstruksi.
Di bagian lain, penanganan bencana juga kerap terkendala oleh anggaran. Situasi bencana, ujar dia, adalah situasi darurat yang tidak bisa disamakan dengan keadaan normal. Sedangkan, saat ini dasar hukum anggaran bencana masih mengacu pada UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Terkait tahun anggaran, akan menjadi kendala, jika bencana terjadi di bulan November atau Desember. “Berbelitnya anggaran bencana selama ini juga menjadi satu faktor lambatnya penanganan bencana,’ ujar dia.
Untuk itu, Arwani menyarankan, perlu diatur sebuah mekanisme pembahasan dan kebijakan APBN-P khusus bencana. “Selain itu juga perlu dipertimbangkan semacam audit khusus anggaran bencana.”
Arwani menyayangkan, penanganan bencana tidak mendapat tempat yang memadai pada perencanaan pembangunan. Belum ada perencanaan kontinjensi berdasar skenario ancaman yang sudah ada dan diperkirakan akan menjadi bencana. Kebijakan-kebijakan yang ada menunjukkan kesenjangan dan atau tumpang tindih.
Dalam pandangannya, perlu ada parameter penetapan dan gradasi keadaan bencana dan implikasinya terhadap tanggung jawab pemerintah. selama ini, penentuan fase kedaruratan masih berdasar pada jangka waktu dan bukan kebutuhan masyarakat yang terkena bancana. “Perpres tentang status dan tingkatan bencana yang juga amanat dari UU PB sampai saat ini belum diterbitkan oleh Presiden,” ujar dia.
Arwani memandang perlu dicari sebuah terobosan, misalnya terkait dengan wacana asuransi. Dalam upaya melindungi masyarakat dari ancaman bencana, ada dua jenis asuransi yang dapat dijadikan pilihan, yakni perlindungan personil dan kerusakan rumah. Beberapa daerah telah melakukan terobosan. Seperti di Kalimantan Timur telah mengasuransikan rumah terhadap ancaman kebakaran. Sedang di Bantul, mengusulkan asuransi rumah terhadap ancaman gempa.
“Wacana asuransi khusus bencana perlu mendapatkan prioritas pembahasan di tahun 2011,” ujar Arwani.
© Copyright 2024, All Rights Reserved