Ibarat pendekar, Liem Sioe Liong, adalah pendekar yang sulit diukur kedalaman ilmunya. Meski bank kebanggaannya, Bank Central Asia (BCA) mayoritas sahamnya telah dikuasai pemerintah, namun itu tidak menyurutkan langkahnya untuk melakukan buy back. Tentu saja, susah mendeteksi baik secara hukum maupun teknis perbankan bagaimana langkah Salim mengincar saham BCA. Salim memang bermain cantik. Yang menarik, BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) mempermulus jalan bagi Salim.
Indikatornya jelas. Bayangkan, bagaimana mungkin rencana penjualan saham pemerintah sebesar 51 persen yang notebone adalah uang rakyat, dijual begitu saja tanpa tahu pasti siapa calon pembelinya. Bagaimana pihak otoritas penjual saham BCA yaitu BPPN dan Bank Indonesia (BI) bisa mengetahui secara pasti siapa calon penguasa 51 persen saham BCA kalau wawancara uji kepatutan dan kelayakan saja belum dilakukan sampai hari ini. Alasannya sulit bisa dimengerti, yaitu karena sembilan calon bidder saham BCA belum melengkapi dokumen.
Sementara itu, BPPN tetap ngotot, bahwa the show must go on. Artinya, proses penjualan BCA harus tetap dilaksanakan. Meskipun BPPN sendiri tidak memiliki kriteria yang jelas tentang kredibilitas bidder. Bahkan seorang Deputi Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Bidang Bank Restructuring Unit (BRU) Subowo Musa terkesan bodoh ketika hal ini ditanyakan kepadanya. Bahkan, Subowo Musa juga tidak tahu siapa saja dari sembilan bidder yang memenuhi kriteria kredibilitas. Biasa, penguasa BPPN itu berlindung di balik perjanjian konfidensial.
Padahal, yang akan dijual ini adalah aset bangsa dan rakyat republik ini. Dan sudah jelas-jelas, bahwa uang yang dipakai pemerintah untuk menalangi kewajiban BCA kepada nasabahnya adalah duit rakyat. Tapi kok dengan entengnya penguasa BPPN itu menyembunyikan kredibilitas calon penguasa BCA.
Tidak jelas, siapa sebenarnya yang tengah menjadi mitra Salim dalam proyek menguasai kembali BCA. BI atau BPPN. Sebab keduanya seperti melempar bola. Kalau BI tidak melakukan uji fit and proper test karena dokumen yang belum lengkap. Sementara BPPN tetap ngotot bahwa proses tender harus jalan terus karena batas waktu due diligence tender BCA telahdiperpanjang dari tanggal 14 Desember 2001 jadi tanggal 28 Januari 2002. Jadi, batas waktu due diligence itu tidak akan diperpanjang lagi.
Di sinilah kejanggalan-kejanggalan proses pelepasan mayoritas saham BCA itu makin kentara. Memang, Grup Salim masih diberi ruang untuk ikut memiliki saham BCA melalui lantai bursa. Itu pun jumlahnya tidak lebih dari 10 persen. Tapi, saham kan bisa dikuasai dengan berbagai nama. Meskipun uangnya bersumber dari satu kantong. Bahkan otoritas pasar modal seperti Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) pun tidak bisa mendeteksi secara pasti siapa saja pemilik saham BCA di lantai bursa.
Jika langkah-langkah para penguasa BPPN dan BI itu tidak dihambat, sudah bisa dipastikan, tidak lama lagi rakyat akan kehilangan duit yang tidak sedikit. Berbagai pajak yang mereka bayarkan dan kemudian uangnya dipakai pemerintah untuk menyehatkan BCA akhirnya akan dinikmati kembali oleh swasta. Memang, harus dibuktikan lagi, apakah memang Salim yang benar-benar tengah memainkan bola-bola cantik merebut BCA saat ini. Dan apakah benar BPPN dan BI hanya sekadar tools yang juga tengah dimainkan oleh gang-nya konglomerat nomor satu Indonesia itu. Semua itu harus dibuktikan. Tapi jika kejanggalan-kejanggalan diatas tidak segera diantisipasi, jangan menyesal jika nanti melihat BCA jatuh ke tangan para penjarah duit rakyat.
Sebenarnya, dalam dengar pendapat yang diadakan Tim Monitoring Tender Saham BCA KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang dipimpin Ketua Tim Sutrisno Iwantono, sudah diisyarakat agar tender BCA dibatalkan. Tapi bola masih di kaki para penguasa BPPN dan BI. Mereka kini masih bisa dengan leluasa untuk memainkan bola sehingga akhirnya jatuh di kaki bidder yang mereka pilih. Ini tidak bisa dibiarkan terjadi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved