Kementerian Pertanian (Kementan) membantah hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) mengenai bibit padi hibrida impor mengandung bakteri Burkholderia glumea yang dapat mengganggu produktivitas padi nasional. Bakteri tersebut sudah ada di Indonesia sejak tahun 1987 dan hanya ada di beberapa wilayah Indonesia.
Penjelasan itu disampaikan Kepala Balai Besar Penelitian Padi, Muhamad Ismail Wahab kepada politikindonesia.com, di Kantor Kementan, Jakarta, Senin (19/12), saat menanggapi adanya pemberitaan mengenai penelitian tersebut.
Menurutnya, sejak ditemukan bakteri tersebut hingga saat ini belum pernah ditemukan adanya kejadian lahan padi fuso dikarenakan bakteri itu. Hal tersebut mengindikasi bahwa bakteri yang ada, sebenarnya tidak berbahaya bagi padi maupun manusia yang mengkonsumsinya. Selain itu, bakteri jenis ini pun tidak pernah menjadi penyakit utama bagi produksi padi.
"Ini merupakan bakteri tipe A2 yang dapat dikendalikan. Walau ada serangan bakteri ini pada tanaman padi. Namun, serangannya tidak menganggu produktivitas padi nasional. Jadi bakteri ini memang tidak berbahaya," ujarnya.
Menurutnya, penelitian yang dilakukan IPB hanya mencakup daerah pertanian di Tegal dan Blitar. Hal tersebut tidak mewakili wilayah Indonesia dan hasil penelitian tersebut dianggap tidak valid. Karena benih hibrida impor itu tersebar di beberapa wilayah. Di antaranya Sulawesi, Kalimantan, NTB, Sumatera dan Jawa.
"Supaya tidak membuat keresahan di masyarakat, untuk sementara benih impor padi hibrida diberhentikan dulu sambil dikaji. Selanjutnya diupayakan benih dalam negeri termasuk yang hibrida,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Perbenihan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan, Ibrahim Saragih menambahkan impor benih hibrida hanya mencapai 800 ton per tahun. Jika dihitung, konsumsi benih dalam satu hektare bisa mengkonsumsi sekitar 15 kilogram (kg). Maka, benih ini hanya mencukupi areal lahan tanam padi seluas 53 ribu hektare (ha).
"Pengembangan benih padi hibrida yang diproduksi di dalam negeri hasilnya sudah sama baik dengan benih impor. Benih Indonesia telah memberikan hasil yang bagus yakni 14 ton/ha dalam satu kali panen. Sedangkan, non-hibrida hanya mampu memproduksi 8-9 ton per ha," paparnya.
Dijelaskan, pihaknya pun terus berupaya menggunakan bibit dalam negeri sebagai upaya memproteksi adanya bakteri dari benih hibrida. Sebab dalam buku buku juknis organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dikeluarkan pihaknya, disebutkan bakteri Burkholderia glumea bukan merupakan Major Desease padi di Indonesia.
"Jadi belum pernah ada puso akibat bakteri tersebut. Kami anggap pernyataan Dr. Suryo Wiyono sangat tidak tepat sehingga meresahkan masyarakat," tegasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved