Desakan untuk memutuskan hubungan diplomatik RI dengan Swedia menyusul sikap dingin pemerintah Swedia atas tuntutan agar pemerintah Swedia segera menghukum pemimpin Gerakan Aceh Merdeka dinilai berlebihan. Apalagi, akar masalah yang dihadapi sekarang berada dalam negri, bukan di luar sana.
Dirjen Hankamnas Sudrajat MPA berpendapat, konsentrasi kita seharusnya lebih terpusat kepada bagaimana menyelesaikan masalah pemulihan keamanan di Aceh dengan sesegera mungkin menumpas anggota-anggota GAM yang sedang terlibat perang dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“ Kalau kita harus memutuskan hubungan diplomatik kita dengan Swedia hanya karena Hasan Tiro itu, terlalu mahal harga yang kita bayar. Apalagi, kita sendiri tidak memiliki perjanjian ekstradisi”, tuturnya.
Sebagai warga negara Swedia, Hasan Tiro dimata pemerintah Swedia, harus diperlalukan menurut hukum yang berlaku disana. Dan kita tidak bisa memaksakan kehendak kita kepada pemerintah Swedia.
Dalam keadaan seperti ini, Indonesia bisa saja melakukan tuntutan hukum berdasarkan hukum di Indonesia dengan menggelar sidang in absentia untuk mendapat dukungan dunia internasional.
Sikap pemerintah Swedia terhadap pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah memancing kemarahan sejumlah kalangan di Indonesia termasuk Ketua Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) Amien Rais yang menghendaki agar hubungan diplomatik dengan Swedia diputus. Beberapa surat kabar dalam negri sudah dengan gagah berani menurunkan headline Usir Diplomat Swedia Dari Indonesia.
Disamping dinilai sebagai hanya sekedar dagangan politik dari kalangan tertentu yang sedang bertarung merebut simpati rakyat untuk pemilihan umum 2004, sikap ini tentu hanya akan menambah masalah baru bagi Indonesia yang sedang mengalami ujian berat dengan integritas wilayahnya.
“ Hasan Tiro tidak bisa berbuat banyak karena dia hanya memerintahkan anak buahnya dari jarak jauh dengan alat telekomunikasi. Kalau TNI bisa mengatasi masalah ini kan persoalan akan selesai, “ tandas Sudrajat.
Dukungan kepada Tentara
Sudrajat berpendapat dukungan penuh harus kita berikan kepada TNI yang sedang menjalankan tugas negara di Aceh dan tidak terjebak untuk mepersoalkan apakah TNI sedang melakukan gerakan politik untuk mengambil alih supremasi sipil di sana.
“ Dalam keadaan darurat, fungsi pemimpin sipil bisa diambil alih sementara oleh militer agar roda pemerintahan terus berjalan. Jika Gubernur atau Bupati takut ke kantor karena takut tertembak, militer bisa mengambil alih posisi gubernur agar kegiatan dapat berjalan. Ini sama sekali bukan gerakan politik tentara”, tandasnya.
Yang harus diingat, menurut Sudrajat, adalah bahwa masalah Aceh adalah masalah gawat darurat yang sudah secara sadar dimasukan kedalam intensive care unit dimana tidak setiap orang diperbolehkan untuk masuk. Dan yang menentukan siapa yang boleh masuk adalah tentara yang ditunjuk sebagai dokter UGD.
Dalam pemahaman seperti ini, jatuhnya korban orang asing yang terjadi di wilayah perang bukan lagi menjadi tanggungjuwab tentara. Individual risk yang diambil oleh orang-orang tertentu harus menjadi tanggungjawab pribadi yang bersangkutan.
Lebih dari itu, menurut Sudrajat, yang harus dipahami adalah bahwa kehadiran tentara di Aceh adalah sebuah keputusan politik yang didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia. Dengan demikian, setiap sikap yang menentang atau berlawan dengan keputusan politik ini otomatis dikategorikan sebagai lawan yang juga harus diperangi oleh tentara.
Posisi pemimpin politik sipil adalah mengontrol tentara agar tidak dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang mempunyai agenda sendiri terhadap masalah Aceh. Disamping itu, tentara juga harus terus diperhatikan agar mereka tidak terpancing melakukan kesalahan-kesalahan terhadap warga sipil yang ada disana.
“ Jika terjadi pelanggaran, tentara bisa saja kita adili, tetapi hal itu akan menurunkan mental prajurit yang sedang berperang. Karena itu, pemimpin politik harus mempunyai komitmen yang penuh untuk menyelesaikan masalah di Aceh sesegera mungkin, termasuk memberikan dukungan yang penuh terhadap tentara”, katanya.
Aceh adalah sebuah agenda panjang yang tidak otomatis selesai meski perang melawan GAM akan segera usai. Rehabilitasi sosial, ekonomi dan politik adalah kerja panjang yang tidak akan selesai dalam satu atau dua tahun.
“ Penduduk Aceh yang mengungsi akibat perang harus dikembalikan ke tanah kelahiran mereka. Kegiatan ekonomi rakyat harus segera berjalan agar rakyat tidak menderita berkepanjangan. Dan pendidikan politik harus segera diberikan kepada generasi muda agar tidak membenci tentara karena keputusan politik ini”, tandasnya.
Dalam kerangka ini maka emosi kita untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Swedia hanya karena seorang Hasan Tiro nampaknya terlalu berlebihan. Sesungguhnya ini hanya menambah masalah baru atas masalah yang yang sudah, sedang dan akan dihadapi oleh pemerintah.
© Copyright 2024, All Rights Reserved