Peran bioteknologi untuk tanaman pangan dan nonpangan di dunia sudah memperlihatkan kemajuan pesat. Semakin banyak negara yang mulai membuka diri dan menerima kehadiran varientas tanaman bioteknologi, karena mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas pertanian.
Sayangnya, pengembangan bioteknologi di Indonesia, masih menemui banyak kendala. Terutama soal perizinan dan persetujuan keamanan pakan dari pemerintah. Padahal, bioteknologi bisa menjadi bisnis masa depan dan memiliki potensi ekonomi cukup besar.
Direktur Indonesian Biotechnology Informations Center (IndoBIC) Bambang Purwantara mengatakan, hingga saat ini sudah lebih 2 tahun penyusunan, tapi Pedoman Pengawasan setelah pelepasan produk bioteknologi belum juga diselesaikan.
Selain itu, perubahan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 61 Tahun 2011 tentang Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varientas Tanaman belum disusun atau dibuat oleh pemerintah. Permentan tersebut menjadi dilematis karena terkait fakta pembubaran Balai Benih Nasional.
“Kami hanya bisa berharap masalah perizinan ini bisa segera diselesaikan agar para petani dapat menanam tanaman bioteknologi demi mendukung perwujudan kedaulatan pangan. Sehingga penerapan bioteknologi bisa segera dilakukan. Sebab, di negara lain, sudah banyak yang menerapkannya sebagai langkah peningkatan produksi pangan untuk kebutuhan rakyatnya masing-masing,” katanya kepada politikindonesia.com disela-sela lokakarya bertajuk ”Refleksi dan Masa Depan Bioteknologi Pertanian dalam Mendukung Kedaulatan Pangan di Indonesia”, di Jakarta Senin (29/01).
Dijelaskan, dari data International Service for Acquisition Agribiotech Application (ISAAA) sejak bioteknologi dikomersilkan selama 21 tahun, hingga saat ini sudah terjadi peningkatan 10 kali lipat adopsi tanaman biotek secara global. Bahkan, sudah banyak negara yang telah mengembangkan tanaman bioteknologi. Pengembangan bioteknologi tumbuh pesat dari luas lahan secara global hanya 1,7 hektar (ha) pada tahun 1996, kini luas lahan seluruhnya mencapai 185,1 ha.
“Dari laporan ISAAA itu juga menunjukan kepada para petani di negara berkembang dan negara maju mengenai manfaat tanaman bioteknologi yang sudah lama ada. Selain itu juga menunjukan manfaat yang diperoleh konsumen dari varientas yang baru-baru ini disetujui dan dikomersilkan. Melihat pesatnya perkembangan bioteknologi, diharapkan tidak lama lagi petani Indonesia juga dapat menanam tanaman bioteknologi dalam rangka menunjang kedaulatan pangan,” ungkapnya.
Menurutnya, penggunaan bioteknologi di Indonesia belum bisa berkembang. Padahal, bioteknologi mampu meningkatkan produktivitas dan beioteknologi kesejahteraan petani. Karena sejak tahun 2006, lebih dari 100 tanaman bioteknologi penghasil pangan dan pakan sudah memperoleh persetujuan untuk dibudidayakan dan dikomersilkan di seluruh dunia. Di antaranya, jagung, kedelai, kapas hingga buah dan sayur seperti pepaya, paprika dan labu.
“Hal tersebut seharusnya sudah bisa membuktikan bagi Indonesia, kalau penerapan bioteknologi sudah mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas pertanian. Sehingga banyak negara menerapkan dan mengembangkan varientas bioteknologi. Lantaran mereka sadar, bahwa kemampuan dunia dalam menyediakan pangan saat ini semakin terbatas. Meskipun bukan satu-satunya teknologi mujarab, tapi bisa menjadi salah satu jawaban bagi upaya peningkatan produksi pangan yang penting,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (KKH-PRG) Agus Pakpahan menambahkan, hingga kini terdapat beberapa produk bioteknologi yang telah mendapatkan persetujuan keamanan pangan di Indonesia. Pihaknya sudah menyetujui sebanyak 2 produk bioteknologi, antara lain tebu tahan kekeringan dan jagung toleran herbisida. Saat ini, kedua produk tersebut sedang menunggu persetujuan untuk rilis komersial agar memenuhi persyaratan guna dibudidyakan dalam pertanian di Indonesia bagi kepentingan petani.
“Memang hingga saat ini kehadiran tanaman bioteknologi pangan belum diterima sepenuhnya di semua negara secara terbuka. Namun, seiring dengan perjalanan waktu dan penyempurnaan, produk tanaman bioteknologi terus dilakukan. Maka akan bertambah pula negara-negara yang membuka pintu akan kehadiran tanaman biotek.
Di Indonesia secara riset, lanjut Agus, bioteknologi tidaklah ketinggalan dibanding negara-negara maju. Hanya saja untuk pelepasan produk tanaman rekayasa genetika, pemerintah masih sikap hati-hati. Jadi, sebenarnya pemerintah tidak menolak akan produk tanaman bioteknologi ini. Karena setiap rencana pelepasan produk bioteknologi di dalam negeri akan melewati uji keamanan pangan dan uji keamanan hayati yang ketat. Setelah itu, pihaknya baru bisa keluar rekomendasi kepada Menteri Pertanian untuk melepas sebuah produk tanaman bioteknologi.
“Sayangnya, ilmu bioteknologi selama ini belum dimanfaatkan dengan baik oleh sektor pertanian di Indonesia. Padahal, teknologi pangan tersebut bersifat positif dan bisa membawa kemajuan bagi dunia pertanian Indonesia. Tidak hanya itu, bioteknologi juga bisa melepaskan ketergantungan Indonesia dari impor bahan pangan. Apalagi, Indonesia melihat bioteknologi tidak hanya sebagai salah satu instrumen strategis untuk masa depan keamanan pangan dan keberlanjutan lingkungan, namun juga solusi tepat untuk penyakit endemic, seperti deman berdarah dan kaki gajah,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, pakar agronomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Bayu Krisnamurthi mengungkapkan sebenarnya bioteknologi akan menjadi bisnis masa depan karena memiliki potensi ekonomi yang cukup besar. Apalagi, nilai pasar dunia hasil bioteknologi mencapai USD604,40 miliar pada 2020. Bahkan, India memberikan target pemasukan dari bisnis bioteknologi sekitar USD100 miliar hingga tahun 2025. Indonesia juga merupakan sumber bioteknologi.
“Jadi, ruangnya luar biasa besar. Bisnis bioteknologi sangat menguntungkan jika telah menguasai riset, teknologi dan infrastrukturnya. Selain itu, bioteknologi bidang pertanian mampu menciptakan bibit unggul dan pupuk hayati yang ramah lingkungan, sehingga produknya tahan iklim dan hama. Tapi, di Indonesia selama ini bioteknologi hanya difokuskan pada produk rekayasa genetika atau Geneticaly Modified Organism (GMO). Padahal, produk GMO hanya 10 persen kontribusinya pada bioteknologi. Sisanya, 90 persen selama ini justru tidak disentuh,” cetusnya.
Dipaparkan, bioteknologi juga sangat bermanfaat di bidang sosial. Karena dari hasil penelitian Graham Brookes, bioteknologi tanaman mampu mengurangi secara signifikan emisi gas rumah kaca. Sehingga bisa mempertahankan lebih banyak karbon di dalam tanah.
“Jika tanaman bioteknologi tidak tumbuh di tahun 2015, maka ada tambahan sebanyak 26,7 miliar kg karbondioksida akan diemisikan ke atmosfer. Jumlah itu setara dengan menambahkan 11,9 juta mobil ke jalan selama setahun. Bahkan, dari tahun 1996-2015 tanaman bioteknologi mampu mengurangi penggunaan pestisida hingga 619 juta kg. Jumlah itu sama dengan petani di seluruh dunia tidak lagi bergantung pada pestisida sebesar 8,1 persen. Itu artinya, pemakaian pestisida berkurang dan mutu hasil produksi pangannya juga lebih sehat,” pungkas Bayu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved