Setelah 20 tahun dilarang, Presiden Jokowi kembali membuka keran ekspor pasir laut. Hal ini berpotensi sangat merugikan nelayan.
Kebijakan tersebut berpotensi merusak ekosistem laut, menambah beban kerugian bagi nelayan karena ikan bisa pergi dan menghilang.
Keresahan tersebut disampaikan Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan. Dani mengaku sangat memahami, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara dengan memanfaatkan hasil sedimentasi laut. Sayangnya, nelayan akan menjadi barisan pertama yang dirugikan oleh kebijakan tersebut.
"Menurut saya ini adalah cara yang brutal," kata Dani, dikutip Sabtu (21/9/2024).
Kebijakan tersebut bermula dari upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan. Pembukaan ekspor pasir laut dianggap sebagai solusi cepat untuk mencapai target tersebut.
Namun, KNTI menganggap kebijakan ini merugikan nelayan kecil dan tradisional karena penambangan pasir laut dapat merusak lingkungan laut yang menjadi sumber mata pencaharian mereka.
“Di lokasi-lokasi penambangan pasir, airnya jadi keruh, ikannya kabur, lari, hilang, sehingga nelayan tidak bisa lagi menangkap ikan di fishing ground mereka. Mereka harus berpindah ke lokasi yang lebih jauh," demikian disampaikan Dani.
Ia juga melihat kebijakan ini berpotensi mengurangi pendapatan nelayan akibat rusaknya lingkungan. Dan lebih jauh lagi, kebijakan ini akan memicu kemiskinan di kalangan keluarga nelayan.
“Ini yang saya bilang tadi, berkurangnya pendapatan nelayan memicu kemiskinan yang dialami oleh keluarga-keluarga nelayan akibat kebijakan tersebut," pungkasnya. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved