Upaya pemerintah daerah dalam mengantisipasi jatuhnya korban Bencana Gunung Merapi yang sebagian besar melanda wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu dinilai sudah maksimal. Karena itu, yang perlu dilakukan saat ini yakni memberi perhatian kepada korban selamat agar tidak menderita dua kali.
Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah dari dapil DIY mengungkapkan hal itu usai mengunjungi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Sardjito di Yogyakarta, Rabu (27/10).
Hemas berharap, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memenuhi kebutuhan pengungsi serta korban Gunung Merapi.
Hemas mengakui, ada beberapa warga yang terjebak sehingga terkena awan panas Merapi. “Awan panas tersebut turun begitu cepat sehingga masyarakat tidak bisa lagi menghindar,”ujarnya.
Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, awan panas memiliki suhu antara 600 hingga 800 derajat celcius dan kecepatan 200 kilometer per jam hingga 300 kilometer per jam bergantung pada kecuraman lereng.
Hemas menegaskan, seluruh korban letusan Gunung Merapi tersebut akan ditanggung pemerintah daerah. Khususnya biaya pengobatan di rumah sakit.
Saat ditanya apakah keraton sebelumnya telah memerintahkan seluruh abdi dalem yang tinggal di lereng Merapi untuk segera turun, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X itu mengaku, keraton tidak memiliki hak untuk menyuruh mereka turun.
"Itu adalah kesadaran mereka,” ujarnya. Menurutnya, jika masih ada yang bertahan, maka itu semata-mata karena kepatuhan mereka. Namun pada dasarnya, keraton setuju dengan semua langkah yang diambil pemerintah daerah.
Mbah Maridjan
Terkait Mbah Maridjan, sejak Rabu (20/10) pekan lalu, jauh hari sebelum serangan awan panas, sebuah tim dari Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana (SKP BSB) telah menyambangi kuncen penjaga Gunung Merapi tersebut untuk dibujuk agar turun ke daerah evakuasi.
Dalam diskusi dengan tim SKP BSB yang terdiri dari Ir. Anwar Sadat, M. Syahrir dan Depta itu, Mbah Maridjan menyambut baik sikap antisipatif pemerintah terkait meningkatnya aktivitas Gunung Merapi. Dia menyerahkan sepenuhnya penanganan Merapi kepada kebijakan pemerintah.
Staf Khusus Presiden bidang Bantuan Sosial dan Bencana (SKP BSB) Andi Arief mengatakan diskusi itu untuk menghindari perbedaan pendapat antara Mbah Maridjan dan tim ahli. Perbedaan pendapat terkait kemungkinan Merapi meletus. "Terkait bencana, selain ilmu pengetahuan dan teknologi, kearifan lokal juga penting. Semuanya harus kita lakukan untuk meminimalisir korban," ujar Andi Arief kepada politikindonesia.com, Jumat (22/10).
Diterangkan tim dari kantor SKP BSB, jika kemudian status Merapi terus meningkat dan mengharuskan dilakukan pengungsian masyarkat di sekitar merapi, Mbah Maridjan menyerahkan sepenuhnya bagi masyarakat untuk memilih.
Apakah akan mengungsi atau tetap di lokasi sesuai dengan penilaian masing-masing masyarakat. Yang pasti, Maridjan mendukung sepenuhnya usaha-usaha pemerintah untuk melakukan pengaturan pengungsian dan penyelamatan warga. "Kita tidak mau kejadian tahun 2006 terulang, saat tim ahli ribut dengan Mbah Maridjan,” ujar Andi.
Sayangnya, ketika status Merapi dinyatakan telah memasuki tahap erupsi yang ditandai dengan luncuran awan panas, Maridjan tetap memilih untuk bertahan. Bukan hanya dia, 23 orang lainnya berada di dusun Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan itu turut jadi korban.
Beberapa diantaranya adalah orang yang berupaya membujuk Mbah Maridjan agar mau mengungsi. Termasuk, seorang jurnalis, yang karena rasa kemanusiaanya kembali ke dusun itu untuk membantu membujuk Mbah Maridjan.
Sebelum Mbah Maridjan dinyatakan meninggal, Andi Arief mengemukakan dua tim dari TNI sudah dikirim untuk menjemput Mbah Maridjan. “Mudah2an jemput paksa utk mbah marijan oleh TNI tadi berlangsung sukses. Kita berdoa,” tulis Andi diakun twitternya.
Tapi upaya itu gagal, tim itu justru menemukan Mbah Maridjan serta sejumlah orang lain sudah menjadi mayat. Manusia hanya bisa berkehendak, takdir Tuhan yang bicara.
© Copyright 2024, All Rights Reserved