Tanggal 23 Juli adalah Hari Anak Nasional. Setiap tahun selalu ada isu terbaru tentang kasus yang dialami anak-anak negeri ini. Perkembangan internet dan dunia digital yang sangat pesat juga membawa masalah baru buat anak-anak Indonesia.
Kasus kekerasan pada anak kini bertambah dengan kasus kekerasan berbasis online. Di mana anak menjadi korban pelecehan, kekerasan, penipuan, bahkan menjadi korban game dan judi online. Kasus ini meresahkan banyak pihak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjadi pihak yang paling resah dengan meningkatnya kasus kekerasan berbasis online pada anak. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah, menyampaikan apa saja yang sudah dilakukan KPAI untuk melindungi anak-anak Indonesia.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Ai Maryati Solihat yang ditemui usai sebuah acara di Jakarta. Berikut wawancaranya:
Bagaimana cara KPAI untuk menciptakan dunia digital yang aman untuk anak-anak?
OK. Ini salah satu poin penting di hari anak. Anak cerdas, internet sehat. Tentu ini juga jadi perhatian KPAI karena angkanya dari tahun ke tahun, kekerasan berbasis online pada anak-anak itu juga tinggi.
Apa saja langkah konkret yang akan dilakukan untuk mencegah anak menjadi korban kekerasan berbasis online?
Kami sedang melakukan langkah strategis, yaitu membuat MoU dengan PPATK, Kemkominfo dan Polri. Insya Allah penandatangan akan dilakukan dalam waktu dekat, sekitar 1 atau 2 minggu lagi. Beberapa yang kami lead di antaranya anak terbebas dari kekerasan, road map perlindungan anak di ranah daring, serta penyelenggaraan sistem elektronik ramah anak.
Seperti apa sistem elektronik ramah anak yang KPAI maksudkan?
Tiga bulan terakhir kita dibombardir kasus-kasus dan temuan soal pornografi anak, lalu sekarang judi online. Di awal sekali itu game online, yang itu juga metamorfosanya kemudian pada situasi kekerasan berbasis online ini. Ada pornografi di dalamnya, ada Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), ada kekerasan seksual berbasis online, bahkan texting dan tindakan kekerasan berbasis online.
Tentu KPAI menyerukan berbagai pihak untuk lebih memperkuat preventifnya. Kami saat ini juga melihat kecenderungan transformasi dari transaksi keuangan konvensional pada dana digital itu juga tinggi, baik itu memberikan pola-pola pembayaran pada transaksi seksual komersial terhadap terhadap anak, maupun juga adanya situasi yang anak-anak membutuhkan top up, tetapi terjadi langkah-langkah yang sangat eksploitatif dan merugikan anak.
Bentuk eksploitatif ini banyak bentuknya. Jadi tidak melulu dalam bentuk kekerasan atau layanan seksual, tapi bisa juga berbentuk gambar, berbentuk hubungan sesama anak, yang kemudian hasil recordingnya itu dkirimkan pada orang-orang tertentu.
Pada kasus-kasus yang disebutkan tadi, idealnya seperti apa penyelesaian yang diharapkan?
Pada langkah-langkah tertentu, ini yang membutuhkan investigasi follow the money. Jika dilakukan investigasi secara konvensional di tingkat polsek, juga di tingkat polres belum sepenuhnya menggunakan langkah-langkah pendekatan siber ini. Di tingkat Polda juga tidak semua. Sehingga kebutuhan terkait PPATK untuk kebutuhan alat terkait adanya transaksi yang mencurigakan itu sangat dibutuhkan. Sehingga kami merespons itu.
Kami juga sudah bertemu dengan Menkopolhukam terkait anak-anak yang terlibat dalam judi online, sehingga di Hari Anak Nasional, anak-anak ini harus disehatkan, harus kita dirangkul, harus dipulihkan, berikan dukungan optimal baik secara psikis maupun psikologis.
Karena kasus pada anak tidak sama dengan orang dewasa yang mungkin ada ancaman pidana dan lain sebagainya. Anak-anak ini justru harus mendapatkan tempat yang paling nyaman untuk kembali dan sebaik-baiknya. Baik itu di sekolah maupun di rumah, kami mitigasi dan memberikan dukungan yang optimal pada anak-anak ini.
Terkait dengan penguatan literasi dan edukasinya terhadap orang tua maupun pendamping, apakah KPAI juga sudah berkolaborasi dengan Kementerian atau lembaga terkait untuk memberikan dunia digital yang aman bagi anak-anak?
Iya tentu. Saat ini misalnya, road map memberikan perlindungan pada anak di ranah daring dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), lalu tadi juga dengan Kemenkominfo, kami juga sudah difasilitasi bertemu dengan penyedia platform, bahkan dunia usaha game online-nya, dan berbagai website serta situs para pengusaha di ranah daring ini.
Nah salah satu tuntutannya kan bagaimana klasifikasi usia anak. Apakah sistem elektronik kita akan melindungi data mereka. Mengapa, misalnya, ketika sudah mengunduh salah satu, kok algoritma anak ini dimunculi berbagai fitur.
Kami memberikan masukan di dalam rancangan peraturan pemerintah dalam penyelenggaraan sistem elektronik (papse), kami juga ingin memberikan masukan dalam logical framework-nya, bagaimana para pengusaha bekerja.
Oh harus ada misalnya bentuk-bentuk perlindungannya itu, registernya harus disertai persetujuan orang tua. Jadi ada aktivasi yang kemudian harus disetujui dulu. Karena kan ada juga suara anak yang menolak. “Enggak bisa dong, di usia tertentu masa masih harus ada konfirmasi dengan orang tua?” Kami hormati juga itu. Karena memang anak juga sudah memiliki perlindungan haknya sebagai partisipasi, sebagai bentuk kemandirian. Tapi bentuk apa yang bisa dilakukan jika memang tanpa persetujuan orang tua, dengan yang harus disetujui orang tua.
Sebenarnya berapa batas anak yang aman untuk berkenalan dengan gadget?
Kami agak ketat mengenai batas usia anak tidak boleh mengakses layar sentuh, gadget, di 3 tahun ke bawah. Kami tidak merekomendasikan. Nah itu juga kami sampaikan ke pihak-pihak penyelenggara platform supaya tidak mengembangkan anak-anak baru lahir terus dikasih mainan orang tuanya itu sudah terpapar gadget. Ini luar biasa sekali, sudah sistematis risikonya. Dimulai dari rusaknya syaraf, lalu psikologis, kemudian juga kurangnya bonding dengan orang tua yang menyebabkan dia tidak memiliki kelekatan utuh. Nah ini yang kemarin diskusinya cukup alot.
Tetapi kami ingin menunjukkan bahwa perhatian serius pemerintah, terutama di Hari Anak Nasional terkait itu sudah memiliki beberapa hal yang sudah jauh lebih meningkat.
Apakah semua itu sudah cukup untuk melindungi anak?
Ini yang disebut perlindungan khusus anak. Jadi kalau orang dewasa itu kan banyak tuh ancamannya. UU ITE itu juga kita tahu ada pemidanaan, sampai bentuk-bentuk administrasinya. Kalau dia bekerja misalnya, bisa dicabut juga. Kemarin kan data-data DPR sudah muncul tuh. Kami meminta data by name by address ke PPATK, dan kemudian kami juga membangun sebuah kesepakatan juga dengan Menkopolhukam, bahwa 80.000 yang dikatakan, anak usia 10 tahun ke bawah dan 440.000, ada 11% nya ada 10 tahun sampai 20 tahun itu kami minta untuk dijangkau melalui mitigasi dan pemulihan.
Jadi ini yang kami siapkan langkah-langkah strategisnya. Tentu karena KPAI pengawasan, dan penyelenggaranya Kemsos dan Kemenpppa, lalu datanya dari PPATK, lalu apa saja media yang sudah memfasilitasi itu di Kominfo untuk diblokir dan lain sebagainya. Nah ini yang berjalan. 5 sektor basisnya tentu leading sector yang sudah menjadi amanat aturan perundangan. Mari kita uji.
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengujinya?
Saya bilang, ini perlu limitasi, perlu waktu. Tapi belum bisa diprediksi berapa lama waktu yang dibutuhkan. Dan sampai detik ini, dari mulai Pak Menko menyampaikan beribu-ribu itu, belum ada penjangkauan, berarti ini tidak sinkron dalam ranah pembangunan kita. Sehingga KPAI berharap dan sedang melakukan advokasi menjangkau anak-anak ini, untuk kami lakukan langkah-langkah pemulihan dan rehabilitasi. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved