Banyak media memilih narasi negatif ketika memberitakan kelompok minoritas.
Media massa adalah pilar keempat demokrasi setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebagai pilar demokrasi, pers yang bebas tanpa belenggu dan intervensi penguasa adalah sebuah keharusan. Dalam negara demokratis, maka media massa wajib menjalankan fungsi kontrol sosial sekaligus menjadi jembatan agar publik mendapat informasi yang layak dan kritis terhadap jalannya roda pemerintahan.
Sayangnya, dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, banyak hal-hal yang justru tak mendapat porsi yang adil dalam pemberitaan media. Euforia demokrasi tak berbanding lurus dengan media yang lebih demokratis dan memberi porsi yang berimbang dalam pemberitaan.
Salah satu yang sering mendapat perlakuan diskriminasi dalam pemberitaan adalah kelompok minoritas. Minoritas agama, minoritas etnis hingga minoritas gender. Kelompok ini masih mengalami diskriminasi dan stigma negatif yang salah satunya bersumber dari pemberitaan media yang tak adil pada mereka.
Hal tersebut disampaikan oleh Dr Dina Listiorini MSi yang menyelesaikan penelitian disertasinya dengan judul “Rezim Kebenaran Media dalam Kepanikan Moral (Diskursus Foucauldian dalam Gelar Wicara Televisi dan Berita Daring 2016-2018).
Setelah melakukan penelitian selama tiga tahun, Dina menemukan banyak media yang terjebak untuk ikut memberi stigma negatif, bahkan menghakimi kelompok minoritas melalui pemberitaan mereka.
Berikut wawancara Endah Lismartini dari politikindonesia.id dengan Dr Dina Listiorini MSi, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Bagaimana pendapat Anda tentang keberpihakan media hari ini terutama terkait pemberitaan tentang isu-isu kelompok minoritas gender?
Keberpihakan media terhadap isu-isu minoritas gender masih tetap sama dengan kondisi tahun 2015-2016. Hanya saja mungkin kemudian ranahnya berbeda-beda dan lebih menyebar. Kalau dulu kan, tahun 2016 banyak hujatan dan penolakan, tahun 2017 persekusi, tahun 2018 terkait dengan aturan-aturan atau kriminalisasi. Ini sebenarnya kurang lebih sama meskipun isunya bermacam-macam.
Nah yang kemudian mencolok dari tahun 2023 itu adalah yang terkait dengan munculnya Perda anti LGBT atau aturan-aturan yang terkait. Misalnya tentang pengesahan KUHP. Apakah perlu ada muatan atau larangan anti LGBT di situ. Lalu kemudian soal Perda anti LGBT di berbagai daerah, seperti di Makasar, di Garut, di Bogor. Kemudian ada spanduk-spanduk anti LGBT di Depok, di Bogor, Karawang. Kemudian terjadi sweeping, intimidasi dan banyak pemberitaan yang diskriminatif. Misalnya, isu cacar monyet yang dikaitkan dengan LGBT. Kartun anak juga dikaitkan dengan LGBT. Hal seperti itu yang semakin banyak bertebaran, terutama di media online.
Menurut Anda, apa yang membuat media terjebak pada keinginan untuk menghakimi bahkan memarginalkan kelompok minoritas gender?
Sebetulnya kita juga harus melihat bahwa orang-orang yang bekerja di media itu bukan hanya sebagai pekerja media, tapi mereka juga bagian dari masyarakat dan individu dalam sebuah institusi sosial. Mulai dari keluarga, lingkungan tetangga, lingkungan agama, entah itu gereja, masjid atau lingkungan lainnya. Banyak ketersinggungan juga dengan lingkungan lainnya, seperti sekolah, pertemanan dan lain sebagainya. Dan itu yang bisa membuat terbentuknya cara berpikir, cara pandang dan pengetahuan dari jurnalis, bahkan editor yang bersangkutan. Kedua, ini yang saya dapatkan dari hasil diskusi dengan teman-teman jurnalis, ada ketakutan bahwa medianya akan disebut pro LGBT. Ada kekhawatiran bahwa media mereka bisa digerebek massa, dan lainnya. Artinya ini persoalan yang terkait dengan bisnis media dan soal pengetahuan.
Lalu soal kebijakan yang juga terkait dengan cara berpikir yang pragmatis yang melingkupi itu tadi. Akhirnya jadi kebijakan yang memang akhirnya memunculkan komentar bahwa ini adalah 'bagian dari jihad kami.' Karena menurut jurnalis dan media, judul-judul yang bombastis akan menarik banyak pembaca dan menaikkan pendapatan media. Akhirnya ada juga persoalan ekonomi media di situ.
Ketiga adalah terjadinya pembiaran. ini sering kali bersumber dari teman-teman minoritas gender yang cenderung menghindari pembicaraan dengan media karena mereka tidak memiliki rasa percaya pada media dan jurnalis. Mereka mengatakan pernyataan mereka sering dibelokkan, dipolitisir, bahkan diputar balik sehingga mereka tidak punya trust lagi terhadap wartawan dan media. Jadi akhirnya teman-teman jurnalis juga mencari narasumber seadanya. Bahkan ada praktisi media menyimpulkan bahwa urusan dengan LGBT adalah persoalan moral dan hukum. Maka ketika mengundang narasumber untuk bicara minoritas gender adalah narasumber yang berkaitan dengan moral dan hukum.
Pernyataan ini akhirnya berujung bahwa kalau bicara moral dan hukum, maka yang layak berkomentar adalah tokoh-tokoh agama. yang sudah pasti tidak membenarkan pernyataan soal queer dan keberadaannya. Sedangkan kacamata hukum selalu melihat apakah secara hukum keberadaan mereka bisa dibenarkan atau tidak, dan apakah mereka melanggar hukum atau tidak. Akhirnya seperti itu.
Sebagian media seperti membiarkan pemberitaan tentang kelompok minoritas gender menjadi subyektif. Mengapa terjadi hal seperti itu?
Kenapa ini akhirnya menjadi subyektif, karena itu tadi, selain cara pandang jurnalisnya, tidak ada kejelasan juga dari editor atau newsroomnya, yang mengatakan 'kita tidak boleh melakukan diskriminasi tapi juga tidak perlu terlalu membela,' ini kan pernyataan yang membingungkan. Selain itu belum banyak akademisi atau aktivis yang punya pandangan yang berbeda dari pandangan-pandangan umum. Sehingga muncul pandangan-pandangan yang subyektif tersebut.
Bahkan beberapa media yang berpegang teguh pada ajaran Abrahamic, misalnya seperti sebuah media besar. Media ini punya sikap yang konsisten menolak pada minoritas gender dan seksual. Juga jaringan pemberitaan sebuah stasiun televisi, juga ada konsistensi untuk tidak menerima kelompok ini. Kalau ditanya mengapa, ya harus dicari lebih jauh. Cara pandang dan pengetahuan ini yang bahkan akhirnya membentuk pola pikir yang mengaitkan hal ini dengan gaya hidup. Padahal persoalan minoritas gender dan seksual bukan persoalan gaya hidup. Tidak sesederhana itu.
Media massa sebagai pilar keempat demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya ketika memberitakan tentang minoritas gender. Seberapa merugikan jika ini dibiarkan? Siapa saja yang dirugikan dari pemberitaan yang tidak berimbang ini?
Ada hal yang ironis, ketika negara kita mengalami eforia reformasi, dimana seharusnya media menjadi media yang lebih demokratis, tapi ternyata itu tidak terjadi ketika memberitakan kelompok minoritas gender ini. Begitu juga dengan pemberitaan soal minoritas agama. Kelompok Ahmadiyah dan Syiah tidak mendapatkan pemberitaan yang proporsional di media. Tapi pemberitaan yang membentuk stigma dan diskriminasi malah semakin banyak.
Pembakaran kampung Syiah di Sampang, Madura, dan pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa tahun 98 yang tak pernah tuntas sampai sekarang adalah contoh dimana kelompok minoritas ini tidak mendapat porsi yang seimbang di media. Termasuk bagaimana pertanggungjawaban negara terhadap persoalan tersebut secara konkret, saya tidak melihat itu sampai saat ini.
Artinya, eforia demokrasi yang kita alami ternyata tidak berbanding lurus dengan pemberitaan yang lebih ramah terhadap kelompok minoritas.
Dalam disertasi saya, saya menyebut ada tiga rezim yang berpengaruh dalam membentuk pola pikir jurnalis dan cara pandang mereka, juga masyarakat, terhadap kelompok minoritas ini. Pertama, rezim heteronormatif. Rezim ini yang membuat orang-orang berpikir bahwa heteroseksual adalah yang terbaik. Dan di luar itu adalah salah. Lalu ada rezim Islam Konservatif. Ini kalau mengutip Martin Van Bruinessen, dia menulis “Indonesia The Return of Conservative.” Hal ini kembali melalui budaya-budaya populer seperti sinetron reliji, lalu kemudian banyak orang-orang yang mulai berpakaian gamis-gamis, lalu jilbab, dan kemudian artis-artis yang sebelumnya berpakaian terbuka akhirnya memakai pakaian syari.
Tapi sebenarnya kelompok ini muncul lahir dari kepanikan moral yang kedua, yaitu munculnya Inul Daratista. Ini adalah kepanikan moral kedua. Kepanikan moral pertama adalah soal Gerwani. Kepanikan moral kedua ini yang melahirkan UU Pornografi dan Pornoaksi. Kemudian yang ketiga, masuk dalam disertasi saya tentang kepanikan moral soal LGBT. Ini adalah masuk dalam rezim di mana pengetahuan soal seksualitas itu dibungkam. Artinya orang tidak boleh bicara soal seksualitas dan dianggap tabu bicara soal seksualitas. Tidak ada pembicaraan soal sexual education di sekolah-sekolah. Kalau enggak salah, tahun 2011, ada pernyataan Mendikbud yang mengatakan tidak perlu anak-anak diajarkan bicara seksual karena nantti bisa menjebak mereka dalam hal-hal pornografi. Itu jelas salah. Kalau ini dibiarkan, maka orang tidak punya lagi pengetahuan yang komprehensif. Ini kan bicara pengetahuan ya.
Padahal narasi pemberitaan, harusnya bisa menjadi pengetahuan. Tapi kalau akhirnya pemberitaan mendiskriminasi dan membentuk stigma, maka orang-orang akan berpikir itu benar. Jadi kebenaran media hari ini masih homophobic. Sorry to say, saya harus mengatakan ini. Rezim kebenarannya itu masih homophobic. Saya tidak menyangkal bahwa ada kerja-kerja dari teman-teman SeJUK, teman-teman AJI. Tapi kan kita bicara bagaimana fakta itu muncul di pemberitaan. Masih banyak yang seperti itu.
Kondisi ini sebenarnya membawa banyak kerugian. Pada mahasiswa, pada masyarakat umum, dan lain lain. Sebab, pandangan seperti ini sebenarnya bisa membawa pada pandangan yang diskriminatif, dan menjadi tidak manusiawi. Dan ini jelas kerugian besar sebenarnya untuk langkah maju demokrasi kita pada saat ini.
Menurut Anda, apa yang perlu dilakukan agar media dan jurnalis tidak terjebak untuk menjadi hakim dalam pemberitaan yang terkait kelompok minoritas gender?
Perlu kerjasama yang komprehensif pada pihak-pihak yang saling terkait. Editor, newsroom, jurnalis, termasuk mahasiswa jurusan ilmu komunikasi, harusnya punya standar untuk bagaimana menulis tentang kelompok-kelompok rentan. Itu tidak semuanya punya. Itu yang perlu digarisbawahi sehingga kemudian kita bisa mendapatkan jurnalis yang punya perspektif pemberitaan yang adil.
Untuk redaksi, harusnya redaksi juga menjunjung Kode Etik Jurnalistik. Pedoman penulisannya itu dipilih dengan diksi-diksi yang tidak menghakimi. Kalau perspektifnya tidak menghakimi, rasanya pemberitaan soal minoritas gender dan seksual ini jadi aman.
Lalu berkaitan dengan pemilihan narasumber, mungkin organisasi jurnalis seperti AJI, SeJUK, PWI, itu punya daftar narasumber untuk minoritas gender dan seksual, organisasi mereka, LBH yang peduli pada mereka, YLBHI, dosen dan komisioner-komisioner yang peduli, termasuk ahli agama, ustadz, ustadzah yang tidak menghakimi. Kalau organisasi punya daftar orang-orang ini, ketika ada persoalan pemberitaan maka bisa ke orang-orang tersebut.
Di disertasi saya, saya juga membahas tentang organisasi-organisasi minoritas gender. Saya membahas bagaimana organisasi ini bisa bekerjasama dengan media. Saya pernah mencoba membuat kegiatan yang bisa menghubungkan antara teman-teman minoritas gender dengan media, tapi sayangnya media visit yang saya buat tidak bisa berjalan sesuai harapan.
Para peneliti dan dosen itu juga memang menghasilkan riset, tapi hasil risetnya itu kemudian dibubuhi dengan kata-kata penyimpangan. Kalau kita bicara narasi tanding, maka sebaiknya peneliti-peneliti itu juga membuat riset-riset yang kolaboratif. Dosennya juga, penelitinya juga. Misalnya tentang penguatan isu gender. Jadi risetnya itu sebaiknya juga membuat narasi tanding. Misalnya, enggak perlu bilang transgender dan seterusnya. Enggak perlu juga. Orang nanti akan bisa mencari dan melihat
Misalnya memberitakan seseorang yang sedang berkebun, enggak perlu diberitahu bahwa yang berkebun adalah seorang transgender. Ada yang berkebun, beternak kambing, salon, banyak yang dilakukan. Biar saja orang melihat sendiri. Beberapa waktu lalu mereka yang tergabung dalam Kebaya Yogya juga membuat acara. Tapi dari acara itu kita bisa berkesimpulan, bahwa we’re all human. Tak perlu menyebut identitasnya. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved