Fakta persidangan terdakwa mantan pegawai Dirjen Pajak Bahasjim Asyafie mengagetkan banyak pihak. Bagaimana mungkin seorang pejabat pajak yang bergaji kurang dari Rp30 juta, bisa punya uang direkeningnya hingga Rp1,3 triliun lebih. Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak penegak hukum untuk menelusuri asal-muasal uang direkening tersebut.
Seperti diketahui, di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis kemarin, jaksa mengungkapkan bahwa Bahasjim memiliki rekening senilai Rp932 miliar. Jumlah itu ditambah dengan uang dari tindak pencucian uang senilai Rp460 miliar. Total duit Bahasyim diprediksi berkisar Rp1,3 triliun.
“Kalau jumlahnya sampai segitu, sangat surprise. Seingat saya waktu itu ada Rp60-an miliar. Penanganan kasus Bahasjim hampir luput dari perhatian publik. Sejak penanganan kasus dilakukan oleh penyidik Polda Metro Jaya, publik tidak tahu, terkesan tertutup,” ujar aktivis ICW Firdaus Ilyas, Jumat (01/10).
Dikatakan Firdaus, hal yang lebih penting dilakukan yakni mengusut sumber dana Bahasyim. Sebab, pola atau modus operandi para pegawai pajak tidak jauh berbeda yakni menangani perkara pajak bermasalah.
“Kalau dari studi pola dengan kasus Gayus, kan sama. Suap, transfer, gratifikasi atau apalah namanya terhadap perkara pajak yang mereka tangani. Seperti Gayus, Bahasyim harus ditelusuri dari siapa uang itu berasal, siapa yang mentransfer,” ujar Firdaus.
Dikatakannya lebih jauh, penegak hukum harus bisa menemukan penyumbang dana ke rekening Bahasjim tersebut. “Apakah dari perusahaan ataukah mafia pajak. Siapa sindikasi yang bermain disana, siapa saja. Apakah berasal dari bawahan, dari level terendah ataukah dari atasan yang menyangkut pejabat tinggi lain," jelas dia.
Dia menilai, fakta yang dibuka Jaksa dipersidangan kemarin masih sebatas kulit belaka. "Apa yang terjadi itu, yang dikuliti di publik hanya pucuknya saja, puncak gunung es saja. Ada yang jauh lebih besar," tambahnya.
Bahasyim terakhir menjabat sebagai Inspektur Bidang Kinerja Kelembagaan di Bappenas. Sebelumnya ia sempat menjabat Kepala Kantor Pajak Jakarta VII, Koja, Gambir dan Palmerah.
Kejahatannya mulai terendus oleh Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) karena curiga dengan banyaknya nilai transfer pejabat pajak tersebut. PPATK pun melaporkan ke Mabes Polri tahun 2006, lalu dibawa ke Polda Metro Jaya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved