SEJAK berakhirnya Perang Dingin 1991, teoritisi Hubungan Internasional, pengamat, praktisi intelijen dan keamanan internasional telah meramalkan adanya ancaman-ancaman baru bersifat non militer yang karakteristiknya sangat sulit untuk dideteksi, melibatkan aktor-aktor non negara dengan jaringan yang semakin meluas melintasi batas-batas negara. Ada 2 (dua) konsep kolektif pekerjaan intelijen yang mencakup blok "politik militer" dan blok "asosiasi ekonomi negara".
Dalam blok "asosiasi ekonomi negara", kegagalan aktor-aktor Intelijen sangat nyata karena dia berpihak. Berpihak dengan mendukung monopoli (oligarki) dan mendukung organisasi swasta non-pemerintah lainnya, aparatur keamanan telah gagal mengambil peran melakukan "penelitian, pengamanan dan penggalangan" untuk mencegah terjadinya pendadakan strategis (strategic surprise).
Akibatnya dari kegagalan "asosiasi ekonomi negara", negara mengalami kerugian serta terjadinya segregasi antar aktor-aktor intelijen dan bahkan melibatkan masyarakat. Fenomena seperti ini dapat kita lihat di sepanjang 20 tahun terakhir, dan puncaknya pada paruh waktu tahun 2024. Untuk menanggulangi hal ini, aktor-aktor Intelijen harus berpedoman pada dua hal, yaitu : informasi "terkini" dan "terpercaya" selanjutnya digunakan untuk merumuskan tindakan dengan cepat, tepat dan benar.
Kejahatan Sektor Keuangan
Saya mencatat setidaknya ada dua (2) ancaman non militer di Indonesia yang terus menerus menjadi tren yaitu: blok asosiasi ekonomi negara dan semakin menguat sejak 10-20 tahun terakhir. Ancaman-ancaman tersebut sangat potensial memperlemah kekuatan nasional kita sebagai bangsa, yaitu: ancaman "Jaringan Narkotika" dan kejahatan dalam sektor keuangan. Kejahatan Jaringan Narkotika mengakibatkan rusak-nya generasi muda-masa depan bangsa. Dua sektor kejahatan tersebut bukan lagi menjadi ancaman tersembunyi (laten), tetapi sudah menjadi nyata (manifest).
Dampak sosial dan ekonomi perdagangan dan penyalahgunaan narkoba sangat mengkhawatirkan dan kerugian negara diperkirakan Rp23,6 triliun (2004) meningkat menjadi Rp32,4 triliun, meningkat baik dari jumlah sitaan barang bukti maupun jumlah tersangka. Angka-angka yang dilaporkan ini hanya puncak gunung es dari masalah narkoba yang jauh lebih besar.
Kejahatan sektor keuangan sangat memprihatinkan dan justru melibatkan aktor-aktor keamanan, dan dianggap sebagai suatu kejahatan yang biasa dan penangannya juga biasa-biasa saja. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur keamanan dan lembaga-lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat semakin memperburuk situasi ekonomi negara.
Kejahatan dalam sektor keuangan (asosiasi ekonomi negara) terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif merugikan negara ratusan T. Keterangan Pers dari Deputi Bidang Investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Agustina Arumsari yang menyatakan bahwa Korupsi dalam sektor pertambangan (Tambang Timah) mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp300.003 T, dan "bila kejahatan sektor pertambangan bisa dicegah, dihapus, setiap orang Indonesia akan mendapat insentif uang sebanyak Rp30 juta per bulan”.
Tugas utama aktor-aktor keamanan adalah untuk mencegah terjadinya "Pendadakan Strategis" (strategic surprise), menyingkap ancaman tersembunyi dari ranah gelap semak belukar yang datang dari dalam maupun luar wilayah negara. Dalam dua varian sektor kejahatan tersebut dapat disimpulkan bahwa aktor-aktor intelijen (keamanan) gagal mencegah terjadinya pendadakan strategis yang berakibat memperlemah bahkan menggerus kekuatan nasional kita sebagai bangsa.
Profiling dan Deteksi Dini
Rekrutmen penyelenggara negara (aparatur negara) yang semakin terbuka nyaris dilakukan tanpa melakukan profiling-rekam jejak calon calon pejabat negara baik secara regular yang diisi oleh aparatur negara karir (ASN) maupun non karier melalui rekruitmen politik berdasarkan popular vote tanpa melibatkan aparatur intelijen. Agenda Profiling seolah menjadi tidak penting.
Seharusnya profiling menjadi agenda politik yang sangat penting untuk mengukur sejauh mana calon-calon pejabat negara (khususnya dalam 2 sektor) dapat melakukan tugas-tugasnya dengan baik dan sekaligus menjadi tugas aparatur keamanan untuk melakukan cegah-tangkal terjadinya pendadakan strategis. Demikian juga dengan rekruitmen politik sistem proporsional terbuka semakin memperparah situasi, menghasilkan aktor-aktor politik tanpa ideologi.
Menurut Cicero (Marcus Tullius Cicero) perintis Mazhab Stoa Romawi seorang negarawan Yunani Kuno Abad 4 SM-situasi yang semakin memburuk bisa dicegah dengan meregulasi, mengurangi-mengawasi dengan ketat kekuatan yang berlebih dari aktor-aktor keamanan dan politik. Pemikiran Cicero banyak dirujuk dalam Ilmu Hukum dan Ilmu Tata Negara pada era modern.
Menata Kembali Lembaga Intelijen
Kegagalan-kegagalan aktor-aktor intelijen untuk melakukan penelitian, pengamanan dan penggalangan sebagai langkah antisipasi mencegah terjadinya pendadakan strategis dalam sektor ekonomi keuangan negara disebabkan oleh nilai-nilai yang terus berubah dalam struktur intelijen dan politik keamanan internasional sejak Perang Dingin berakhir dan diperparah lagi dengan definisi tentang sektor keamanan yang menjadi bias dan ditafsirkan dengan beragam kepentingan serta tindakan.
Pengawasan eksternal kerja intelijen perlu ditingkatkan dengan adanya lembaga pengawas untuk mengawasi aktor-aktor keamanan di luar lembaga aparat keamanan itu sendiri, melakukan evaluasi dan penilaian berdasarkan kode etik dan profesionalisme apakah kinerja aktor keamanan telah bekerja sesuai dengan amanat Undang-undang No 17 Tahun 2011 yaitu mencegah terjadinya pendadakan strategis (strategic surprise) atau malah sebaliknya aktor-aktor keamanan bahkan sedang memicu terjadinya "low intensity conflict" dalam ranah yang lebih luas.
Istilah Low Intensity Conflict (LIC) lazim digunakan dalam pembabakan Perang Semesta (Total War) yang melibatkan instrument militer dan kekuatan senjata, Dalam situasi Perang Simetrik (konvensional) LIC diartikan sebagai situasi yang berada pada keadaan damai sampai dengan "Perang Konvensional" dengan menggunakan seluruh persenjataan yang ada.
Sedangkan LIC dalam Perang Asimetrik merujuk kepada kejahatan Jaringan Narkotika dan Kejahatan Ekonomi semakin sulit untuk diantisipasi, dikenali sebab melibatkan aktor-aktor keamanan yang semakin massif.
Lembaga Pengawasan Intelijen ini wajib diisi oleh individu-individu berdasarkan fit and proper yang mempunyai integritas moral, keilmuan serta narasi yang kuat tentang manajemen sektor keamanan, terbebas dari afiliasi politik manapun untuk melakukan pengawasan dengan ketat kinerja aktor aktor keamanan untuk bekerja secara profesional mencegah timbulnya pendadakan strategis (strategic surprise).
*Penulis adalah Marsekal Pertama TNI (Purn), Analis Intelijen, Politik dan Keamanan Internasional. Pernah menjabat sebagai Perwira Tinggi (Pati) Sahli Kasau Bidang Sumber Daya Nasional (Sumdanas 2018), Saat ini bekerja sebagai Kelompok Ahli Badan Pengarah Papua (BPP)
© Copyright 2024, All Rights Reserved