Sejak Pilpres sampai sekarang, situasi politik begitu dinamis. Polarisasi politik cukup tajam. Jika di Pemerintahan dikuasai oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH), sedangkan di parlemen, Koalisi Merah Putih (KMP) yang berkuasa.
Secara programmatik pernyataan yang disampaikan kedua kubu sepertinya tidak ada perbedaan. Keduanya akan mewujudkan kedaulatan, kemandirian serta kepribadian bangsa. Trisakti, sebagai landasan membangun Indonesia ke depan.
Blok KMP menyatakan akan mencabut semua UU yang Pro Asing. Demikian juga Jokowi-JK, beserta partai pendukungnya, terutama PDIP sudah berulang kali mengatakan akan berjuang mewujudkan Kedaulatan, Kemandirian serta Kepribadian Bangsa.
Trisakti. Siapapun tentunya akan bersepakat, karena itulah sarat utama membangun Indonesia yang adil makmur.
Tanggal 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit, dijelaskan dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1959, "Penemuan Kembali Revolusi Kita", menjadi Manifesto Politik Bangsa Indonesia, Manipol USDEK, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Nasional, disahkan oleh DPA dan MPRS tahun 1960 menjadi GBHN, sebagai pelaksanaan dari Trisakti.
Semua sedang menunggu arah perjuangan dari 2 blok politik tersebut. Siapa yang sungguh-sungguh memperjuangkan Trisakti, dan siapa yang menjadikan Trisakti sebagai demagogi politik. Apakah dua blok tersebut akan bahu membahu mewujudkan Trisakti, sebagai implementasi dari cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 atau justru akan saling menegasikan satu sama lain.
Yang jelas, jangan sampai polarisasi politik ini diboncengi dan dimanfaatkan oleh kekuatan asing, yang memang bertujuan memecah belah bangsa, menjadikan mereka tuan di negeri kita dan menempatkan kita dalam keterbelakangan.
Dan, kepentingan bangsa harus ditempatkan di atas kepentingan pribadi atau golongan. Karena pada akhirnya rakyatlah yang akan menjadi hakim. Siapa yang khianat, akan berhadapan dengan rakyat! Salam Gotong Royong.
*Agus Jabo Priyono, Ketua Umum PRD
© Copyright 2024, All Rights Reserved