Sudah merugikan negara, juga melanggar aturan. Itulah cerminan transaksi penjualan saham PT Indomobil Sukses Internasional (IMSI) oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Menurut hitungan yang ada, setidaknya negara akan dirugikan sebesar Rp3,370 triliun. Jauh lebih besar dari yang pernah diungkapkan Presiden Megawati sebesar Rp1,7 triliun.
Bayangkan, jika transaksi Indomobil ini dilakukan, disamping kerugian negara, juga mengabaikan rekomendasi Divisi Manajemen Risiko (Asset Disposal Risk Management/ IADRM) BPPN dan tidak diperolehnya persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Entah apa motivasinya, mengapa PT Holdiko Perkasa, perusahaan yang dibentuk BPPN untuk menjual aset BPPN itu terburu-buru menjual Indomobil. Ada apa sebenarnya?
Sesuai dengan prosedure yang ada, seharusnya penjualan Indomobil perlu melalui persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Hal ini terungkap dalam Memo No 186/Memo/AMI-BPPN yang dikirimkan oleh Phoa Bing Han dari Divisi Asset Management Investment (AMI)-Asset Disposal kepada Deputi Chairman Asset Management Credit (AMC) BPPN dan Kepala Divisi Asset Disposal AMC Mohammad Syahrial tertanggal 27 November 2001.
Dalam memo tersebut, jelas terungkap bahwa Irwan Siregar dalam catatannya menegaskan, perlunya persetujuan KKSK karena nilai (specified value) dari aset yang dijual melebihi Rp 1 trilyun. Penegasan sama juga disampaikan oleh Divisi Manajemen Risiko BPPN dalam Memo No 743/IADRM/11/01 tertanggal 28 November 2001.
Kenyataan ini semakin mempertegas, bahwa memang tidak semua petinggi dan orang-orang yang dibayar mahal oleh rakyat di BPPN, memiliki niat mulia. Justru, sebagian diantara mereka memanfaatkan sisa umur BPPN yang tinggal setahun lagi untuk melakukan penjarahan besar-besaran.
Bayangkan, jika satu transaksi mengakibatkan potensi kerugian negara sampai triliunan rupiah, berapa jumlah duit yang nyasar ke kantong mereka. Itu baru satu transaksi, kalau dua, tiga atau sepuluh perusahaan berapa besar dana yang tidak jelas itu. Lalu, untuk apa badan yang cenderung tidak transparan ini terus dipertahankan?
Selain soal persetujuan, soal besaran nilai asset pun berbeda. Pernyataan KKSK santa berbeda dengan pendapat Divisi Risk Management (IADRM) BPPN. Dalam Memo No 743/IADRM/ 11/01, Divisi IADRM menyebutkan saham dan obligasi konvertibel (convertible bond/CB) IMSI milik Holdiko (yang kemudian dijual ke Trimegah) diperoleh berdasarkan Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA-perjanjian penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan jaminan aset) antara BPPN dengan Salim dengan specified value sebesar Rp 2,147 trilyun.
Karena specified value-nya melebihi Rp 1 trilyun, maka untuk bisa menjual aset tersebut, BPPN/Holdiko perlu persetujuan KKSK. Mengenai hal ini, pejabat KKSK berpegang pada nilai hasil penjualan kepada Trimegah, yakni Rp 624,5 milyar, dan bukan pada specified value dari aset tersebut saat diserahkan Salim ke BPPN.
Penjualan IMSI pada tahun 2001 juga menunjukkan bahwa BPPN/PT Holdiko telah mengabaikan rekomendasi IADRM agar IMSI tidak dijual pada tahun 2001. Dalam Memo No 765/ IADRM/12/01 tertanggal 6 Desember 2001, IADRM dengan tegas mengingatkan agar penjualan IMSI dilakukan hanya jika target setoran BPPN untuk APBN 2001 sebesar Rp 27 trilyun belum terpenuhi.
Dari situ sudah terlihat, ada interest tertentu yang menggerakkan para penguasa BPPN untuk buru-buru melepas Indomobil. Siapa di balik itu?
Yang pasti, untuk melicinkan rencana tersebut, BPPN langsung mengganti konsultan dari Price Waterhouse Cooper (PwC) ke Deloitte & Touche Corporate Finance (DTT). Rangkaian manuver BPPN untuk mengelabui, tampaknya tidak hanya berhenti pada penggantian konsultan ini. Simak saja dengan adanya pengumuman bahwa ada pembeli serius diantara disebutkan Rabobank, padahal Rabobank sudah mundur dan tidak turut serta dalam penawaran untuk mengambil alih saham Indomobil.
Berdasarkan valuasi yang dilakukan PwC tahun 2000, nilai aset Holdiko di IMSI adalah sebesar antara Rp 1.668 milyar hingga Rp 2.104 milyar. Dengan memperhitungkan valuasi aset yang dibuat DTT, menurut perhitungan staf Holdiko, potensi kerugian yang ditanggung negara mencapai Rp 3,370 trilyun, atau jauh lebih besar dari angka Rp 1,7 trilyun yang pernah disebutkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dalam sidang kabinet beberapa waktu lalu.
Inilah salah satu kenyataan pahit yang harus diterima rakyat. Harga yang dipatok BPPN juah dibawah harga pasar. Inilah yang mungkin menyebabkan pihak Salim ngotot dan akan menempuh berbagai cara untuk kembali menguasai asset-aset milik mereka, sebelumnya. Tentu Salim tahu, bahwa BPPN menutupi kongkalikong dengan mengkambinghitamkan mereka. Pahit bagi rakyat, manis bagi BPPN.
© Copyright 2024, All Rights Reserved