Bisa jadi, dengan modal politik yang begitu kokoh, ke depan, SBY memiliki kekuatan besar untuk bertindak secara tegas, jernih, tanpa dibayang-bayangi rasa cemas akan adanya hambatan-hambatan politik dalam menjalankan program pemerintahan, seperti yang terjadi pada periode sebelumnya.
Keberhasilan SBY memenangkan secara mutlak pemilu presiden dan keberhasilan Partai Demokrat dalam pemilu legislatif, merupakan bukti bahwa sebagian besar rakyat Indonesia mempercayainya. Apalagi, langkah pengembangan koalisi politik -- melalui sikap akomodatif, baik dalam pemerintahan ataupun di parlemen, tampaknya akan menjadi kenyataan.
2009-2014 merupakan pemerintahan Presiden SBY yang terakhir. Mengenggam modal politik yang begitu besar dan cenderung bertambah besar, diharapkan SBY sukses meletakkan platform pembangunan Indonesia, guna menuju masa depan yang lebih baik.
Memang kekuasaan perlu di sharing. Tapi perlu tetap peduli kepada siapa diberikan. Si merah dapat anu, si biru jadi anu, si kuning dapat anu, si hijau jadi anu atau si hitam dapat anu. Namun, jangan sampai terjadi, tak peduli siapa yang memegang sapi, yang penting bisa memerah susunya.
Pengalaman pada penyusunan kabinet yang lalu, SBY mengawali tradisi baru dengan memanggil, mewawancarai, menimbang calon, baru kemudian memutuskan siapa yang menjadi menteri.
Kini bulan Oktober 2009. Anggota DPR RI sudah dilantik. Hanya dalam hitungan hari, tepatnya pada 20 Oktober 2009 pasangan Susilo Bambang Yudhoyono ? Boediono juga akan dilantik menjadi Presiden-Wakil Presiden RI periode 2009-2014.
Kabar finalisasi program kerja dan struktur kabinet serta kristalisasi kandidat menteri yang berlangsung sebelumnya, kempes seiring terjadinya musibah gempa di Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Jambi. Tetapi, bukan berarti SBY-Boediono tidak merampungkannya.
Ada kesan, SBY memikirkan kebutuhan akan struktur kementerian terlebih dahulu, baru mencari orang yang tepat di sana. Setidaknya, hingga tulisan ini diturunkan, belum ada keterangan secara formal struktur kabinet yang akan diemban SBY-Boediono. Begitu juga soal siapa yang akan menjadi menteri.
Kesan semacam itu dapat salah. Bisa saja struktur kabinet yang dijanjikannya sudah final. Namun, belum saatnya diumumkan. Seliweran bocoran tentang kandidat calon menteri dan kembali adanya pemisahan departemen, menunjukkan adanya dinamika keseriusan dalam menata format pemerintahan ke depan. Namun, gerakan paralel dengan itu, seperti memanggil para calon menteri belum terdengar di publik. Sungguh, jurus ini mengunci perhatian masyarakat agar tak berpaling dari SBY.
Sekadar kilas balik, menyangkut soal sosok dan posisi, --untuk menangkap isyarat dan terka-menerka, ketika itu, menjelang penyusunan kabinet, Jenderal TNI, Endriartono Sutarto mundur dari jabatan Panglima TNI. Peristiwa ini ditangkap berbagai kalangan sebagai isyarat untuk menjadikan mantan Panglima TNI itu sebagai Menteri Pertahanan. Namun beragam analisa dan dugaan itu ternyata keliru. Saat kabinet diumumkan, justru SBY menunjuk sosok sipil untuk menggawangi Departemen Pertahanan, yakni Juwono Sudarsono.
Terobosan lainnya, Kementerian Negara Pariwisata dan Kebudayaan diubah statusnya menjadi departemen. Lantas, Departemen Perindustrian dan Perdagangan disapih. Selain itu, SBY juga memisahkan Departemen Permukiman dan Prasaran Wilayah, masing-masing menjadi Departemen Perumahan dan Departemen Pekerjaan Umum.
?Saya khawatir masalah perumahan rakyat akan menjadi persoalan nomor dua atau nomor tiga,? ujarnya.
Kini, isyarat serupa muncul kembali. Tampaknya akan hadir Departemen Sumber Daya Alam yang merupakan pemisahan dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.
Bila melihat argumentasi pemisahan departemen pada kabinet yang lalu, maka langkah melikuidasi departemen, tampaknya tidak akan terjadi pada kabinet mendatang.
Hanya saja, bila kembali terjadi pemisahan lingkup kerja -- disamping memang menjadi kebutuhan terlaksananya program pemerintahan (faktor koalisi juga masuk dalam pertimbangan), tentu kabinet akan bertambah gemuk, daripada kabinet sebelumnya. Disini akan memunculkan kecemasan, bahwa akan terjadi pemborosan? Ada jawabannya : Sudah dilakukan analisa cost benefit analysis. Jadi tetap efisien dan efektif.
Implisit, kinerja pemerintahan akan bergantung pada kualitas koordinasi antardepartemen dan pengawasan intensif. Dalam konteks ini, orang kemudian mafhum jika SBY juga berharap pada staf kepresidenan, selain Dewan Ekonomi Nasional dan Dewan Keamanan Nasional, Dewan Pertimbangan Presiden yang sudah ada.
Dalam soal ini, diyakini SBY sudah melakukan evaluasi. Apakah staf-staf kepresidenan yang ada selama ini, cukup bermanfaat atau sudah menjalankan tugas dan fungsinya dengan benar. Tentu saja masukan yang diberikan kepada presiden, baik berupa evaluasi kinerja kabinet, analisis informasi, maupun konsep kebijakan untuk dijalankan oleh para menteri, menjadi bagian pokok yang dianalisa. Disamping prilaku dan tata-krama tentunya.
Bila pada kabinet mendatang terjadi pemisahan kementerian. Untuk menilai apakah pemisahan tadi bukan bermotif ?bagi-bagi kue?, maka jawabannya akan terlihat pada sosok yang mengisi jabatan.
Begitu juga bila kabinet bertahan atau bertambah gemuk. Banyak pihak akan menyoal, karena sekarang zamannya desentralisasi. Kekuasaan sebagian sudah dilimpahkan ke daerah. Untuk apa pusat mengurus begitu banyak persoalan yang sebenarnya bisa didelegasikan ke daerah? Ini akan bertentangan dengan nafas otonomi. Tentu hasil evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah, merupakan jawabannya.
Sebelum diumumkannya kabinet 2009-2014, soal kriteria menteri yang direkrut, integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas serta profesionalitas akan tetap dipertahankan.
Last but not least, SBY mengakomodasi unsur kemajemukan dalam kabinet. Pemerintahan baru akan merefleksikan keterwakilan suku bangsa Indonesia, selain partai politik pendukung dan kalangan non-partai politik. Soal batas usia menteri akan menjadi pertimbangan. Seluruh faktor tersebut sangat dipertimbangkan masak-masak untuk membentuk kabinet kerja.
Apakah ini tidak menjadikan kabinet pelangi? Tidak juga.Tentu ada matriks antara kriteria, unsur partai, non-partai, dan unsur kemajemukan.
Kajian matriks itu dapat menjelaskan, misalnya, alasan untuk tetap mempertahankan beberapa wajah lama dalam pemerintahan sebelumnya. Misalnya, Sri Mulyani Indrawati, Purnomo Yusgiantoro, MS Ka?ban, Hatta Radjasa,Meutia Hatta dan Siti Fadillah Supari. Sepanjang bursa pencalonan menteri, nama-nama ini dianggap sukses pada kabinet yang lalu. Walau secara umum, keberhasilan kinerja menteri kabinet yang lalu, angkanya diatas 50 persen.
Bila terjadi kegemukan pada kabinet, secara teoritis, scale of control (rentang kendali) dimungkinkan munculnya kerepotan. Bila ingin mempersempit rentang kendali, tentu bisa dicapai dengan melakukan pengelompokan pekerjaan sejenis yang dilimpahkan pada satu jabatan kementerian.
Ambil contoh menteri tenaga kerja yang bisa dilimpahkan tugasnya kepada menteri dalam negeri. Bukankah mengatur tenaga kerja dapat dilakukan melalui otonomi daerah? Demikian pula ketika pemerintah mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Cukup dilakukan oleh pemerintah daerah, yang dibantu oleh Kedubes Indonesia dan kementerian luar negeri.
Di tengah perdebatan nama dan struktur kabinet, dua pekan ini akan menjadi awal yang menentukan: klimaks atau justru antiklimaks. Bukan saja bagi masa depan pemerintahan SBY-Boediono, melainkan juga antusiasme rakyat menyongsong bulan madu kedua bersama SBY.
Yang jelas, SBY-Boediono sudah menyiapkan program aksi untuk pemerintahan lima tahun mendatang serta program 100 hari pertama. Keduanya juga menyusun kontrak kerja dan pakta integritas bagi calon-calon menteri yang akan mengisi kabinet mendatang. SBY baru menyusun kabinet setelah 1 Oktober 2009, sehingga susunan kabinet yang saat ini telah beredar di ruang publik sudah jelas bukan berasal darinya.
Nama-nama menteri yang diumumkan setelah 20 Oktober nanti, memaksa masyarakat untuk memutar ulang memori mereka. Terutama sejak Yudhoyono menetapkan kriteria orang-orang kepercayaannya. Masyarakat niscaya berhitung.
Satu, benarkah anggota kabinet ini telah mengisyaratkan komposisi dari parpol dan bukan parpol? Asal tahu saja, beberapa nama menteri yang mewakil parpol koalisi pilpres, beredar hangat di tingkat kristalisasi pencalonan.
Unsur keterwakilan partai yang tidak masuk dalam barisan pendukung SBY-Boediono pun, diam-diam berembus untuk masuk kabinet. Terutama dari PDIP, Golkar, dan Gerindra. Misalnya ada nama Agung Laksono dan Erlangga Hartarto dari Partai Golkar. Dari PDIP munculnya Pramono Anung dan Puan Maharani. Sementara Gerindra muncul sosok Prabowo Subianto.
Dua, apa iya menteri-menteri pilihan merupakan sosok yang punya integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas? Apa iya para pembantu presiden ini telah mengakomodasi unsur kemajemukan?
Tiga, benarkah ini sungguh-sungguh kabinet kerja?
Pertanyaan terakhir sangat penting. Selain ekspektasi rakyat terhadap dirinya sangat tinggi, kabinet kerja yang profesional merupakan pilihan final untuk mewujudkan komitmen presiden terpilih.
Bila demikian, kabinet yang gemuk dan majemuk, bukan lagi soal. Betapapun memilih menteri adalah keputusan politik seorang presiden yang tak bisa diganggu, apalagi digugat. Sama halnya ketika rakyat memilih pasangan SBY-Boediono, itu keputusan tak juga tak bisa diganggu gugat.
Bedanya, rakyat umumnya memilih presiden berdasarkan percaya atau tidak percaya, selain suka atau tidak suka. Sementara presiden memilih menteri berdasarkan cocok atau tidak cocok.
Diharapkan, mereka yang terpilih sebagai menteri adalah orang yang tepat, di posisi yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Para menteri diharapkan memiliki dedikasi serta integritas dan memenuhi kontrak kerja yang telah disepakati. Bila tidak, tinggal menunggu saat diganti.
© Copyright 2024, All Rights Reserved