Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti menyatakan, setidaknya ada 6 hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Terorisme.
Hal itu diungkapkan Badrodin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, di gedung DPR, Jakarta, Senin (25/01).
Hal pertama yang disampaikan Badrodin, revisi perlu difokuskan untuk penguatan Polri. Bukan hanya dalam penanggulangan teror, melainkan juga dalam hal pencegahan dan deradikalisasi.
Kapolri mengusulkan, perlu penambahan bab dan pencegahan diperlukan dengan menjadikan UU Antiterorisme sebagai lex specialis di dalam KUHAP dan KUHP.
Kapolri juga meminta, agar dalam hal pencegahan, Polri diberikan kewenangan untuk menahan orang-orang yang patut diduga ingin bergabung ke dalam kelompok teror.
"Ketiga, perlu juga perluasan kategori tindak pidana terorisme, antara lain doktrin radikal, cuci otak, baiat terhadap organisasi teroris, ceramah provokatif, pelatihan kemampuan ala militer secara tidak sah, untuk dapat digolongkan sebagai tindak pidana terorisme," ujarnya.
Kapolri juga meminta adanya penguatan di dalam hukum acara dalam penangangan kasus teroris, seperti dalam hal penangkapan terduga teroris yang sebelumnya hanya bisa dilakukan 7 x 24 jam menjadi 30 x 24 jam.
Kapolri juga mengusulkan, dalam hal waktu penahanan, Polri diberi kewenangan lebih luas, dari semula hanya bisa dilakukan selama 180 hari, kini diusulkan menjadi 240 hari. "Selanjutnya, perlu juga penambahan bab tentang deradikalisasi," kata dia.
Poin lainnya, Badrodin meminta agar Revisi UU Terorisme mengakomodir persidangan terhadap saksi dapat dilakukan melalui telekonferensi. Saksi dalam kasus tindak pidana terorisme perlu dilindungi lantaran sering kali mendapatkan ancaman.
Dalam rapat kerja itu, Badrodin juga mengungkapkan, selama ini belum ada aturan yang dapat menjerat pelaku yang melakukan tindakan pendahuluan terorisme.
Untuk itu, dia pun menyarankan agar Polri diberi wewenang tambahan dalam revisi UU tersebut.
Tindakan pendahuluan yang dimaksud Kapolri antara lain adalah doktrinisasi paham radikal, cuci otak, hingga upaya baiat yang menyimpang. Contoh lainnya, ceramah bernada provokatif, ajakan melalui media sosial, hingga pemberian pelatihan militer secara tidak sah dengan tujuan menggabungkan diri ke dalam kelompok radikal di dalam ataupun di luar negeri.
"Rekomendasi kami, revisi perlu dilakukan terhadap UU Penanggulangan Terorisme yang dapat menjadi dasar dalam penindakan oleh Polri," ujar Badrodin.
© Copyright 2024, All Rights Reserved