Untuk mewujudkan cita-cita bangsa, salah satu pokok yang dipandang paling mendasar adalah pembangunan karakter. Walaupun banyak model dan pola pembangunan karakter, wahananya tetaplah pendidikan. Artinya, pendidikan sebagai proses pembentukan setiap manusia secara utuh dalam komunitas.
"Seperti yang pernah dikatakan Ki Hajar Dewantara, bahwa kebudayaan tiap bangsa adalah apa yang disebut sebagai karakter. Dengan kata lain, karakter berisi nilai-nilai dalam laku tindak sehari-hari yang mencerminkan hal-hal yang dianggap luhur," ujar Karlina Supelli, Dosen Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta kepada politikindonesia.com usai Simposium Nasional Kebudayaan bertema "Strategi Kebudayaan Kontekstual Pembangunan Karakter Bangsa", di Jakarta, Senin (23/10).
Menurutnya, pendidikan adalah formasi dan transformasi manusia. Kedua proses tersebut berlangsung di tengah-tengah dialektika antara alami dan budaya yang terjadi dalam keanekaragaman proses sosial. Namun, pendidikan juga bersifat politis.
"Sebenarnya bukan tanpa alasan, para pendiri bangsa ini bertekad mencerdaskan kehidupan bangsa dan bukan hanya sekedar mencerdaskan orang Indonesia sebagai individu tapi juga pendidikan untuk kebaikan bersama," ujar perempuan kelahiran Jakarta, 15 Januari 1958 ini.
Kepada Elva Setyaningrum, astronom wanita pertama dari Indonesia itu mengungkapkan pandangannya tentang pentingnya pendidikan dalam pembentukan karakter. Filsuf pemegang gelar Doktor dari Universitas Indonesia itu juga mengungkapkan pandangannya atas kondisi dan model pendidikan di Indonesia saat ini. Berikut petikan wawancaranya.
Seberapa pentingnya fungsi pendidikan dalam membangun bangsa?
Tak ada bangsa beradab tanpa mengutamakan pendidikan. Semakin terdidik suatu bangsa, semakin beradab bangsa itu. Bahwa bangsa yang beradab adalah bangsa yang terdidik, yang maju secara kualitas sumberdaya manusianya.
Berkaca pada cita-cita kemerdekaan, tepat kiranya jika Indonesia menempatkan pendidikan di posisi paling sentral. Pendidikan di atas segala kebijakan yang ada dan ini lebih sebagai satu konsekuensi logis. Mengembannya adalah keharusan dan kewajiban bagi semua warga tanpa kecuali. Berbagai upaya pencerdasan pendidikan terus disinergiskan dengan capaian atau cita-cita tertinggi nasionalisme, yakni humanisasi berhilir keadilan sosial.
Seperti apa penilaian anda ats kondisi pendidikan Indonesia saat ini?
Pendidikan Indonesia saat ini dalam kondisi memprihatinkan bahkan menjurus kepada kondisi darurat. Rata-rata tingkat pendidikan masyarakat berada di tingkat menengah dan rendah. Hanya 18,4 persen penduduk berusia 19 - 24 tahun yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Sedangkan, hampir 50 persen angkatan kerja kita saat ini adalah lulusan sekolah dasar (SD). Sebagian di antaranya bahkan tidak lulus SD. Situasi ini merupakan kendala serius sehingga bisa menciutkan nyali orang yang bercita-cita menghadirkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu penerang lorong pencarian manusia.
Apa penyebab kondisi ini bisa terjadi?
Saya melihat hingga saat ini ada ketidakseriusan mengelola pendidikan oleh negara atau pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sebagaimana digariskan UUD 1945, menjadi sarana untuk mencerdaskan anak bangsa.
Namun kenyataannya, pergantian kurikulum dilakukan hampir setiap pergantian Menteri Pendidikan dan adanya kepentingan politik dari kelompok-kelompok tertentu membuat buramnya wajah pendidikan di negeri ini.
Kondisi ini amat disayangkan, karena pendidikan merupakan proses untuk perbaikan kondisi bangsa yang saat ini kian carut marut. Tidak adanya konsep dan sistem pendidikan yang sangat mendasar dalam membentuk dan mendidik anak generasi bangsa merupakan suatu musibah besar.
Apa kunci sukses pembangunan pendidikan?
Salah satu kuncinya adalah pembentukan karakter. Dalam upaya pendidikan sebagai formasi dan transformasi manusia, pembentukan karakter sangat dibutuhkan. Karena di langit ideal itulah ternama cita-cita pendidikan yang bukan sekedar menghasilkan para ahli yang pandai, tapi juga warga negara yang mengerti makna kebaikan bersama.
Oleh sebab itu, landasan utama pembentukan karakter adalah orientasi nilai. Jadi, pendidikan tidak hanya mengejar pengetahuan tentang yang baik dan buruk. Lantaran adanya jurang yang lebar antara pengetahuan dan tindak laku yang terletak dalam latihan kebiasaan. Latihan tersebut bertujuan membangun disposisi batin yang akan selalu menghendaki hal-hal yang sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan.
Konsep pendidikan Indonesia saat ini, banyak mendapat kritik?
Kita memang kerap mendengarkan kritikan terhadap model pendidikan di Indonesia karena penekanannya yang berlebihan pada aspek kognitif. Selain itu, model pendidikan kita juga dianggap kurang memberikan perhatian pada aspek afektif, budi pekerti dan karakter. Saya tidak setuju dengan pendapat seperti itu.
Model pengajaran di sekolah Indonesia rata-rata baru sampai ke tahap pengembangan kognitif yang paling rendah, yaitu menumpuk informasi dan mengingatnya. Pengembangan kemampuan bernalar secara utuh, apalagi berpikir secara meneluruh masih lemah. Pendidikan yang membidik pengembangan akal budi juga masih rendah.
Oleh sebab itu, pembentukan kemampuan kognitif masih perlu dikembangkan lebih dalam dan tajam sampai ke tingkat unggul sesuai minat dan bakat siswa serta tantangan masa depan. Jadi model pendidikan yang ada di Indonesia saat ini cenderung melahirkan individu yang hidup dan bekerja bukan dalam komunitas manusia melainkan dalam komunitas yang terbatas untuk kepentingan pribadi.
Lantas apa masalahnya model pendidikan seperti saat ini?
Masalah pasti ada dan menjadi semakin serius karena model pendidikan seperti itu membuahkan pengertian profesi yang tersusut. Profesi saat ini hanya dimaknai sebatas pakar. Profesi tidak lagi dimaknai secara profesional yang mengandung janji publik. Karena seseorang bisa disebut profesional bukan semata-mata karena dia pakar dibidangnya, melainkan karena seseorang itu menjalankan tugas sesuai tuntutan kepakaran dalam bidang ilmunya. Pada saat yang bersamaan dia menjadikan keahliannya sebagai sumbangan bagi kemashalatan bersama.
Oleh sebab itu, pendidikan tak pernah terarah kepada pembentukan insan akademis, pencipta, pengabdi bagi nusa dan bangsanya. Jikalau pun lahir beragam macam tenaga terdidik, mereka tetap saja tak mampu mengolah potensi kekayaan Indonesia itu. Sekadar meningkatkan surplus value-nya pun hampir tidak.
Kenapa? Karena pendidikan yang ada diselewengkan hanya untuk kebutuhan pasar tenaga kerja. Para pelayan jasa sengaja dilahirkan guna kepentingan modal-modal tanpa tujuan yang jelas. Hematnya, semua dilakukan semata hanya untuk mengeruk kekayaan alam raya negeri ini.
Banyak data menunjukkan preferensi pekerjaan diisu oleh lulusan perguruan tinggi. Mereka yang lulus justru kebanyakan minim di bidang industri pengelolaan. Tak heran ketika industri nasional mengalami kehancuran, sistem pendidikannya justru mencipta barisan pengangguran.
Apa yang menyebabkan kondisi itu terus terjadi?
Pertama, karena sebagian besar lulusan perguruan tinggi hanya bermental pencari kerja, bukan pencipta. Kedua, efek dari sistem perguruan tinggi sendiri yang hanya mampu berpijak pada kebijakan dan kepentingan modal pasar.
Adalah fakta jika banyak perguruan tinggi yang cenderung mendorong para mahasiswanya untuk cepat lulus, yang kalau bisa dengan indeks predikat kumulatif (IPK) yang menjulang. Parahnya, percepatan itu tidak ditopang dengan pemberian kompetensi serta keterampilan sebelum akhirnya dilepas sebagai lulusan terbaik. Alhasil, pengangguran terdidik pun merajalela.
Harapan akan perubahan pendidikan itu kembali tampak melalui Gerakan Revolusi Mental. Program tersebut yang menafasi tiap kebijakan pemerintah, tentu tak hanya patut kita dukung dan apresiasi, melainkan wajib berpratisipasi untuk realisasi.
Tanpa peran semua untuk semua, revolusi mental hanya akan eksis sebagai simbol kering tanpa makna terlebih tujuan. Padahal, revolui mental berusaha diarahkan sebagai misi utama dalam mencipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena tujuannya dari misi tersebut adalah mencetak generasi bangsa yang paham akan sifat dan karakternya sebagai warga, maka untuk itulah pendidikan kewarganegaraan bukan satu-satunya sebagai keutamaan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved