Mutasi yang baru-baru ini dilakukan Polri mendapat kritik. Terutama, soal posisi staf ahli Kapolri yang diberikan kepada Brigadir Jenderal Edmon Ilyas dan Brigadir Jenderal Raja Erizman. Polri dianggap kurang responsif dan mengabaikan fakta persidangan, bahwa kedua jenderal itu, terkait kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan.
Sorotan tajam itu dilontarkan oleh pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, Jumat (01/10). “Kalau polisi mau lebih responsif, terbuka dan tidak subyektif seharusnya mereka membiarkan penyelidikan dibuka lagi oleh tim independen," kata Bambang.
Dalam pandangan Bambang, walau tidak menempati posisi strategis yang mempunyai kapasitas kewenangan besar, tetap saja, memberikan posisi staf ahli kepada kedua jenderal tersebut bisa menambah sentimen negatif pada tubuh Polri.
“Ini bisa dipandang masyarakat tidak memperhatikan fakta persidangan yang memiliki kekuatan hukum,” katanya.
Lebih jauh Bambang berkomentar, jika dilihat dari pangkat Brigadir Jenderalnya kedua perwira tinggi ini, memang sudah pantas menjadi staf ahli. “Kepolisian lebih banyak memperhatikan pangkat dalam pengangkatan, tidak tahu pengetahuannya sudah cukup apa belum,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Inspektur Jenderal Iskandar Hasan membenarkan mutasi keduanya. Pengangkatan kedua jenderal ini tertuang dalam telegram rahasia yang diperoleh wartawan, bernomor STR/773/IX/2010. Telegram ini dikeluarkan tanggal 29 September, dan berlaku efektif saat surat dikeluarkan.
Edmon dan Raja sebelumnya sama-sama pernah menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Ekonomi, Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian. Keduanya dicopot dari jabatan itu, setelah kasus Gayus terkuak. Hingga kini keduanya hanya berstatus terperiksa dalam kasus pelanggaran kode etik kepolisian.
Sempat menjadi saksi di persidangan untuk terdakwa Gayus dan terindikasi terlibat tetapi tidak menerima sanksi pidana. Penyidik pun tidak memproses keduanya secara hukum.
© Copyright 2024, All Rights Reserved