Penangkapan koruptor kakap David Nusa Wijaya ternyata membuka ‘borok’ BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Setiba di Jakarta, David membocorkan keburukan BPPN yang secara sewenang-wenang memindahtangankan asetnya tanpa izin.
Memang sudah selayaknya BPPN diaudit secara independent untuk membongkar penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pejabat-pejabatnya. Namun, penyelewengan tersebut sebenarnya dipayungi oleh penguasa yang saat itu berkuasa.
Menindaklanjuti pengakuan David, Mabes Polri dan Kejaksaan Agung langsung membentuk tim untuk mengusut pemindahtanganan aset-aset mantan Dirut Bank Umum Servitia tersebut. Kejaksaan Agung merasa dilangkahi BBPN dengan menjual aset David yang dititipkannya tanpa sepengetahuan Kejagung.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Masyhudi Ridwan mengaku, tim Kejagung sudah bekerja sejak Kamis, 19 Januari lalu. Berarti, dua hari sejak David Nusa Wijaya tiba di Jakarta.
"Timnya diketuai Pak Septinus Hematang, direktur Uheksi (Upaya Hukum Eksekusi dan Eksaminasi) pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung," terang mantan Kajati Banten itu. Tim tersebut gabungan dari Kejagung, Kejati DKI, dan Kejari Jakarta Barat sebagai eksekutor.
Tugas utama tim tersebut adalah menelusuri aset David dan dugaan penyimpangan aset milik koruptor lainnya yang dilakukan BPPN. "Kami sudah melihat indikasi kuat adanya penyimpangan penanganan aset milik David," lebih jauh Masyhudi menjelaskan..
Selain itu, diduga aset yang dijaminkan kepada BPPN itu tidak dihitung sebagai recovery (pelunasan) atas utang mereka. Tindakan itu dilakukan secara sepihak tanpa persetujuan jaksa penuntut umum (JPU). Akibatnya, jaksa kesulitan mengeksekusi aset yang semestinya digunakan menutup kerugian negara.
Kasus tersebut terbongkar setelah David serta Atang pulang dan melapor ke Mabes Polri. David telah dipidana delapan tahun dalam kasus korupsi dana BLBI Rp 1,29 triliun. Sedangkan Atang pulang dari tempat pelariannya di Singapura atas inisiatif sendiri setelah ada jaminan akan diperlakukan secara adil. Dia mengemplang dana BLBI Rp 170 miliar dari total utang Rp 325 miliar.
Kebobrokan BPPN juga diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Pol Sutanto. Saat melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI Senin (30/1) lalu, Sutanto mengungkapkan adanya perlakuan tidak adil pada beberapa obligor nakal yang sempat menjadi pasien BPPN. Korbannya banyak, tapi Sutanto hanya mengungkapkan antara lain, mantan Dirut Bank Umum Servitia David Nusa Wijaya dan mantan Komisaris Utama Bank Bira Atang Latief.
David sendiri telah membeber asetnya yang tak jelas keberadaannya itu. Pria yang lahir 27 September 1961 itu mengaku, jumlah asetnya yang tak jelas rimbanya itu mencapai Rp 3,98 triliun. Hal tersebut disampaikan David melalui pengacaranya, Agustinus Hutajulu (baca koran ini kemarin). "Kita profesional saja. Saya tak menuduh, tapi ke manakah larinya aset klien saya yang total Rp 3,98 triliun itu," ujar Agustinus saat itu.
Yang diingat oleh David adalah asetnya yang menguap itu diserahkan pada 13 Maret 1999 ketika bank milik David dimasukkan dalam Bank Beku Operasi (BBO). Kekayaannya lalu ditangani Tim Pemberesan Sementara yang menjadi bagian dari BPPN.
Saat itu, BPPN ditangani Glenn M.S. Yusuf yang menjabat ketua BPPN dari April 1998 sampai Januari 2000. Dari dia, tongkat estafet BPPN diserahkan kepada Alm Cacuk Sudaryanto (Jan 2000-Nov 2000) dan kemudian Edwin Gerungan (Nov 2000-Juni 2001).
Edwin Gerungan, komisaris utama Bank Mandiri yang pernah menjabat ketua BPPN (November 2000-Juni 2001) mengaku tak banyak mengetahui pengalihan aset Bank Umum Servitia tersebut. "Kapan kasus itu terjadi," ujarnya balik bertanya.
Jika tahun 1999, kata Edwin, tentu yang tahu adalah Glen M.Yusuf. "Tapi kalau kasusnya terjadi 2003-2004, berarti Pak Syaf (Syafruddin Arsjad Temenggung) maupun Pak Putu (I Putu Gde Ary Suta) yang lebih tahu," sebutnya. Dua nama yang terakhir itu adalah ketua BPPN pasca- Edwin.
Dia juga mengaku tak tahu sistem baku proses pengalihan aset bank-bank yang bermasalah. "Mereka yang menjabat dalam direktorat perbankan yang lebih tahu bagaimana kondisi sebenarnya," jelasnya.
Menurut M Marbun, salah seorang jaksa yang menangani perkara David di tingkat pengadilan negeri, berdasarkan penilaian BPPN pada tahun 2001 aset David yang disita senilai Rp 400 miliar. Aset tersebut antara lain terdiri dari 58 sertifikat hak milik tanah atas nama David yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved