Hak perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia. Namun tak semua perempuan bisa merasakan hak yang sama dalam berbagai area. Peran budaya yang masih maskulin dan patriarki kerap menjadi hambatan utama untuk pemenuhan hak-hak perempuan, terutama di Indonesia. Perempuan masih sering dianggap tak setara dengan laki-laki, terutama dalam konteks rumah tangga dan keluarga.
Kondisi ini melanggengkan terjadinya kekerasan yang terjadi di rumah dan keluarga, bahkan di masyarakat. Misalnya kasus pemukulan, pembunuhan atau pelecehan verbal yang terjadi dalam rumah tangga, kasus kawin paksa, juga kawin culik. Kasus-kasus ini adalah kasus yang nyata terjadi dan masih tak banyak yang berani melakukan intervensi untuk mencegahnya.
Selain itu, hak-hak perempuan juga masih terabaikan dalam politik juga kasus konflik lingkungan dan sumber daya alam. Padahal, dalam kasus-kasus tersebut perempuan bisa menjadi korban yang paling terdampak parah.
Seperti apa sebenarnya problem yang dihadapi oleh perempuan Indonesia hari ini? Kemajuan apa saja yang sudah dicapai oleh gerakan perjuangan perempuan? Dan apa masalah yang dihadapi ke depannya?
Berikut wawancara Endah Lismartini dari politikindonesia.com dengan Yuniyanti Chuzaifah, pegiat isu perempuan yang pernah dua kali menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan dan sekarang masih terlibat aktif dalam penanganan berbagai isu terkait perempuan.
Sebagai pegiat isu perempuan dan hak-haknya, bagaimana Anda melihat hak-hak perempuan Indonesia hari ini? sudah terpenuhi atau masih banyak kendala yang melingkarinya sehingga masih terabaikan?
Sebetulnya tidak sedikit kemajuan yang sudah dicapai, terutama dalam konteks legal formal. Sekarang kita punya UU PKDRT (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga). Di saat dulu negara merasa KDRT adalah urusan domestik yang tak bisa dijangkau oleh negara dan menganggap itu adalah urusan privasi. Tapi sekarang negara bisa menerobos masuk ke tembok domestik, melalui UU PKDRT itu.
UU TPKS (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) juga begitu. Di tengah banyak kelompok yang menentang, dan ini luar biasa berat karena banyak isu. Misalnya, bahwa isu pencegahan kekerasan seksual ini adalah isu dari barat, dan lain lain, tapi ternyata sekarang kita bisa punya UU TPKS.
Tapi, kesenjangan yang terjadi adalah, pertama hak hidup perempuan. Misalnya masih tingginya angka kematian ibu saat melahirkan. Orang masih sering melihat ini hanya sebagai statistik atau heroisme melahirkan, padahal itu adalah hak asasi ibu untuk hidup. Angka kematian saat melahirkan bisa ditekan dengan berbagai cara,termasuk kepedulian bersama dan intervensi pemerintah.
Kedua, soal kekerasan yang berbasis budaya. Misalnya kasus kawin tangkap, juga adanya perbudakan terselubung yang masih ada di salah satu wilayah Sumba yang angkanya masih tinggi. Termasuk praktik pelukaan atau pemotongan genital perempuan atau sunat perempuan yang masih terjadi. Itu adalah kekerasan berbasis budaya yang terjadi karena cara beragama kita yang masih maskulin.
Komnas Perempuan menemukan bayi bisa meninggal, ada juga yang terjadi frigiditas sebagai dampak bahaya dari sunat perempuan itu. Kok bisa kita memotong itu atas nama kebaikan keluarga tapi tak memikirkan masa depan si bayi dan melakukan itu pada bayi yang jelas belum bisa diminta persetejuannya. Secara hak asasi, ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi anak.
Bagaimana hak-hak perempuan di area politik?
Area politik kita juga masih maskulin. perempuan yang bisa lolos politik masih butuh perjuangan besar. Antara punya dana besar atau punya ikatan ginekologis dengan tokoh-tokoh besar. Perempuan sehebat apapun tapi enggak punya akses, akan membuat hak perempuan tak bisa bertahan, apalagi dengan iklim yang maskulin.
Temuan Komnas Perempuan saat memantau di Papua, perempuan ikut rapat sampai malam, tapi begitu perempuan pulang, keputusan penting diambil. Jadi mereka tak dilibatkan saat pengambilan putusan penting. Sementara, untuk bisa rapat sampai malam, perempuan di Papua juga harus melawan stigma masyarakat yang masih menganggap perempuan tak pantas pulan sampai larut malam.
Di area mana lagi isu perempuan semestinya menjadi concern dan perhatian bersama?
Pada isu lingkungan, terutama yang terkait dengan konflik sumber daya alam. Isu sumber daya alam dilihat sebagai isu yang tak berhubungan dengan perempuan. Padahal kerusakan sumber daya alam memiliki dampak yang luar biasa destruktif pada perempuan. misalnya penggunaan pestisida di perkebunan sawit. itu berpengaruh pada kesehatan perempuan. Juga kasus terjadinya penggusuran paksa pada konflik lingkungan, yang dampaknya bisa membuat perempuan terpental dari ruang hidupnya.
Komnas Perempuan mengkonstruksi tentang konflik sumber daya alam setara dengan pelanggaran HAM berat. Karena kasus ini masif dan korbannya juga masif.
Kasus-kasus tersebut bisa berdampak pada terjadinya gradual violence, ada korban trafficking, narkoba, hingga kekerasan dan perbudakan seksual terjadi. Ini perlu jadi catatan penting.
Bagaimana dengan kekerasan pada perempuan yang terjadi di area domestik?
Kekerasan di level domestik yang enggak terlihat sebenarnya juga masalah yang cukup serius dan butuh penangan lebih serius. Banyak istri menghentikan kasus kekerasan dengan memilih perceraian. Perceraian memutus kekerasan pada perempuan, tapi tak menyelesaikan problem perbuatan kriminal yang dilakukan suaminya.
Banyak yang tak membawa kasus ini ke ranah kriminal, karena suaminya melakukan politisasi. Misalnya dengan mengatakan, anak-anak mereka akan melihat bahwa ibunya yang memenjarakan ayahnya.
Jadi, meski sudah ada UU yang melindungi perempuan, tapi transisi hukum tak langsung paralel dengan transisi kultiral. Ada UU tapi gak bisa seegra berbanding lurus dengan menyelesaikan problem yang memberikan rasa keadilan pada perempuan.
Selain itu, akses perempuan pada keadilan juga minim sehingga hukum tak bisa segera berjalan. Di NTT ada yang mau melaporkan kasus kekerasan yang dialami tapi dia harus menjual dua kambing. Ada juga yang harus mengeluarkan biaya sangat besar karena harus menyeberang laut. Kendala bahasa juga menjadi masalah di banyak daerah. Misalnya, bahasa perkosaan dalam hubungan suami istri sering tak dikenali dalam local language. Dalam hubungan suami istri, kata perkosaan tak dikenal, karena hal itu dianggap kewajiban. Minimnya bahasa ini yang membuat kasus kekerasan domestik tak bisa terselesaikan sebagaimana mestinya.
O iya, satu lagi kemajuan yang menarik untuk perjuangan perempuan adalah adanya edaran Mahkamah Agung soal perempuan berhadapan dengan hukum. Itu adalah sesuatu yang progresif dari perjuangan perempuan selama ini. Edaran itu menambah daftar kemajuan perjuangan perempuan dalam konteks legal formal.
Sepanjang menangani isu perempuan, hal apa yang paling menarik dan mengesankan buat Anda?
Kasus hukum mati pada Mari Jane Fiesta Veloso (perempuan Filipina yang didakwa sebagai kurir narkoba -red). Juri menggunakan isu perempuan di kasus ini. Isu perempuan adalah isu human rights. Perempuan sebagai manusia perlu dilindungi, terlepas dari warga negara apapun. Hak asasi tak mengenal batas negara. Jadi warga dari mana saja perlu dilindungi hak asasinya. Mari Jane adalah korban kejahatan besar. Dia miskin, migran, dan jadi korban peradilan yang tak adil. Tapi akhirnya bisa diloloskan dari eksekusi hukuman mati. Bagi saya, perjuangan melepaskan Mari Jane dari jerat hukuman mati adalah pengalaman spiritual yang luar biasa.
Hanya 4 hari setelah wawancar di Wirogunan, dia akan dibawa untuk dieksekusi. Kami bergerak cepat dengan melibatkan banyak jaringan. Dan itu adalah advokasi yang luar biasa masive. Bahkan sampai jadi perhatian seluruh dunia. Lembaga change.org bahkan turun 35 persen setelah kami memberi kabar soal kondisi Mari Jane. Change.org bahkan akhirnya merevisi bahwa tak semua vonis hukuman mati diputuskan karena kesalahan pelaku, tapi bisa juga diputuskan karena terjadinya proses peradilan yang tak adil.
Terkait pemerintah, bagaimana Anda menilai kebijakan pemerintah dalam pemenuhan hak-hak perempuan secara umum? Apakah sudah membaik, atau tetap banyak yang perlu dikritisi? Boleh diberikan contohnya?
Mungkin bahasanya adalah beriring. Kendati ada kemajuan tapi hal ini ternyata beriringan juga dengan semakin kompleksnya persoalan. Salah satunya adalah kekerasan berbasis gender online, termasuk online scamming. Ini pola baru kejahatan yang jadi problem. Banyak perempuan jadi korban karena ketidaktahuan mereka. Dan ini perlu perhatian serius dan perlindungan segera agar tak semakin banyak jatuh korban.
Sedangkan untuk konteks ke depan, isu yang mulai ramai adalah pendekatan yang terlalu pragmatis yang dilakukan pemerintah, misalnya dengan bansos dan makan siang gratis. Dua hal itu mengancam ketangguhan gerakan perempuan. Apalagi sempat disebut, "nanti yang menyiapkan makan siang gratis itu adalah ibu-ibu."
Itu seperti memelarkan kerja-kerja domestik ke ruang publik. Kedua, politik bansos. Politik bansos ini merusak mental dan membenalukan rakyat. Dua hal ini perlu jadi perhatian karena dampaknya bisa melemahkan daya juang masyarakat, terutama perempuan. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved