Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang (UU) No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditanggapi beragam oleh kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ada yang mendukung, dan ada pula yang menolak. Ada pula yang menilai, situasi saat ini belum memenuhi syarat untuk dikeluarkannya Perppu.
Salah seorang yang berpendapat seperti itu adalah anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Eva Kusuma Sundari.
Eva menilai, penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait suap yang menjadi alasan Presiden menerbitkan Perppu tidaklah cukup kuat. Eva mengganggap kasus Akil tidaklah menyebabkan MK dalam keadaan genting, sebagaimana syarat bisa diterbitkannya sebuah Perppu.
“Saya beranggapan, Perpu itu akan menyalahi aturan dan melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Belum saatnya Presiden mengeluarkan Perppu hanya karena kasus Akil," ujar lulusan Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya tahun 1991 ini kepada politikindonesia.com di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/10).
Eva juga tidak setuju dengan pembentukan panel tim penilai dalam pemilihan hakim MK. Ia mengatakan, semua poin yang diatur dalam Perppu MK tersebut, sebenarnya sudah jelas aturannya dalam undang-undang. “Salah satu poin Perppu MK itu adalah isinya mengatur pembentukan tim penilai untuk memilih hakim konstitusi yang diusulkan oleh 3 lembaga. Yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden dan DPR," ujarnya.
Menurut Eva, hal ini berpotensi buruk karena bisa mengganggu otoritas masing-masing lembaga pemegang kekuasaan sebagai wujud kedaulatan rakyat. Eva menyatakan, keberadaan tim panel yang punya kekuasaan menilai lembaga-lembaga tinggi ini tidak bisa dibenarkan karena akan mengganggu praktik ketatanegaraan.
"Seharusnya tim panel bekerja sebelum pengambilan keputusan oleh DPR, MA, Presiden sebagai praktik tim seleksi untuk hakim MA selama ini," ujar perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur ini.
Kepada Elva Setyaningrum, dia menjelaskan pendapatnya mengenai Perppu MK tersebut. Berikut petikan wawancaranya.
Menurut Anda, apa tujuan Presiden menerbitkan Perpu MK tersebut?
Mungkin awalnya Perppu itu dibuat untuk menyelamatkan MK dari kepribadian hakim MK yang tercela. Tapi menurut saya, ini adalah pertimbangan yang salah karena satu hakim yang berbuat, semua hakim di MK dianggap tercela. Jadi kesalahan fundamental dari Perppu itu, dan ini cacat ketatanegaraan. Semua hakim konstitusi dinilai sama tercelanya dengan Akil. Sebaiknya Perppu itu ditarik saja, jika tak ingin ditolak DPR.
Presiden bilang Perppu ini untuk menyelamatkan MK, apa alasan Anda menolaknya?
Seharusnya Perppu MK ini dibuat tetap dalam koridor penghormatan prinsip keterpisahan kekuasaan antara legislatif eksekutif dan yudikatif. Perppu hanya dibuat dalam situasi mendesak sesuai kebutuhan yang berkaitan dengan isu kesejahteraan. Bukan isu yang menyebabkan tata negara dicederai.
Contohnya, wewenang yudikatif dan legislatif yang diserobot eksekutif. Jadi sebaiknya Perppu ditolak DPR karena isinya tidak sesuai UUD 1945 dan situasi emergency yang tidak berdasar. Hal itu mengingat kasus suap Ketua MK tersebut sudah ditangani secara hukum oleh KPK, sehingga tidak perlu lagi ada penyelesaian politik.
Tapi, Perppu ini tetap berlaku dan berjalan, sampai DPR mengeluarkan keputusan lain?
Ya. Perppu yang dikeluarkan Presiden nantinya akan diputusakan DPR, diterima atau ditolak. Jika diterima, maka akan ditindak lanjuti menjadi UU. Namun, kalau ditolak, Perppu itu otomatis menjadi tidak berlaku.
Jika Perppu itu dibatalkan DPR, mungkini ini akan jadi insiden ketatanegaraan karena definisi krisis yang bisa berbeda sebagai alasan pembuatan Perppu tersebut.
Oleh karena itu, sebelum terjadi insiden ketatanegaraan, Presiden SBY harus segera melakukan lobi-lobi ke DPR. Artinya, Presiden perlu melakukan conditioning yang cermat terhadap DPR sehingga mulus nantinya Perpu yang diajukan di DPR tersebut.
Lantas, kapan rencana pembahasan Perppu itu di DPR?
Rencananya akan kami bahas di Komisi III DPR setelah selesai masa reses. Proses pembahasannya akan memakan waktu yang lama. Di Komisi III DPR sendiri muncul 2 pendapat mengenai langkah yang akan diambil. Apakah nanti Komisi III DPR akan segera mengisi kekosongan pengganti Akil Mochtar atau menunggu sikap DPR terhadap Perppu MK tersebut.
Apabila Komisi III DPR merasa lebih penting untuk mengisi kekosongan hakim konstitusi di MK, maka akan disesuaikan dengan persyaratan yang ada di Perppu. Hal ini pun membutuhkan waktu, mengingat proses uji kelayakan dan kepatutan yang akan tidak sebentar. Jadi, selama belum ada keputusan DPR menolak Perppu ini, mulai dari diumumkan pada Kamis (17/10) lalu, Perppu ini sudah resmi berlaku.
Apa solusi yang Anda tawarkan untuk mengatasi krisis di MK saat ini?
Saya menyarankan agar mengganti semua hakim konstitusi. Saat ini, semua putusan yang diselesaikan di MK menjadi kontroversial dan dicurigai berbau suap.
Sementara itu, perekrutan calon hakim MK ke depan, perlu diperbaiki dengan mengintegrasikan perspektif anti korupsi dalam menilai kandidat-kandidat hakim konstitusi. Misalnya, KPK menyelenggarakan psikotes untuk menjajaki potensi integritas dan komitmen kandidat hakim. Sehingga keputusan politik DPR, Presiden, MA lebih akuntabel karena dikaitkan dengan upaya kita untuk memberantas korupsi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved