Kemampuan pengendalian stok pangan pemerintah lewat Perum Bulog masih sangat rendah. Akibatnya, harga pangan ditingkat konsumen kerap mengalami fluktuasi meski produksi pangan mengalami surplus. Dengan kondisi seperti ini, sulit bagai Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Gardjita Budi mengatakan, kemampuan cadangan beras milik Bulog saat ini hanya sebesar 8 persen dari total konsumsi beras nasional. Sisanya, sebanyak 82 persen dikendalikan pedagang dan masyarakat. Padahal idealnya, Bulog memiliki cadangan untuk pengendalikan stok antara 17 hingga 20 persen
"Oleh sebab itu, saat ini kami mempercepat penyerapan beras petani ke Bulog. Ini rekor karena dalam 2 bulan sudah terserap 2 juta ton gabah yang disimpan dalam bentuk grain agar awet. Selain itu, kami juga melakukan penambahan stok beras dengan kewajiban pemerintah daerah provinsi juga menyimpan minimal 200.000 ton," ujar dia pada acara diskusi bertema "Meningkatkan Ketahanan Pangan di Indonesia", Jakarta, Rabu (04/05).
Menurutnya, operasi pasar yang selama ini dilakukan kurang efektif. Karena stok beras yang dikendalikan pemerintah masih sangat kecil. Sebagian besar stok beras ada di masyarakat dan pasar. Sehingga membuat harga beras mengalami fluktuatif. Kondisi tersebut bukan tanpa sebab, ongkos angkut untuk produksi pangan menjadi pemicunya.
"Meski harga pangan di daerah produksi relatif murah atau terjangkau, tapi harga pangan bisa melonjak tinggi bila produk tersebut dijual di luar daerah penghasil atau menyeberang pulau. Indonesia yang merupakan negara kepulauan, jadi untuk menyebrang pulau biayanya tinggi," ungkapnya.
Melihat kondisi itu, lanjutnya, solusinya adalah penyediaan angkutan transportasi yang berjadwal dan bersubsidi. Salah satunya adalah program kapal ternak dari NTT ke Jakarta merupakan solusi menekan ongkos angkut. Sehingga harga daging di tingkat produsen dan konsumen tidak jauh berbeda.
"Karena penguasaan jalur distribusi itulah yang akan menentukan harga. Harga di sentra produksi murah, tapi pedagang yang mengangkutnya menjual dengan harha tinggi di pasar. Saya rasa itu sah-sah saja karena bukan wewenang kami mengantur harga di pasar. Namun sebaiknya, pedagang jangan mengambil untung banyak," paparnya.
Dengan begitu, katanya lagi. Indonesia pun sulit menciptakan ketahanan pangan. Karena Indonesia masih bergantung pada impor dan sulit meningkatkan produksi pangan lokal. Kalau pun ketahanan pangan bisa dicapai, masyarakat Indonesia harus bisa mengurangi konsumsi beras per kapita.
"Kalau kita mau swasembada pangan, produksi harus ditingkatkan dan konsumsi dikurangi. Masyarakat bisa mengganti beras dengan sumbet karbohidrat lainnya seperti singkong dan sagu. Namun momentum untuk diversifikasi pangan saat ini kurang tepat. Sebab, belum ada tanaman lokal yang produksinya mampu mensuplai kebutuhan masyarakat banyak," tuturnya.
Sementara itu, Deputi III Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Strategis, Kantor Staf Presiden, Denni Puspa Purbasari menambahkan masih tingginya harga pangan di Indonesia sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah.
"Fakta yang terjadi di lapangan, harga pangan mahal, tapi kesejahteraan masyarakat rendah. Tak heran, sebagain wilayah NTT merupakan daerah rawan pangan. Namun kalau pendapatan per kapita Indonesia tinggi, banyak masyarakat yang tidak mampu membeli pangan," ucapnya.
Dijelaskan, menciptakan ketahanan pangan dengan harga terjangkau, perlu menggenjot produksi pangan. Sehingga ketersediaan pangan mencukupi dan sebagian besar dipasok dari hasil produksi dalam negeri. Maka akan tercipta kemandirian pangan.
"Jadi menciptakan ketahanan pangan itu tak harus kita mencapai swasembada. Ketahanan pangan bisa dicapai kalau ketersediaan dan keterjangkauan pangan di pasol dari hasil produksi dalam negeri. Artinya, kita harus bisa menyetop impor pangan," tegasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved