20 September 2004, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengesahkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) memperoleh 60,62 persen dari 114.257.054 jumlah rakyat Indonesia yang turut serta dalam pesta demokrasi. Kepercayaan riil rakyat yang begitu besar kepada keduanya merupakan sesuatu yang pantas terukir dengan tinta emas dalam sejarah demokrasi di Indonesia.
Kini, Senin, 13 Juli 2009 pukul 13.00, KPU me-rilis hasil sementara Pilpres 8 Juli 2009 dengan perolehan SBY- Boediono 11.658.098 suara (61,66%), Mega-Prabowo, 5.402.076 suara (28,57%) dan JK-Wiranto 1.847.958 (9,77%).
Sementara hitung cepat versi : 1. Lingkaran Survey Indonesia, pasangan SBY- Boediono 60,15%, Mega-Prabowo 27,36% dan JK-Wiranto 12,49%. 2. Puskaptis SBY- Boediono 57,95 %, Mega-Prabowo 28,16% dan JK-Wiranto 13,89%. 3. LRI, SBY- Boediono 61,11%, Mega-Prabowo 27,02% dan JK-Wiranto 11,87%.
Data-data tersebut, begitu bicara. Curahan amanah rakyat yang mendaulat SBY-Boediono untuk memimpin negeri ini, juga merupakan manifestasi vonis rakyat yang tak terbantahkan. Rakyat diseluruh penjuru negeri telah menitipkan perahu Indonesia kepada SBY agar dikayuh menuju cita-cita, yang berkeadilan dan berkemakmuran.
Satu tahapan penting sudah selesai (bila KPU sudah menetapkan). SBY-Boediono akan dilantik menjadi pemimpin negeri yang gemah ripah loh jinawi, walaupun kini sedang menggeliat untuk keluar dari krisis keuangan global.
Dari rangkaian perjalanan SBY-Boediono menuju kursi kepresiden pada 20 Oktober mendatang, terselip direlung hati sebuah pertanyaan sekaligus tanggungjawab; ketegasan dan kesigapan SBY-Boediono akan menjadi sesuatu yang dinanti rakyat.
Mengapa? Rakyat sudah merasa lelah didera berbagai masalah. Mulai dari birokrasi yang korup dan bertele-tele, hingga pada soal harga bahan pokok yang tak menentu. Tentu saja soal BBM bersubsidi yang menjadi jatah rakyat kebanyakan, kerab raib tak sampai.
Ditengah persoalan itu, rakyat secara rutin terbebani oleh beragam pungutan pajak, yang belum tentu masuk menjadi penghasilan negara secara utuh. Menjadi sebuah keironisan, manakala aparatur pajak begitu bangga menampilkan keberhasilannya memungut pajak, sementara tikus-tikus yang menggeroti hasil pajak tak pernah dituntaskan. Yang terkena sanksi dan ancaman selalu rakyat kecil yang menjadi wajib pajak, bukan aparatur yang menilep uang pajak dan pengusaha besar yang mampu meng-kongkalikong kan besaran pajak mereka.
Selain itu, sudah menjadi sesuatu yang begitu umum, bahwa banyak potensi yang dimiliki bangsa ini belum bisa bermanfaat secara maksimal untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Mulai dari kekayaan laut, kekayaan hutan, kekayaan bahan tambang. Nikmat terbesarnya masih belum dirasakan oleh rakyat.
Tentu jadi tak arif dan tak bijak, bila semua pengharapan rakyat itu ditumpahkan hanya pada pundak SBY-Boediono. Apalagi hanya untuk diselesaikan dalam satu malam atau dalam 100 hari. Keduanya butuh waktu, keduanya butuh tim yang handal guna menuntaskan beragam masalah yang sudah terlanjur ruwet dialami bangsa ini.
Keduanya perlu waktu yang cukup untuk membuat perencaaan yang jitu. Sehingga ditemukan resep ampuh untuk membenahi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjadi lebih baik lagi. Skala prioritas program penuntasan masalah tentu akan ditentukan.
Bila program pemerintahan sudah tersusun rapi, tentunya ukuran keberhasilan atas kinerja kabinet akan didapat. Dengan demikian rakyat akan mudah mencerna dan menerima keberhasilan sebuah pemerintahan. Baik secara umum ataupun secara sektoral. Bukan keberhasilan atau kegagalan yang ditafsirkan secara sendiri-sendiri.
Wajar sekali, bila kemudian tujuan pemerintahan yang ada akan dipenuhi oleh kriteria-kriteria yang terukur. Rakyat akan mudah mencerna dan mampu mengukur kinerja yang ada. Jangan hanya karena ambisi pribadi-pribadi, menteri-menteri kabinet lantas menetapkan ukurannya secara sendiri-sendiri. Akibatnya, kinerja pemerintahan bisa berada dipersimpangan jalan. Tentu saja, sejarah pemerintahan yang demikian, tak pantas untuk dicatat secara berulang-ulang. Rakyat akan kecewa.
Memang tidak mudah melakukan perbaikan, namun upaya keras tanpa ada rasa putus asa merupakan sesuatu yang menjadi kebutuhan. Budaya tidak mudah menyerah perlu tertanam sejak dini. Apalagi gelombang hambatan tak akan pernah usai.
© Copyright 2024, All Rights Reserved