ADA satu urgensi dewasa ini menyoal tentang akar karut-marutnya sistem pemerintahan, sistem politik dan tata negara Indonesia pasca Reformasi. Ya, mungkin masih sebagian kecil orang yang tahu dan paham yaitu mengenai efek amandemen UUD 1945 yang terjadi pada periode tahun 1999-2002.
Euforia Reformasi 26 tahun silam sebetulnya membawa pada suatu kondisi di mana kondisi psiko-sosial ketika itu dengan amarah besar terhadap Presiden Suharto membuat UUD 1945 pun dianggap sebagai produk Orde Baru. Sehingga cara pandang yang salah ini pula membuat jalan keluar yang keliru. Amandemen UUD 1945, itu yang terjadi.
Padahal pemikiran tersebut pastinya adalah sebuah hal yang ahistoris. UUD 1945 dibuat oleh para founding nation sebagai sebuah aturan organis penjabaran atas sebuah falsafah dan ideologi bangsa kita yaitu Pancasila. Para founding nation paham betul bahwa UUD 1945 merupakan guideline cara negara Indonesia bekerja untuk mencapai tujuan negara kita yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945.
Amandemen UUD 1945 yang terjadi selama empat babak itu, membuat sendi-sendi berbangsa dan bernegara kita berubah drastis, disadari atau tidak.
Amandemen yang awalnya hanya ditujukan untuk membatasi masa jabatan presiden, pada akhirnya merembet hingga menurunkan fungsi MPR dari lembaga tinggi menjadi semacam lembaga ad hoc hingga liberalisasi pasal-pasal HAM dan haluan negara.
Sebagai contoh saja dalam sistem politik yaitu hilangnya legitimasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, padahal MPR sendiri adalah suatu sistem politik yang original dari para pendiri bangsa. Kita tidak menganut sistem presidensialisme murni, melainkan sistem MPR sebagai sebuah presentasi kedaulatan rakyat. Yang mana posisi presiden dalam UUD 1945 Asli (sebelum amandemen) adalah mandataris MPR. Presiden harus mempertanggungjawabkan kinerjanya pada MPR.
Selain itu juga bagaimana sistem ekonomi berubah drastis. Paradigma ekonomi kerakyatan yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 justru setelah amandemen malah bermuatan liberalisasi. Privatisasi sektor-sektor yang menjadi hajat hidup rakyat semakin menggila. Juga akal-akalan sektor fiskal yang justru malah mencekik rakyat kecil.
Mengenai amandemen ini mungkin pakar hukum tata negara bisa berdebat, ada yang pro ada yang kontra. Masing-masing juga memiliki standing point yang rasional. Namun bagi saya dalam konteks hal tersebut hanya cukup bertanya, apakah amandemen UUD 1945 membawa bangsa kita lebih dekat kepada tujuan bangsa dan negara ini dibentuk? Atau justru semakin jauh dari tujuan itu?
Kita hari-hari ini sangat mudah melihat kekacauan publik akibat sistem politik dan pemerintahan. Juga kita mudah melihat kesenjangan akibat liberalisasi ekonomi, hingga kita juga sangat mudah mendapatkan bukti nyata berbagai macam disintegrasi yang muncul dalam berbagai aspek berbangsa dan bernegara saat ini.
Yang miris, atas permasalahan yang sangat serius ini bahwa dalam empat periode pemerintahan ke belakang, para elite politik belum juga ada yang serius untuk membahas hal tersebut. Belum juga ada political will dari para pemangku kebijakan dari DPR maupun Pemerintah untuk menjadikan isu ini menjadi sebuah pembahasan di Senayan. Persoalan politik bangsa ini jadinya bahkan hanya dikerdilkan menjadi soal Copras-Capres, pemilu lima tahunan.
Lebih lanjut dari kalangan akademisi pemerhati Pancasila dan UUD 1945, Profesor Kaelan, dari UGM dalam penelitiannya bahkan menyebut 97 persen isi UUD 1945 telah berubah. Banyak paham yang masuk dalam amandemen UUD 1945, seperti liberalisme dan kapitalisme serta menyuburkan oligarki.
Amandemen UUD 1945 yang terjadi pada 1999 hingga 2002, telah mengaburkan pelaksanaan dan pengamalan sila-sila dari Pancasila, sehingga menghilangkan kedaulatan rakyat dengan memindahkannya kepada kelompok. Bahkan dalam bukunya yang ditulis Prof. Kaelan menyebutkan bahwa terjadi inkonsistensi dan inkoherensi dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Pada akhirnya butuh perhatian dan tenaga khusus agar issue ini dapat menjadi perhatian publik. Sekurang-kurangnya masalah ini harus menjadi percakapan publik mahasiswa dan paling utama elite politik. Sebab biasanya jika tidak ada faktor pressure group dari luar Senayan, akan sedikit sulit untuk menjadi perhatian. Ditambah politisi-politisi Senayan juga berganti, bisa diganti oleh orang yang paham isu atau malah oleh orang yang tak paham sama sekali mengenai hal ini.
Tak dapat dipungkiri juga bahwa banyak orang-orang yang sudah nyaman dengan situasi pasca amandemen UUD 1945. Sehingga urung untuk mengkritisi situasi yang ditimbulkan karenanya. Namun satu pertanyaan yang mungkin masing-masing dari kita bisa jawab, masihkah mungkin kita dapat mengembalikan UUD 1945? Masihkah bisa negara ini berjalan sesuai titipan amanat para pendiri bangsa? Menarik untuk kita tunggu situasi politik ke depan.
*Penulis adalah Alumni Filsafat Universitas Indonesia, Forum Cendekia Muda Bandung
© Copyright 2024, All Rights Reserved