Persoalan kemiskinan ternyata berpengaruh yang sangat besar pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Sepintas kemiskinan hanyalah masalah ekonomi dan keuangan. Tapi kalau dicermati lebih dalam, kemiskinan dan pemberantasan kemiskinan tidak kalah penting dengan masalah ideologi, politik, hukum, sosial budaya dan pertahanan-keamanan.
Pakar Ekonomi Universitas Indonesia (UI) mengatakan, sebenarnya masalah kemiskinan adalah masalah yang komplek. Karena masalah tersebut, tidak sekedar masalah ekonomi dan keuangan yang bisa dengan cepat diatasi dengan memberikan santunan dan pekerjaan. Tapi masalah tersebut harus ditangani secara simultan dan terintegrasi.
“Namun, muncul anggapan, kalau kemiskinan merupakan sebuah budaya dan takdir yang tidak dapat diubah. Sehingga bantuan yang diberikan hanya untuk maksud yang bersifat konsumtif berjangka pendek,” katanya kepada politikindonesia.com di sela-sela acara Diskusi Panel Serial di Jakarta, Minggu (11/02).
Menurutnya, PBB beruntung karena telah menemukan teknik memberantas kemiskinan. Dimana, pemberantasan kemiskinan itu bertumpu pada peran pemerintah sesuai peran dan fungsinya untuk melindungi kaum miskin dari rakyatnya. Oleh sebab itu, pada saat ini perlu adanya sanksi konstitusional terhadap pemerintah yang mengabaikan tugas konstitusionalnya dalam memberantas kemiskinan.
“Sedangkan Indonesia seperti masih terus mencari alternatif kebijakan yang tepat untuk memberantas kemiskinan. Sehingga masyarakat secara bertahap bisa meninggalkan jeratan budaya miskin dan mendorong untuk mengejar taraf hidup yang lebih baik,” ungkapnya.
Dijelaskan, kemiskinan pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kelompok. Yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Dari dua kemiskinan tersebut, kemiskinan relatif paling berbahaya karena terjadi dari adanya perbedaan distribusi pendapatan. Sehingga mengakibatkan adanya revolusi.
“Kemiskinan sendiri dapat terdiri dari banyak unsur, seperti misalnya kemiskinan ekonomi, pangan, enviromental, personal, dan politik. Kemiskinan itu lebih bersifat kemiskinan relatif daripada kemiskinan absolut,” imbuhnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB), Bunasor Sanim, menyatakan, saat ini kondisi Indonesia mengalami krisis ekonomi. Hal ini karena tingkat kemiskinan di Indonesia menduduki peringkat ke 6 di Asean pada tahun 2015 dan mengalami penurunan di tahun 2016. Namun, pada tahun 2017 angka kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi berada ditingkat 117 di dunia.
“Semua itu dipicu lantaran tingkat pengangguran terbuka pada periode 2015-2017 sekitar 6 persen. Selain itu, tingkat pengangguran terselubung juga cukup tinggi. Belum lagi, nilai Gini Rasio di tahun 2017 masih sangat tinggi sebesar 0,391,” urainya.
Dipaparkan, untuk mengatasi kemiskinan tersebut, bangsa Indonesia perlu segera melakukan penguatan dan percepatan pembangunan sumberdaya manusia. Seperti melalui hijrah moral, peningkatan kualitas kerja masyarakat, peningkatan kualitas SDM, menjadikan agricultural demand led industrialization sebagai strategi pembangunan ekonomi nasional, serta mengembangkan dan memperkuat UMKM.
“Jika hal tersebut dapat dilakukan, maka kemiskinan dapat segera diatasi. Sehingga dapat ditentukan langkah-langkah perbaikan dengan memperkuat fondasi dan koridor agama serta Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena kemiskinan bisa menjadi tantangan yang berdampak pada nasib bangsa Indonesia,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Dewan Guru Besar IPB, Didin S. Damanhuri, menambahkan, kemiskinan yang terjadi di Indonesia dikarenakan pemerintah gagal dalam merealisasikan prinsip-prinsip ekonomi dalam UUD 1945. Kegagalan tersebut karena struktural maupun kultural. Untuk mengatasi hal tersebut, maka di perlukan UU Perkonomian yang bisa menjadi payung UU Ekonomi lain sesuai pasal-pasal UUD 1945.
“Penyebab struktural, misalnya adanya warisan struktur ekonomi kolonial dan feodal, kompleksitas persoalan karena penduduk besar, serta gagalnya kepemimpinan dalam mentransfer masukan prinsip ekonomi UUD 1945 ke dalam kebijakan yang efektif. Penyebab kultural seperti masuknya prinsip-prinsip pemikiran ekonomi yang berasal dari berbagai grands theories yang tidak relevan, dan menjangkitnya korupsi secara masif,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved