Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya pangan, seharusnya tak hanya bertumpu kepada beras untuk merealisasikan kedaulatan pangan. Di era globalisasi seperti saat ini, lahan sawah semakin menyempit, tergerus oleh program pembangunan. Kebijakan ketahanan pangan harus memanfaatkan semua potensi yang tersedia, termasuk untuk mengembangkan komoditas pangan non beras.
"Kita tidak bisa membayangkan apabila El Nino menyerang dan berdampak kepada anjloknya produksi beras nasional. Kita juga tak bisa membayangkan adanya serangan hama secara tiba-tiba yang memicu kelangkaan beras," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Kementerian Pertanian (Kementan) M. Syakir kepada politikindonesia.com di Kantor Balitbang Kementan, Rabu (20/04).
Menurutnya, untuk menunjang kemandirian pangan dalam jangka panjang seharusnya kebijakan investasi tidak perlu hanya dibatasi pada sistem sawah beririgasi. Tapi harus diarahkan untuk memanfaatkan semua potensi yang tersedia. Sehingga Indonesia tak perlu mengandalkan komoditas beras untuk menunjang kedaulatan pangan.
"Lahan kering bisa menjadi salah satu potensi yang segera perlu dipetakan mengingat adanya peluang-peluang yang muncul dalam pengembangan teknologi. Terlebih lahan persawahan menyempit tergerus program pembangunan," ungkapnya.
Dijelaskan, melihat banyaknya potensi komoditas diluar beras yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang ketahanan pangan, pihaknya bertekad untuk membangkitkan lagi produk-produl pangan lainnya, seperti jagung, sagu dan umbi-umbian yang sekiranya memiliki produktivitas yang cukup.
"Oleh karena itu, kita perlu mempertimbangkan lagi keragaman ekosistem dan ekologi yang ada. Sehingga kita tidak semata-mata bersandar kepada beras saja sebagai makanam pokok," ujarnya.
Syakir memaparkan, untuk mewujudkan itu semua diperlukan pembangunan pertanian yang berbasis ekoregion. Karena pembangunan ini sangat erat kaitannya dengan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu. Tujuannya untuk menghasilkan komoditas pertanian yang beraneka ragam, termasuk komoditas pangan.
"Namun pembangunannya harus lebih mengedepankan aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan atau ekosistem yang sejalan dengan UU no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan berbasis ekoregion ini pembangunan dengan pendekatan terpadu dalam suatu wilayah yang mengintegrasikan kepentingan ekonomi, sosial dan ekologi," tuturnya.
Ditambahkan, konsekuensi penerapan konsep ekoregion terhadap pembangunan sektor pertanian nasional adalah perubahan paradigma lama yang mendasarkan strategi pendekatan komoditas ke arah paradigm baru. Yaitu, pembangunan berdasar kondisi dan kebutuhan regional.
"Karena upaya pencapaian swasembada pangan menghadapi tantangan yang semakin berat. Di antaranya semakin terbatasnya sumberdaya pertanian. Sementara itu, resiko produksi pertanian juga semakin besar sejalan dengan semakin meningkatnya keragamanan perubahan iklim global yang menyebabkan terjadinya banjir, kekeringan, maupun peningkatan serangan organism pembasmi tanaman," tegasnya.
Belum lagi, kata dia, adanya liberalisasi pasar yang mendorong terjadinya peningkatan risiko harga dan ketidakpastian produksi serta pendapatan usaha tani. Hal itu bisa membuat kedaulatan pangan Indonesia kian rapuh dan rentan oleh fluktuasi harga pangan dunia dan perubahan iklim ekstrem yang sulit diantisipasi.
"Untuk itu, kami bertekad untuk membangkitkan lagi produk produk pangan yang lain dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada. Seperti kita ketahui, hanya masyarakat di Pulau Jawa saja yang menjadikan beras sebagai makanan pokok. Sementara, masyarakat di Timur Indonesia makanan pokok mereka adalah sagu," pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved