Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan, diskresi atau kebebasan mengambil suatu kebijakan yang dilakukan oleh kepala daerah tidak bisa sembarangan dilakukan. Diskresi hanya bisa dilakukan dalam kondisi tidak adanya peraturan yang mengatur dan dalam kondisi terpaksa untuk kepentingan publik.
“Kondisinya peraturan harus enggak ada dan kondisi yang terpaksa betul," ujar Agus kepada pers di kantor KPK, Jakarta, Senin (25/07).
Ia memberi contoh, ketika APBN-P di bulan Oktober. Seorang kepala daerah tidak mungkin mengeluarkan diskresi dengan melakukan penunjukan langsung dalam sebuah proyek untuk menarik uang terlebih dulu.
“Seperti saya beri contoh kalau misalkan APBN-P turun di bulan Oktober kemudian apa Anda punya diskresi untuk melakukan petunjuk langsung. Anda kemudian menarik uang duluan? Kan tidak boleh? Mestinya yang duluan dibangun adalah perbaikan sistemnya," ujar Agus.
Agus menambahkan, seringkali kasus korupsi melibatkan dana APBN-P lantaran adanya aturan yang ditabrak. Seharusnya, apabila kepala daerah mengajukan proyek di APBN-P atau APBD-P maka anggarannya tidak bisa serta merta ditarik lantaran baru bisa cair di tahun berikutnya, tapi hal itu sering dilanggar dengan alasan diskresi.
“Kan orang sering tertangkap karena APBN-P di bulan Oktober. Itu kemudian harus ada aturan kalau APBN-P turun seperti itu kita beri sistem seperti apa agar mereka tidak nabrak-nabrak? Ya kan langsung keluar dari Kementerian Keuangan kalau yang seperti ini boleh multiyears gitu kan. Jadi solusi. Tapi suatu ketika diskresi itu memang ada. Karena itu juga dijamin UU Administrasi. Tapi kondisi enggak ada peraturannya ya," jelas Agus.
© Copyright 2024, All Rights Reserved