Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat meminta para pimpinan lembaga tinggi negara untuk menghormati bersama putusan yang dikeluarkan lembaganya. Tanpa sikap ini, sulit untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis.
Pernyataan itu disampaikan Arief dalam lokakarya nasional yang digelar oleh Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Universitas Jember di Jember, Jawa Timur, akhir pekan lalu. Hadir dalam lokakarya itu puluhan pengajar hukum tata negara dari berbagai perguruan tinggi.
“Tidak dapat dipungkiri, soal implementasi putusan MK masih menjadi persoalan, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negara-negara lain,” ujar Arief.
Dikatakannya, implementasi putusan MK sangat mengandalkan respek dan kesadaran lembaga negara lain. “Tanpa respek dan kesadaran tersebut, maka kehendak kita membangun negara hukum demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum sulit diwujudkan," kata Arief.
Arief menyebut, sehubungan dengan hal itu, ia berpandangan, pembangunan sistem hukum di Indonesia masih menyisakan persoalan, yakni kultur hukum untuk menghormati dan melaksanakan putusan pengadilan.
“Realitas selama ini menunjukkan bahwa putusan pengadilan lebih sering dikomentari, bahkan ada di antaranya yang menyerukan untuk menolak putusan," ujar guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang itu.
Arief menambahkan, bahkan terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat, masih ada lembaga negara yang ikut-ikutan memberikan komentar. “Dalam pandangan saya, tidak sepatutnya lembaga negara mengomentari putusan MK," ujar Arief.
Atas dasar itu, Arief menggagas perlunya revisi UU MK dengan setidaknya memuat norma yang menegaskan kepada seluruh pemangku kepentingan, terutama lembaga negara, untuk wajib menghormati, menerima, dan melaksanakan putusan MK.
Dalam perspektif konstitusi, putusan MK bersifat final and binding. Artinya, terhadap putusan MK tidak dapat ditempuh upaya hukum apa pun. Konsekuensinya, tidak ada hal lain yang dapat dilakukan terhadap putusan MK, kecuali harus menerima dan melaksanakan. Karena, memang demikian desain konstitusional menurut UUD 1945.
“Biarlah urusan mengomentari dan memberikan kritik putusan MK menjadi pekerjaan LSM atau akademisi di kampus-kampus melalui kegiatan eksaminasi putusan yang jelas-jelas basis argumentasi ilmiahnya. Di samping itu, secara etika kelembagaan negara penting untuk ditegakkan, yakni untuk saling menghormati proses dan hasil pelaksanaan kewenangan masing-masing lembaga negara," tandas Arief.
Ketua MK memang tidak menyebutkan, siapa lembaga negara yang disindirnya. Akan tetapi, beberapa waktu lalu, MK mendapatkan kritik dari Kejaksaan Agung terkait dihapuskannya kewenangan Jaksa untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
Jaksa Agung HM Prasetyo menilai menilai putusan itu memprihatinkan dari sisi mencari keseimbangan dalam upaya mewujudkan kebenaran dan keadilan. Prasetyo bahkan menyindir, sikap MK tersebut terkesan memberikan perlindungan berlebihan kepada pelaku tindak pidana dan kejahatan termasuk korupsi. Sementara melupakan adanya sisi lain pencari keadilan yaitu korban kejahatan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved