Ketua Majelis Ulama Indonesia ( MUI) Maruf Amin mengritik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kolom agama di kartu tanda penduduk. Ia menyebut, putusan itu tidak mempertimbangkan kesepakatan di masyarakat dan bisa menuai persoalan di masyarakat.
“MK membuat keputusan yang hanya semata-mata berpegang kepada prinsip perundang-undangan, tanpa dia memperhatikan kesepakatan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu yang mengandung masalah," ujar Maruf di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (15/11).
Kesepakatan yang dimaksud adalah bahwa salah satu unsur identitas setiap warga negara adalah agama, bukan aliran kepercayaan.
Ia menilai, akan menimbulkan gejolak jika aliran kepercayaan seorang warga negara dicantumkan di dalam KTP atau KK.
“Ya pastilah. Sekarang ini sudah timbul gejolak (di masyarakat) itu. Karena apa? Karena sudah ada kesepakatan politik sebelumnya," sebut Maruf.
Meski demikian, Ia menyadari bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh sebab itu, MUI akan menggelar koordinasi internal untuk merespons persoalan itu.
“Jadi kita sedang mencarikan, seperti apa nanti solusinya. Lagi kita cari. Akan kita bahas seperti apa ini menyelesaikannya," ujar Maruf.
Seperti diketahui, MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP yang diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan.
Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk 6 agama yang telah diakui pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved