Komisi VII DPR sudah merumuskan poin-poin revisi Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang akan dibahas bersama pemerintah.
Sebelumnya, revisi UU Migas ini memang berjalan lambat. Semula UU Migas yang baru ditargetkan bisa terbit pada tahun 2015. Namun hingga saat ini belum juga terealisais.
Pemerintah berniat untuk menjadikan revisi UU Migas sebagai inisiatif pemerintah. Bahkan pemerintah keinginan untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).
Anggota komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Kurtubi mengatakan, hingga saat ini inisiatif merevisi UU Migas masih di tangan DPR RI. DPR juga terus bekerja untuk segera merampungkan revisi beleid tersebut.
"Saat ini pada tahap dimana 10 fraksi DPR di komisi VII sudah masing-masing memberikan masukan dan sudah disusun rancangan undang-undangnya oleh Dewan Keahlian Sekretaris Jenderal DPR. Setelah ada evaluasi dari Komisi VII maka kami akan bicarakan dengan pemerintah," kata Kurtubi kepada pers, Minggu (28/08).
Kurtubi menjelaskan beberapa poin penting dalam revisi beleid tersebut di antara adalah menyerahkan kuasa pertambangan pada Perusahaan Migas Nasional, dalam hal ini Pertamina.
Saat ini kuasa pertambangan masih dipegang oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan penandatanganan kontrak dilakukan oleh BP Migas yang sekarang bernama SKK Migas dengan perusahaan migas.
Kurtubi mengatakan, pada saat judicial review di Mahkamah Konstitusi, BP Migas itu termasuk melanggar konstitusi jadi dibubarkan berikut 17 pasal dari UU itu diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya berpendapat sistem ini harus diubah, yang tadinya kuasa pertambangan di tangan menteri, harus diserahkan pengelolaan migas ini ke national oil company yaitu Pertamina," kata Kurtubi.
Kurtubi juga menyebut dengan Pertamina menjadi pemegang kuasa pertambangan maka sistem investasi di sektor hulu migas bisa lebih sederhana terutama jika menggunakan skema Production Sharing Contract (PSC).
“Sstem investasi yang dipegang pemerintah saat ini cukup panjang terutama karena penandatanganan kontrak dilakukan oleh lembaga yang tidak memegang kuasa pertambangan,” kata Kurtubi.
Sebagai contoh, Kurtubi menyebutkan jika ada investor asing ingin lakukan pengeboran maka investor tersebut harus mengurus izin sampai puluhan izin bahkan sampai 200 izin untuk bisa melakukan pengeboran.
"Nanti sistem ini kami ubah menjadi sistem yang sederhana. Justru yang sederhana itu sesuai dengan konstitusi untuk kita mendorong investasi," kata Kurtubi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved