Semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak dalam Pemilu 2004 mendatang, harus mewaspadai dan mengantisipasi potensi konflik yang akan muncul. Mereka, selain lembaga-lembaga pengawas resmi, juga harus melakukan pengawasan terhadap seluruh proses sehingga Pemilu 2004 sungguh-sungguh berlangsung jujur dan adil serta demokratis.
Demikian antara lain poin penting dari dialog publik bertajuk "Pengawasan dan Pengamanan Pemilu 2004", di Jakarta, Senin (5/5). Tampil sebagai pembicara dalam diskusi itu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hamid Awaluddin dan Mulyana W Kusumah, pengamat politik dari The Habibie Center, Indria Samego, Presidium Bidang Hukum Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, Sirra Prayuna, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), Muhammad Mustofa.
Menurut Hamid Awaluddin, dalam Pemilu 2004 mendatang terjadi persaingan yang sangat seru antarpartai politik (parpol) peserta pemilu, antarkandidat anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan antarcalon presiden (capres).
Persaingan itu adalah sesuatu yang baik. Hanya saja, bila persaingan itu tidak diatur dengan baik, akan muncul persaingan tidak sehat yang akan mencederai pemilu sebagai sebuah pesta demokrasi.
Namun demikian, di tengah kekhawatiran munculnya situasi yang tidak menentu akibat pertarungan dalam pemilu itu, tetap ada optimisme. Pasalnya, dalam Undang-Undang (UU) No 12/2003 tentang Pemilu ada lembaga pengawas yang diberi wewenang menyelesaikan sengketa dan membawa sengketa pidana antara peserta pemilu ke pengadilan. UU yang sama juga memberi sanksi pidana terhadap pe- serta pemilu yang melaku-kan pelanggaran selama pemilu.
Menurut dia, beberapa titik rawan yang potensial menimbulkan konflik dalam pemilu mendatang adalah saat kampanye. Pada saat itu, para kontestan bukan tidak mungkin akan mempraktikkan politik uang. Pada masa kampanye itu juga para kontestan akan mengumbar janji dan bukan tidak mungkin akan terjadi saling menjelekkan antar peserta pemilu.
Titik rawan lain adalah ketika para pejabat publik yang menggunakan fasilitas publik untuk kepentingan partai. Sebab UU melarang para pejabat publik menggunakan fasilitas negara dalam menjalankan tugas partai, seperti saat berkampanye.
Senada dengan itu, Mulyana W Kusumah berpendapat, ada 15 titik krusial yang potensial menimbulkan konflik selama pemilu mendatang. Ke-15 titik rawan itu antara lain, pertama, saat KPU melakuan verifikasi parpol peserta pemilu. Partai-partai yang dinyatakan tidak lolos pasti akan protes. Kedua, potensi konflik juga akan muncul saat daftar calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Ketiga, kompetisi merebut kursi anggota DPD juga bakal sengit. Reaksi dari mereka yang tidak lolos dengan memobilisasi massa sangat dikhawatirkan. Keempat, proses pengajuan dan penetapan capres oleh partai atau gabungan parpol akan memanaskan situasi politik.
"Bila sejak awal sebelum tahap ini berjalan, parpol atau gabungan parpol memasarkan calon presiden atau calon wakil presidennya kepada publik, reaksi publik berupa pro kontra atas calon presiden atau calon wakil presiden tertentu tidak terakumulasi pada tahap akhir," kata Mulyana.
Sementara Indria Samego berpendapat, sebaik apa pun UU yang dihasilkan potensi konflik di negeri tetap saja tinggi. Hal itu disebabkan oleh budaya politik yang hidup di Idnonesia. Budaya politik di Indonesia, kata peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu, adalah ketergantungan massa pendukung yang tinggi terhadap tokoh tertentu. "Bila sang elite cukup puas dengan prses politik yang berlangsung, semuanya akan lebih mudah dikendalikan," katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved