Banyak sekali problematika atas ketahanan nasional saat ini yang dapat menghambat kekuatan nasional dan cita-cita serta tujuan nasional. Salah satunya adalah ancaman yang disebabkan oleh kemajuan teknologi. Konsep ketahanan nasional harus terus di perbaharui dan divalidasi sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan lingkungan.
Ketua Aliansi Kebangsaan dan Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB), Pontjo Sutowo mengatakan, konsep ketahanan nasional antara jaman dahulu dengan sekarang berbeda. Bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) yang dihadapi oleh negara terus berkembang dinamis, terutama dengan meningkatnya kemajuan teknologi informasi. Karena itu konsep ketahanan nasional harus diupdate terus.
“Kita semua menyadari bahwa ancaman terhadap bangsa dan negara semakin kompleks dengan spektrum yang makin meluas, meliputi bidang militer, ideologi, politik, ekonomi dan budaya,” kata Pontjo kepada politikindonesia.com disela-sela Pemanaparan Hasil Diskusi Panel Serial 2017-2018 di Jakarta, Rabu (0711).
Karena cepatnya dinamika ancaman saat ini, lanjutnyq, sehingga kemudian muncul konsep baru yang disebut accelerated wanare (ancaman yang disebabkan oleh kemajuan teknologi). Kondisi ini menuntut respon negara yang lebih cepat dan kreatif. Oleh sebab itu untuk merespon dinamika ancaman tersebut, bangsa ini perlu menyesuaikan konsep, strategi dan manajemen pengelolaannya.
“Apalagi, kita tidak ingin menjadi korban perkembangan ancaman hanya karena konsep yang kita miliki sudah ketinggalan zaman. Bahkan, saya sudah pernah mengingatkan mengenai salah satu kekeliruan fatal militer yang terjadi dalam sejarah adalah mempersiapkan diri menghadapi perang yang telah lalu. Jadi, jangan sampai kita mengulangi kekeliruan profesional militer yang klasik itu. Karena kita harus selalu betorientasi ke masa depan,” tegasnya.
Dia menjelaskan, perlu diketahui sebenarnya ketahanan nasional berada pada kategori kurang tangguh. Sehingga keuletan dan ketangguhan bangsa bangsa ini berada pada posisi lemah. Hal itu berdasarkan pengukuran kondisi ketahanan nasional yang dilakukan oleh Laboratorium Pengukuran Ketahan Nasional Lemhanas pada 2016. Diketahui, indeks ketahanan nasional berada pada angka 2,60 dari rentang 1-5.
“Ada 3 gatra yang menurun dari hasil pengukuran itu, yaitu sumber kekayaan alam, ideologi serta sosial dan budaya. Sehingga dalam jangka pendek, negara kita masih bisa bertahan dari ATHG. Tapi apabila tidak segera ada perbaikan dalam jangka panjang, maka stabilitas nasional akan goyah. Keadaan ini tentu memprihatinkan dan mengunggah kesadaran kita semua untuk ikut berkontribusi memperbaikinya,” ungkap Pontjo.
Selain itu, kata Pontjo lagi, Indonesia berdasarkan indeks ya f dikeluarkan International Telecommunication Union (ITU) pada 2017, berada diposisi 111 dari 176 negara dengan indeks 4.34. Begitu juga dalam indeks daya sainh glob 2017-2018 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, terkait kesiapan teknologi, Indonesia berada pada tingkat 80 dari 137 negara.
“Rendahnya penguasaan teknologi Indonesia itu pada dasarnya terjadi karena banyak faktor. Di antaranya, lemahnya sinergi kebijakan iptek dan masih terbatasnya sumber daya iptek, terutama anggaran penelitian dan pengembangan (litbang). Selain itu, adanya permasalahan penyerapan teknologi,” ucapnya.
Menurutnya, masalah itu sebenarnya bersifat strategis. Makanya, perlu dicermati dan disadari bahwa inovasi teknologiberkembang bukan dari lembaga riset dan litbang yang dimiliki oleh bangsa ini, tapi justru di masyarakat industri. Randahnya penguasaan teknologi yang Indonesia miliki, bangsa ini menjadi sangat rentan terhadap serangan cyber. Salah satunya, serangan Ransom ware Wanna Cry pada 2017.
“Dengan begitu, sangat dimungkinkan akan terjadi serangan lanjutan yang lebih sistematis dan sestemik. Untuk itu, kita perlu segera membangun kemandirian teknologi cyber. Sayangnya, kemandirian itu baru dapat terbentuk, jika kita melakukan perbaikan konsep keamanan nasional yang ada,” imbuhnya.
Sementara itu, pakar ketahanan nasional, A. Yani Antariksa berharap adanya kreativitas dan inovasi pemikiran baru dalam membangun ketahanan nasional yang baru. Sebab sudah menjadi realitas jika ketahanan nasional seperti saat ini, juga mengalami proses evolusi.
“Misalnya saja, pada tahun 1965, ketahanan nasional masih menggunakan konsep kekuatan. Tahun 1968-1969 menggunakan konsep ketahanan. Tahun 1972 memasukkan memasukkan Ipoleksosbud. Tahun 1973 konsepsi Tannas dimasukkan dalam GBHN. Oleh sebab itu, kreatif yang dapat mengubah konsep kekuatan pertahanan menjadi national power", katanya.
Dia mengakui, ketahanan nasional saat ini harus menggunakan konsep yang baru. Konsep, dimana tidak menggunakan pendekatan kondisi dinamik seperti yang selama ini ada, namun menggunakan pendekatan budaya.
“Sehingga melalui konsep baru tersebut, banyak masukan baru yang kemudian dihadirkan dalam mengembangkan ketahanan nasional yang baru Baik dalam sisi konsep dan legislasi,” ucapnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved