Tim kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter MI2 milik pemerintah Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Bram HD Manopo menilai Komisi Pemberantasa Korupsi tdak berwenang untuk menyeldiki dan melakukan penuntutan pada kasus tersebut.
"Jika terjadi pelanggaran terhadap dua undang-undang (UU) yang didalilkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) maka yang berwenang meneliti dan menyelidiki perkara terdakwa adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)," kata Koordinator tim kuasa hukum terdakwa, Handra Deddy Hasan, SH, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin.
Dalam uraian surat dakwaannya, kata Handra, JPU mendalilkan terdakwa telah melakukan pelanggaran terhadap Kepres No.18 tahun 2002, maka perbuatan terdakwa tersebut secara hukum haruslah dikualifikasikan telah melanggar ketentuan pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Dengan demikian, tambah Handra, dakwaan penuntut umum yang didasarkan pada berita acara pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh komisi yang tidak berwenang melakukan pemeriksaan menjadi tidak sah pula dan haruslah ditolak atau dibatalkan.
Lebih lanjut, tim kuasa hukum yang terdiri atas Bach Darwin, Mohamad Anwar, Marly Iljas, Almi Wardi, Rahmatsyah, Rinaldi, dan Tommy Sontosa, menilai perbuatan yang didakwakan JPU merupakan ruang lingkup perdata bukan pidana atau korupsi.
"Perlu ditegaskan bahwa perkara ini adalah perkara jual beli yang termasuk dalam ruang lingkup perdata karena terdakwa pada saat itu berkedudukan sebagai pengusaha dan hal ini dapat dilihat dalam surat dakwaan JPU," kata Handra.
Handra menambahkan perkara jual beli ini adalah berdasarkan kesepakatan yang sah sebagaimana juga dimaksud dalam pasal 1458 KUH Perdata yang memuat asas consensualisme yang seluruhnya berada dalam ruang lingkup hukum perdata.
Pada poin selanjutnya, tim kuasa hukum terdakwa juga menilai surat dakwaan JPU secara legal formal tidak jelas atau kabur.
Ia menjelaskan bahwa perjanjian jual beli yang dilakukan oleh terdakwa sebagi presiden direktur PT Putra Pobiagan Mandiri (PPM) dengan pemprov NAD yang diwakili oleh Ir. H. Abdullah Puteh, akta jual beli riil atas barang yang benar ada dan masih ada hingga saat ini bukanlah jual beli fiktif.
Saat ini, jelasnya objek jual beli yang dimaksud yaitu helikopter MI2 PLC Rostov Mil telah diserahkan, digunakan, dinikmati dan hingga saat ini telah menjadi milik dan dikuasai negara.
Terdakwa, tambahnya juga telah melakukan pembayaran jual beli tersebut ke Rostov Mil Helikopter Plant Russia sebesar 644.000 dolar AS atau setara dengan Rp6.440.000.000.
Dengan kata lain kerugian negara yang didakwakan JPU seharusnya sebesar Rp3.814.450.000 dan bukan Rp13.687.500.000.
Mereka juga menyinggung tentang helikopter MI2 yang hingga saat ini tidak dijadikan barang bukti dalam perkara ini oleh JPU.
"Seharusnya dilakukan penyitaan atau perampasan teradap helikopter MI2 itu sebagai barang bukti kejahatan," kata Handra.
Pada poin terakhir eksepsi kuasa hukum terdakwa mereka menegaskan bahwa kewenangan KPK tidak berlaku surut atau retroaktif.
Hal itu berkaitan dengan tempus delicti (waktu kejadian) dalam rentang waktu 2001-2002 sebelum KPK terbentuk sesuai dengan pasal 68 jo pasal 9 UU No.20 tahun 2002.
Sehingga kuasa hukum terdakwa meminta kepada majelis hakim untuk mengabulkan eksepsi mereka dalam putusan sela serta memutuskan bahwa dakwaan batal demi hukum setidaknya tidak dapat diterima.
Usai pembacaan eksepsi tim JPU yang terdiri atas Khaidir Ramly, Wisnu Baroto, dan Yessi Esmiralda meminta penundaan sidang hingga pekan depan.
Namun Majelis hakim yang terdiri atas diketuai oleh Gus Rizal, SH memutuskan untuk menunda persidangan hingga Kamis, 16 Juni 2005.
© Copyright 2024, All Rights Reserved