Pemerintah dinilai tidak menunjukkan kepatuhan kepada hukum jika memutuskan untuk kemabli melanjutkan reklamasi Pulau G, Teluk Jakarta. Pasalnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah mengeluarkan keputusan tetap (in kracht) yang mengabulkan gugatan para nelayan terhadap izin reklamasi Pulau G yang dilakukan PT Muara Wisesa Samudra itu.
Pendapat itu disampaikan Wakil Ketua Bidang Hukum, SDA, dan Pengabdian Masyarakat, Majelis Sinergi Kalam (MASIKA) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Dr. Ismail Rumadan, Sabtu (10/09) menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut, tak ada masalah dalam reklamasi Pulau G dan pemerintah akan melanjutkannya.
Langkah Menko Maritim tersebut jelas tidak menunjukan kepatuhan kepada hukum. "Pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Artinya bahwa apapun bentuk tindakan pemerintah dan masyarakat harus tunduk dan patuh terhadap aturan hukum termasuk di dalamnya adalah putusan pengadilan. Sebab putusan pengadilan merupakan bentuk kontrol yudikatif terhadap jalannya fungsi eksekutif," jelas Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional tersebut.
Keputusan PTUN tersebut mempertimbangkan beberapa aspek negatif dari reklamasi seperti berdampak buruk bagi ekosistem laut di Pulau G. Selain itu, analisis dampak lingkungan tidak melibatkan para nelayan. Putusan pengadilan ini seharusnya dipatuhui oleh pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait pengembangan proyek reklamasih teluk jakarta.
"Jika saja putusan ini dianggap tidak tepat atau kurang baik, maka langkah yang harus ditempuh adalah melalui upaya hukum banding maupun kasasi nanti. Tidak kemudian pemerintah melalui Menko Maritim mengeluarkan pernyataan untuk tetap melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta tersebut dengan dalih sudah melakukan kajian khusus," katanya.
Ismail berpendapat, langkah Menko Maritim tersebut, dapat membingungkan masyarakat akan tugas dan fungsi masing-masing lembaga negara yang saling kontrol dalam bingkai negara hukum.
"Jika pemimpin saja sudah tidak patuh terhadap hukum, maka jangan berharap masyarakat akan patuh terhadap aturan hukum maupun apa yang dilakukan oleh pemimpinnya. Dalam kondisi inilah tentu sangat dikhawatirkan eksistensi negara hukum akan kehilangan maknanya, hukum dicurigai hanya digunakan sebagai alat kekuasaan," tandas Ismail.
© Copyright 2024, All Rights Reserved