Upaya meningkatkan kesejahteraan sosial di Indonesia, memerlukan banyak aktivitas yang melibatkan pekerjaan sosial. Sekitar 12 Undang-Undang mengamanahkan berbagai bentuk pekerjaan yang berdimensi pekerjaan sosial namun dengan terminologi berbeda-beda. Perlu sebuah UU yang mengatur tentang Pekerja Sosial.
Demikian disampaikan anggota Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa Amaliah dalam Seminar Nasional "Menuju Masyarakat Indonesia Sejahtera" yang diselenggarakan oleh FISIP UNPAD Kamis (22/12) kemarin. Politisi perempuan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berharap agar RUU Pekerja Sosial bisa masuk prolegnas pada tahun sidang mendatang
"Sekitar 12 Undang-Undang mengamanahkan berbagai bentuk pekerjaan yang berdimensi pekerjaan sosial namun dengan terminologi berbeda-beda. Ini artinya tidak terdapat kejelasan dalam hal batasan, ketentuan, sertifikasi, hingga tata kelola dalam tingkat pelaksana teknis," ujar dia.
Padahal, terang Leida, keberadaan para pekerja sosial sangat krusial dalam berbagai program terkait penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan bahkan perlindungan perempuan dan anak.
Contohnya adalah keberadaan para pendamping di program KUBE, program PKH, TKSK, hingga pendamping rehabilitas korban KDRT atau anak korban kekerasan dan anak yang berhadapan dengan hukum.
"Bila tak ada undang-undang khusus yang mengatur soal pekerja sosial ini maka amanah undang-undang lain justru akan jalan ditempat karena sulit diimplementasikan."
RUU Pekerja Sosial ini sesungguhnya telah masuk dalam longlist prolegnas tahun 2014-2019 namun belum masuk dalam program prioritas karena diantaranya belum terpenuhinya kelengkapan administasi Naskah Akademik dan Draft RUU.
"Draft dan Naskah Akademis ini masih dalam proses penggodokan di komisi VIII DPR RI. Tapi kami berharap tahun depan RUU ini bisa masuk sebagai RUU Prioritas," kata Ledia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved