Angka kejahatan terhadap anak di Indonesia masih memprihatinkan. Dari 87 juta anak Indonesia, sekitar 6 persen diantaranya pernah menjadi korban kekerasan atau bermasalah.
Demikianlah dikatakan Deputi Menteri Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lenny N. Rosalin kepada politikindonesia.com dalam Refleksi 2017 dan Outlook 2018 Deputi Tumbuh Kembang Anak di Jakarta, Kamis (28/12).
Perempuan kelahiran Semarang, 10 Maret 1964 ini, mengatakan, fenomena kejahatan terhadap anak, ibarat gunung es. Banyak korban yang tidak berani melaporkan kekerasan yang dialaminya. Padahal, kondisi tersebut mengancam masa depan anak Indonesia.
Kepada Elva Setyaningrum, lulusan Sarjana Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang ini bercerita, upaya pemerintah dalam menekan angka kekerasan terhadap anak.
Termasuk langkah-langkah yang dilakukan dalam nencapai target Indonesia Layak Anak pada 2030 mendatang. Berikut wawancaranya.
Seperti apa fenomena kekerasan terhadap anak di Indonesia?
Kekerasan terhadap anak, adalah masalah serius. Indonesia saat ini memiliki 87 juta anak. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang harus betul-betul dijaga pertumbuhan dan perkembangannya.
Fenomena kekerasan terhadap anak ini seperti gunung es. Kekerasan terhadap anak bisa terjadi dimana saja, bahkan dilakukan dan dialami oleh anak secara rutin.
Lebih prihatin lagi, banyak pihak yang tidak sadar akan hal itu. Kekerasan tersebut juga diterima secara sosial. Dianggap sebagai bagian yang normal dari pertumbuhan dan perkembangan anak.
Keadaan seperti ini harus segera diakhiri. Kekerasan akan membuat anak menjadi sakit dan lebih berbahaya lagi, mereka akan menirunya, sehingga siklus kekerasan itu akan terus berulang.
Di lembaga pendidikan pun, kekerasan atas anak kerap terjadi, mengapa?
Betul. Kekerasan terhadap anak juga masih terjadi di lembaga pendidikan. Tak bisa dipungkiri. Kita kerap kali membaca berita mengenai anak dipukul, ditampar atau dihukum di sekolah. Bahkan yang lebih ektrem, anak menjadi korban kekerasan seksual hingga pembunuhan.
Ini harus segera diakhiri. Apabila kita gagal melindungi 87 juta anak Indonesia dari tidak kekerasan, maka kita akan kehilangan generasi pada saat Indonesia emas tahun 2045.
Sebenarnya siapa pelaku kekerasan pada anak?
Pelaku kekerasan terhadap anak, bisa siapa saja. Tapi, dari penelitian, potensi yang sering justru orang terdekat dari anak tersebut, seperti keluarga, pengasuh, atau guru.
Kondisi itu bisa terjadi karana rumah, sekolah, lingkungan sosial dan tempat bermain anak belum bisa dikatakan sebagai tempat yang ramah bagi anak.
Bagaimana dengan perkawinan anak, bukankah itu bentuk lain kekerasan?
Betul. Perkawinan anak merupakan bentuk lain dari kekerasan anak dan diskriminasi terhadap anak. Pernikahan dini itu, termasuk dalam pelanggaran terhadap hak anak, khususnya hak menikmati kualitas hidup yang baik dan sehat serta hak untuk berkembang sesuai dengan usia.
Saat ini, angka perkawinan anak di bawah usia 18 tahun masih mengalami peningkatan. Jumlahnya, sepertiga lebih tinggi di daerah perdesaan daripada perkotaan. Angka perkawinan anak yang cukup tinggi terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Nusa Tenggara.
Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia dan kedua tertinggi di ASEAN dalam kasus perkawinan anak.
Apa pemicu perkawinan anak di Indonesia tinggi?
Biasanya, faktor ekonomi keluarga. Banyak anak perempuan yang dikawinkan dengan pria saat mereka belum matang secara usia. Keluarganya membayangkan, perkawinan itu akan bahagia dan mengangkat derajat perekonomian.
Padahal, pada banyak kasus, impian itu justru tidak terwujud karena belum matang secara usia dan mental. Bayangannya, setelah menikah akan hidup senang, yang tejadi justru sebaliknya.
Oleh sebab itu, kami berharap revisi UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan yang mencantumkan batas usia minimal perkawinan perempuan ialah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun bisa diwujudkan.
Terhadap problem kekerasan anak tersebut, apa upaya pemerintah?
Permasalahan anak sebagai kelompok rentan menjadi keprihatinan bersama. Kami di
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah membentuk Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) yang berfungsi sebagai one stop service atau layanan satu pintu keluarga, holistik integratif berbasis hak anak.
Program Puspaga ini adalah upaya untuk menyatukan dua kekuatan, antara tanggung jawab orangtua dan kewajiban negara untuk membantu mengatasi permasalahan keluarga.
Puspaga dibentuk sebagai tempat pembelajaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan menuju keluarga sejahtera yang dilakukan tenaga profesi melalui peningkatan kapasitas orang tua atau keluarga.
Ada 18 Puspaga yang telah didirikan. Tahun ini ditargetkan kembali dibentuk 23 Puspaga sehingga total seluruh Indonesia ada 41 Puspaga. Kami berharap nantinya, Puspaga akan ada di tiap kota/kabupaten.
Bagaimana mengejar target Indonesia Layak Anak tahun 2030?
Berbagai program dan langkah dilakukan untuk mewujudkan hal itu. Salah satunya adalah dengan terus menggalakkan pembangunan Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) di seluruh Indonesia.
KLA merupakan menerapkan sebuah sistem, yang mana tujuan akhirnya memenuhi hak anak dan menjaga jangan sampai anak menjadi korban kekerasan. KLA sudah kami mulai pada era otonomi daerah, tepatnya sejak tahun 2006. Sejak saat itu hingga tahun 2017, sebanyak 349 kabupaten/kota di Indonesia sudah terverifikasi layak bagi anak-anak.
Dengan capaian yang telah didapat sejauh ini, kami optimistis Indonesia akan menjadi negara yang ramah anak sebelum 2030. Namun, itu semua tergantung respon daerah. Jadi bukan hanya Pemda, tetapi semua komponennya juga bergerak untuk membangun ini.
Oleh sebab itu, KLA ini sangat penting untuk memberi kenyamanan bagi sepertiga penduduk Indonesia yang merupakan anak-anak. Apalagi, untuk menciptakan pembangunan Indonesia yang optimal haruslah dimulai dari usia anak-anak yang berdasarkan dengan konvensi hak anak. Kalau tidak bisa dilakukan dari anak-anak, maka tidak bisa menghasilkan pembangunan yang berkualitas.
© Copyright 2024, All Rights Reserved