Magdalena Eda Tukan Aktivis Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim (KOPI) dari Larantuka, Flores Timur Perjuangan Perubahan Iklim di NTT Jangan Selesai di Medsos.
Tak banyak anak muda yang mau memilih perjuangan dalam isu perubahan iklim. Tapi Magdalena Eda Tukan, perempuan muda dari Larantuka, Nusa Tenggara Timur, dengan kesadaran penuh memilih jalur tersebut.
Eda, begitu dia disapa, dengan sadar memutuskan bergabung dalam Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim (KOPI) setelah menyadari, perubahan iklim adalah isu yang nyata dan berdampak besar pada kehidupan. Eda dan Koalisi KOPI lalu aktif menyuarakan tentang dampak perubahan ikim ke anak-anak muda.
Dia tak gentar meski kerap diremehkan dan dianggap hanya ikut-ikut dan tak paham tentang isu yang mereka suarakan. Tapi Eda tak gentar. Ia hanya butuh keyakinan, bahwa ia sudah berjuang di jalan yang benar demi kepentingan masa depan. Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Magdelan Eda Tukan usai gadis belia tersebut menjadi pembicara di sebuah acara diskusi tentang iklim di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Bagaimana asal usul memilih nama KOPI untuk gerakan ini?
Nama KOPI ini kami pilih karena biar dekat dengan anak muda, yang sekarang identik dengan nongkrong dan ngopi. Selain itu nama ini bisa membuat kami mendekat dengan teman-teman seusia kami untuk bicara soal perubahan iklim yang dirasa rumit. Apalagi perubahan iklim ini bukan hal yang langsung ada di meja belajar kita, di ruang kelas, bahkan di ruang bermain saat kita masih kanak-kanak. Sejak kapan tertarik dengan isu-isu sosial, terutama soal perubahan iklim?
Sebelum bergabung dengan Koalisi KOPI, saya memang sudah aktif di lingkungan anak-anak muda Larantuka dan mengerjakan hal-hal yang memang kami suka dan kami lakukan dengan gembira. Misalnya kami tertarik dengan arsip dan dokumentasi sejarah budaya Larantuka. Sampai akhirnya kami bertemu dengan organisasi lain yang memiliki semangat yang sama. Pertemuan itu membuat wawasan saya bertambah luas, dan akhirnya membuat saya mulai mencemaskan beberapa hal dan akhirnya kritis ketika ada program-program yang ditawarkan kepada kami. Jadi kami juga pertanyakan, apakah jika ada yang mengajak bermitra, apakah program yang ditawarkan cocok untuk kami. Dan ternyata, program yang kami jalankan di Koalisi KOPI ini terus berlanjut dan panjang. Sudah 4 tahun kami berjalan, dan kami terus berupaya untuk melibatkan dan mengajak sebanyak mungkin orang muda.
Siapa atau kelompok mana yang menjadi sasaran teman-teman di Koalisi KOPI?
Target kami adalah mereka yang nonaktivis lingkungan. Karena kalau bersama aktivis lingkungan mereka sudah paham. Tapi bagaimana dengan anak muda lain yang mungkin merasakan dampaknya krisis lingkungan, tapi mereka tidak sadar. Menariknya dalam perjalanan kami, bahkan kami bertemu dengan teman-teman yang tidak bisa membedakan antara cuaca dan iklim. Sehingga tidak bisa menemukan konsep yang tepat tentang perubahan iklim. Dan itu dirasakan oleh kami semua. Karena memang, kami dulunya tidak belajar itu. Bahkan meski kami berada di jurusan IPA, kami belajar dalam konteks yang lebih luas. Tapi kami tak diajak untuk menemukan, apa sih dampaknya pada kami di Larantuka atau di Flores Timur.
Berapa banyak organisasi sosial kemasyarakatan di NTT ini?
Nah di NTT bukan hanya ada Koalisi KOPI. Tapi ada juga koalisi lain dari masyarakat sipi, seperti koalisi petani dan nelayan. Ada juga Koalisi Pangan Baik yang anak mudanya terus menerus bicara tentang pangan lokal dan ketahanan pangan, juga ada Koalisi Adaptasi, yang lebih banyak menggali dan membicarakan tentang kearifan-kearifan lokal atau pengetahuan-pengetahuan lokal yang kemudian bisa kita gunakan untuk membantu mengatasi perubahan iklim ini.
Lalu bagaimana situasi di sana sepanjang yang Anda jalani?
Kami, anak-anak muda dari Larantuka ini mulai menyadari bahwa benar sudah terjadi perubahan iklim ketika bapak dan mama kami mulai kesulitan mendapatkan ikan. Harus makin jauh ke tengah laut untuk dapat ikan, dan akhirnya uang juga makin banyak keluar untuk membiayai perjalanan kapal mereka untuk sampai ke tengah laut. Kami juga sadar mulai tidak lagi mengalami makan ikan jenis tertentu, atau pangan-pangan tertentu. Bahkan kami pernah tidak tahu, bahwa sorgum adalah makanan nenek-nenek kami. Karena sejak kecil kami sudah dibiasakan makan nasi. Jadi kami benar-benar tidak tahu.
Lalu bagaimana situasi di sana sepanjang yang Anda jalani?
NTT adalah kepulauan yang luas dengan 22 Kabupaten Kota, dengan karakter yang berbeda, budaya yang berbeda, dan bahasa yang berbeda. Nah itu jadi satu tantangan bagi kami, khususnya di Koalisi KOPI. Lalu tahun 2021, kami semua bersepakat, berbicara tentang Labuan Bajo, bukan hanya tentang orang Labuan Bajo saja. Saya tersentuh dengan kata-kata yang disampaikan beberapa kakak aktivis yang pernah bertanya, apakah masalah gajah di Sumatera hanya masalah Sumatera saja? Misalnya masalah geothermal kemarin yang ramai di Manggarai, apakah anak-anak di Timor ikut membicarakan itu? Minimal posting di media sosial.
Anda sedih melihat belum semua anak muda mau terlibat dan bergabung untuk mengatasi perubahan iklim?
Menurut saya, hal-hal seperti ini harus dibangun dari bawah dan dibangun dengan serius. Anggap saja ini bagian dari kritik, banyak program datang ke NTT. Tapi setelah program itu selesai, ya selesai. Datang, bikin program, bikin laporan, program selesai, media sosial beres, lalu sudah.
Tidak ada yang berpikir, apakah program adaptasi di sana bisa berjalan terus?
Bisa jadi orang-orang yang dipercayakan mengajarkan program tersebut 10 tahun lalu, dia sudah tidak mengerjakan lagi. Dan itu banyak terjadi. Saya termasuk orang yang memilih dan memilah, saya mau bergabung di mana. Saya beruntung ketika bergabung dengan Koalisi KOPI, saya juga bermitra dengan organisasi lain yang punya visi sama. Jadi program yang kami kerjakan sekarang ini adalah hasil dari menemu dan mengenali proses belajar.
Apa harapan Koalisi KOPI pada anak muda dan perjuangan yang sudah dijalankan ini?
Sebenarnya kami fokus pada anak muda yang nonlingkungan tadi, untuk membangun kesadaran bersama dan belajar. Lalu memanfaatkan media sosial kita untuk membagikan cerita-cerita kita, sehingga publik tahu dan bisa ikut mendengarkan. Belakangan aksi kami juga mulai dikenal dan diliput media. Misalnya ada salah satu kawan yang senang melakukan aksi clean up. Dia senang-senang saja melakukan itu dan tidak berpikir publikasi. Tapi kemudian ada wartawan yang meliput dan memberitakan, ya kami senang-senang saja sejauh itu bisa membawa dampak positif pada perjuangan kami.
Mengapa ingin orang banyak tahu yang sudah dilakukan Koalisi KOPI?
Mungkin memang yang kami lakukan sudah perlu diketahui oleh banyak orang, perlu didengar. Karena dengan begitu, kami bisa terus berkolaborasi dengan teman-teman lain di NTT dan wilayah lain. Cocok atau tidak cocok, jika visi misinya sama, pasti akan ketemu benang merahnya. Dan akhirnya kita sama-sama tersadarkan soal masalah lingkungan ini. Bahwa ini adalah persoalan bersama, bahkan oleh orang-orang yang berada di daerah. Menurut Anda, kesadaran publik di NTT sudah mulai tumbuh soal kesadaran adanya perubahan iklim? Saya melihat ke belakang, kesadaran tersebut mulai tumbuh ketika ada badai akibat Siklon Seroja, tahun 2021 bulan April tanggal 4. Kejadian itu kan dampaknya ke semua wilayah, lalu di situ orang muda mulai turun.
Awalnya berdonasi saja, mengantar donasi, tapi akhirnya pelan-pelan mulai mempertanyakan, kenapa bisa satu NTT mendapat dampak badai ini?
Mulailah anak-anak muda mengetuk pintu BPBD, atau siapapun dan lembaga apa saja yang bisa memberikan informasi tentang ini. Dan akhirnya kami bangun itu melalui aktivitas-aktivitas di Koalisi KOPI.
Hal apalagi yang menunjukkan ada kesadaran publik soal perubahan iklim?
Kesadaran lain yang mulai muncul adalah tentang terumbu karang yang mulai rusak. Rusaknya bisa karena ada orang-orang yang menangkan ikan di saat surut, tapi setelah kami belajar, ternyata kerusakan itu bisa juga terjadi karena ada pengaruh perubahan iklim. Dan upaya yang dilakukan adalah mencari cara, bagaimana menanam terumbu karang dengan bahan lokal. Misalnya dengan metode bioriftek. Dan akhirnya buat kami, bergabung dengan koalisi ini menjadi nilai plus karena akhirnya bisa bertemu dengan narasumber yang bisa memberi ilmu dengan gratis. Jadi kami sangat mengupayakan, supaya jika ada program yang selesai, maka program itu bukan hanya menjadi kenangan di media sosial saja. Tapi jadi program yang bisa berlanjut dan kami bisa mandiri setelah program selesai.
Sejauh ini, apa yang Anda rasakan dengan berjuang di jalur aktivisi ini?
Kami selalu mengecek, dan memastikan dengan mempertanyakan, apakah sudah benar kami sudah ada di jalan ini? Karena memilih jalan ini bukan tidak mudah. Apalagi anggota kami banyak anak muda yang sedang galau-galaunya. Sekadar memungut sampah saja banyak sekali serangan-serangannya. Ketika bicara pangan, kami juga kadang dilecehkan dan diremehkan. Dipertanyakan, seberapa jauh kami paham soal ini. Tapi kami tahu, pada dasarnya, apa yang kami lakukan ini adalah sebuah ruang hidup. Hal lainnya, teman-teman di Ende, mulai menyadari, salah satu ubi unggulan mereka, namanya ubi noa bosi, itu sudah hilang juga dan semakin turun lingkar produksinya. Lalu teman-teman ini bikin semacam lingkar belajar untuk mencari tahu. Jadi tidak langsung mengambil kesimpulan. Tapi mereka buat lingkar belajar, mencari tahu, meriset dan mempertanyakan, kira-kira anak muda macam kita ini bisa bikin apa.
Banyak cerita menarik yang Anda alami. Apakah itu cukup untuk menguatkan?
Iya. Ada cerita lain yang menurut saya menarik adalah ada sekelompok teman-teman yang mulai sadar ketika mereka membuat kegiatan yang terlihat sederhana, itu bisa berdampak. Misalnya, ketika teman-teman bikin event, dan mereka juga mulai belajar menghitung jejak karbon, ternyata energinya banyak yang terpakai. Lalu cara untuk menebusnya dengan sedehana adalah menanam pohon, misalnya. Dan ketika itu kami bagikan ke teman-teman kami, mereka yang menghitung ini bisa berbangga dan bisa merasa bahwa mereka berguna dalam hidup. Ternyata kita bisa menebus kesalahan yang kita lakukan meski menunggu waktu yang lama untuk menunggu pohon yang ditanam tumbuh besar. Tapi setidaknya ada upaya-upaya yang dilakukan. Kami juga berkolaborasi dengan orang-orang tua, lintas generasi, dengan bapak mama kami. Kami mendapat banyak ilmu dari mereka, tapi mereka juga mendapatkan bentuk-bentuk kreatif dari kami. Misalnya, ternyata menyuarakan kesadaran bisa melalui film dan cukup menggunakan ponsel saja tanpa harus menunggu uang. Atau semacam bikin happening art, teater di jalanan. Bahkan juga memungut sampah di jalanan.
Seperti apa bentuk pelecehan verbal yang pernah diterima?
Misalnya ketika kami memungut sampah di jalanan, ada saja yang berkomentar, eh ngapain kau bikin susah sendiri hidup kau? Atau ada juga yang berkomentar, sudah susah-susah kuliah jauh-jauh, sampai sini cuma mungutin sampah.
Apa kesadaran yang muncul ketika mengalami direndahkan atau dilecehkan saat berjuang?
Menurut saya sangat penting berkoalisi, karena itu adalah bagian dari menguatkan gerakan dan kita tahu bahwa kita tidak bergerak sendirian. Jadi sebelum kita mencemaskan wilayah lain di Indonesia, menurut saya harus dimulai dengan mencemaskan lingkungan terdekat kita dulu. Itu dulu. Kalau itu sudah benar, baru kita bisa membicarakan yang lebih luas. Dan satu hal yang sering kami bicarakan adalah, memastikan bahwa kita sudah bekerja benar. Karena kami juga perlu memastikan, bahwa kami ini berdiri adalah untuk mewariskan alam yang baik bagi anak-anak kami nanti. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved