Resistansi atau kekebalan terhadap antibiotik merupakan ancaman serius bagi dunia kesehatan. Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengingatkan pemerintah, tenaga medis dan masyarakat agar menyadari pentingnya mengendalikan penggunaan antibiotik demi keselamatan bersama.
"Sudah ada peringatan sejak lama bahwa kita harus berhati-hati dalam menggunakan antibiotik," kata Nila F Moeloek kepada politikindonesia.com usai membuka acara seminar bertema, "Cegah Resistensi Antibiotik demi Selamatkan Manusia" di Jakarta, Rabu (05/08).
Menurut Nila, banyak masyarakat tak paham bahaya penggunaan antibiotika yang tidak tuntas. Mereka acapkali tidak menghabiskan antibiotika setelah sakitnya berkurang atau sembuh.
"Padahal tidak menuntaskan penggunaan antibiotika hanya akan membuat pasien menjadi kebal. Mari semua pihak lakukan kampanye untuk mencegah penggunaan antibiotika sembarangan," ujar Nila.
Kepada wartawan politikindonesia.com, Elva Setyaningrum, perempuan kelahiran Jakarta, 11 April 1949 ini menjelaskan penyebab seseorang kebal terhadap antibiotik. Istri dr Farid Anfasa Moelok, Menteri Kesehatan di era presiden BJ Habibie pada 1997 hingga 1999 ini memaparkan bahaya penggunaan antiobitik.
Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) itu memaparkan penggunaan antibiotik yang benar. Guru Besar Fakultas Kedokteran Ul ini pun mengakui minimnya data kasus resistensi antibiotik. Berikut hasil wawancaranya.
Mengapa seseorang bisa kebal atau resistensi terhadap antibiotik?
Penyebabnya karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Sehingga menimbulkan permasalahan pada kekebalan antimikroba. Di mana, kemampuan antibiotik dalam mengobati infeksi dan penyakit menjadi menurun. Kalau sudah seperti itu, pengobatan menjadi lebih sulit untuk dilakukan dan membutuhkan biaya kesehatan yang lebih tinggi. Kejadian resistensi ini pun telah menjadi permasalahan sangat serius di tingkat global dan menjadi salah satu tantangan terbesar dunia kesehatan. Sebab, resistensi antimikroba menimbulkan kerugian yang luas baik dari kesehatan maupun ekonomi. Ada sekitar 27 persen dokter yang membuat resep antibiotik yang benar untuk melawan bakteri. Tapi kebanyakan dokter, padahal sudah spesialis dan berpendidikan tinggi, memberikan antibiotik secara suka-suka.
Menurut Anda, apa bahaya penggunaan antibiotik yang tidak tepat?
Penggunaan antibiotik bisa berakibat fatal bagi kesehatan. Untuk itu, dianjurkan agar siapa pun yang telanjur mengonsumsinya harus segera menghentikannya. Antibiotik membuat kuman dalam tubuh menjadi kebal. Sehingga terjadi penurunan antibiotik dalam mengobati infeksi penyakit pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Hal ini bisa menjadikan mengobatan menjadi sulit dan membutuhkan biaya kesehatan yang lebih tinggi.
Tak hanya itu, bahkan bisa memicu gagal operasi hingga mengakibatkan kematian. Makanya, saya menghimbau kepada masyarakat agar tidak perlu mengonsumsi antibiotik ketika mengalami demam biasa ataupun batuk biasa. Lebih baik pusing-pusing 3-5 hari daripada harus mengkonsumsi antibiotik.
Apakah ada larangan dari pemerintah mengenai hal ini?
Sebenarnya aturannya sudah banyak. Di antaranya, pemerintah sudah berupaya mengeluarkan peraturan menteri kesehatan (Permenkes) Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Dalam peraturan tersebut, regulasinya sudah bilang tidak boleh mengunakan antibiotik sembarangan. Gunakanlah secara rasional. Bahkan, undang-undangnya juga yang melarang jual obat sembarangan.
Bagaimana sebaiknya penggunaan antibiotik yang benar?
Penggunaan antibiotik yang benar, semata hanya untuk mengobati penyakit yang disebabkan infeksi kuman dan bakteri, seperti typus dan disentri amuba. Walaupun di dunia ini hampir sekitar 70 persen penyakit disebabkan oleh virus, biarkan saja menderita panas dingin selama lima hari. Mengkonsumsi paracetamol saja cukup, tidak perlu pakai antibiotik. Perlu diketahui, di dalam tubuh manusia ada miliaran kuman yang berbahaya tersebar pada beberapa bagian tubuh. Bahayanya banyak orang yang tidak mengetahui keberadaan kuman tersebut. Saat kekebalan tubuh masih bagus, kuman-kuman itu tenang-tenang saja. Tapi kalau kita minum antibiotik, kuman-kuman yang kebal itu akan berulah dan justru akan bereaksi saat orang mulai mengonsumsi antibiotik. Antibiotik yang kita makan itu menginisiasi terjadinya proses kekebalan terhadap kuman tersebut. Jadi, luka kecil-kecil tidak perlu antibiotik, operasi payudara yang ada benjolannya, tidak perlu pakai antibiotik. Oleh karena itu, dokter perlu mendidik pasiennya. Jelaskan mengapa ia memberi atau tidak memberi antibiotik. Sehingga pasien berusaha untuk melindungi diri dari resistensi itu.
Adakah data kematian yang dipicu resistensi antibiotik?
Sebenarnya data kasus pasien yang meninggal akibat resistensi antibiotik di Indonesia masih minim. Minimnya data yang kita miliki menyulitkan analisa atau mengambil langkah-langkah pecegahannya. Oleh sebab itu, kita mendorong pendataan yang lebih detail tentang resistensi atau kekebalan antimikroba termasuk antibiotik. Studi penelitian dan pengembangan (Litbang) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sampai saat ini kebijakan terkait resistensi antimikroba di Indonesia belum menyelesaikan atau meminimalkan masalah. Koordinasi lintas sektor terkait masalah antimikroba ini juga belum terlihat. Sebenarnya resistensi antimikroba ini jadi masalah serius. Merujuk Thailand, dari jumlah penduduk yang hanya sekitar 70 juta, angka kematian 38.000. Maka, jika penduduk Indonesia 240 juta jumlah kematian 130.000 orang per tahun.
© Copyright 2024, All Rights Reserved