KONSEP Marhaen yang dicetuskan oleh Bung Karno seringkali mengalami penyempitan arti. Ada dua hal yang seringkali terjadi, pertama, Marhaen hanya dimaknai sebatas “petani miskin”.
Padahal dalam buku "Indonesia Menggugat" (Indonesie Klaagt Aan, 1930) Bung Karno menyebut marhaen, ”Semua golongan kromo (kecil), baik petani kecil, buruh kecil, pedagang kecil, nelayan kecil, dan sebagainya. Mereka dimelaratkan oleh imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme yang telah mematikan perdagangan, pelayaran, dan petukangan di nusantara bagi kepentingan penjajah”.
Artinya, formulasi Marhaen dalam pengertian Bung Karno tak sebatas menunjuk pada golongan petani miskin dengan alat produksi terbatas. Melainkan semua kalangan yang dimarjinalkan secara ekonomi, baik memiliki alat produksi maupun tidak.
Kedua, konsep Marhaen seringkali dianggap usang, tak lagi relevan mengingat adanya perubahan zaman yang begitu cepat. Padahal Marhaen adalah entitas yang tertindas karena hasil kerja sistem dan struktur kapitalisme yang menindas. Maka dapat disimpulkan secara aksiomatik bahwa selama struktur dan sistem kapitalisme yang menindas itu masih tetap eksis maka entitas yang disebut Marhaen yang tertindas juga tetap eksis dan nyata.
Sudah barang tentu, perubahan zaman mempengaruhi gambaran ketertindasan kaum Marhaen saat ini yang besar kemungkinan akan berbeda dengan gambaran tentang kaum Marhaen di era saat Bung Karno merumuskan formula Marhaen itu sendiri. Namun perbedaan itu hanya sebatas pada circumstances yang dialami oleh kaum Marhaen akibat adanya perubahan pola dan sistem kerja kapitalisme itu sendiri. Perubahan itu tak serta merta menghilangkan aspek penindasan dari sistem kapitalisme dan semua perubahan tersebut berada di luar kendali si Marhaen.
Begitu juga dengan hadirnya gig economy, sebuah praktik ekonomi berbasis platform yang menggunakan internet. Gig economy menawarkan sistem kerja kemitraan yang berpusat kepada kemampuan individu untuk mendapatkan upah sembari memiliki otonomi dan kekuasaan untuk merancang jadwal serta lokasinya untuk bekerja.
Dengan masifnya kampanye “ekonomi berbagi/sharing economy”, gig economy adalah hubungan kerja jenis baru yang menghubungkan pekerja dengan konsumen melalui perantara platform digital untuk melakukan pekerjaan dalam waktu yang singkat.
Contoh gig economy yang populer di Indonesia adalah jenis on-demand-platform seperti Gojek, Grab, Maxim, dan Shopee Food.
Big-Tech Companies dan Kapitalisme Platform
Jeremy Gilbert dan Alex Williams dalam bukunya yang berjudul "Hegemony Now: How Big Tech and Wall Street Won the World" (and How We Win It Back), menjelaskan bagaimana kehadiran “big-tech companies” sebagai bagian dari pergeseran kapitalisme. Menurut Jeremy Gilbert dan Alex Williams, pascakrisis keuangan 2008 setelah kejatuhan raksasa keuangan Lehman Brothers tatanan kapitalisme neoliberal mulai kehilangan legitimasi dan krisis otoritas.
Sehingga narasi dominan di negara-negara kapitalis maju adalah tentang perubahan. Secara khusus, ada fokus baru pada kebangkitan teknologi: otomatisasi, ekonomi berbagi, cerita tak berujung tentang Uber for X dan, yang terbaru, pernyataan populer tentang internet untuk segala hal.
Maka muncul tatanan baru di mana platform digital menjadi teknologi baru yang utama bagi produksi dan kekuasaan. Sehingga Nick Srnicek, dalam karyanya "Platform Capitalism" menjelaskan bahwa kapitalisme platform harus dipahami sebagai rezim akumulasi baru yang berbeda.
Artinya, kapitalisme, ketika krisis melanda, cenderung direstrukturisasi. Teknologi baru, bentuk organisasi baru, cara eksploitasi baru, jenis pekerjaan baru, dan pasar baru semuanya muncul untuk menciptakan cara baru dalam mengakumulasi modal.
Tak lama, perubahan ini telah menerima label seperti “pergeseran paradigma” dari McKinsey dan “revolusi industri keempat” dari Executive Chairman, World Economic Forum (WEF) Klaus Schwab. Semua ini bagian dari transformasi kapitalisme untuk menghindarkan dirinya dari jurang krisis dan resesi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teknologi digital berfungsi sebagai media bagi penetrasi, ekspansi spasial dan perluasan produksi serta peningkatan keuntungan secara komparatif. Bahkan teknologi-digital menjadi medium untuk merenovasi “hubungan produksi” dalam sistem kapitalisme.
Namun yang membedakan kapitalisme platform dengan kapitalisme industri sebelumnya adalah peranan penting dari “data” (sentralitas data). Dalam kapitalisme platform, data menjadi sumber daya yang sentral yang menjadi dasar untuk berkembang dan memberi mereka keunggulan dibandingkan pesaing. Karena data menjadi sumber daya utama bagi kapitalisme platform, maka mereka harus dengan cepat mengembangkan cara untuk menyedot dan menggabungkan data. Dengan begitu, kapitalisme platform tumbuh dan berkembang sesuai dengan logika sentralisasi kapital yang berpusat pada data.
Maka tak heran jika big-tech companies berwatak ekspansif dalam melakukan merger dan akuisisi perusahaan-perusahaan startup perintis (new comers) di berbagai sektor yang tidak vertikal-linier dengan bidang usaha sebelumnya. Layaknya Grab mengakuisisi startup reservasi restoran yang berbasis di Singapura, Chope, atau Google mengakuisisi Nest Labs, sebuah startup pembuat perangkat rumah pintar. Semua ini adalah upaya monopoli dalam ekstraksi data.
Sehingga platform dirancang sebagai mekanisme untuk mengekstrak dan menggunakan data tersebut dengan menyediakan infrastruktur dan intermediasi di antara berbagai kelompok konsumen, platform menempatkan diri mereka dalam posisi di mana mereka dapat memantau dan mengekstrak semua interaksi antara konsumen-konsumen ini. Posisi inilah sumber kekuatan ekonomi dan politik mereka.
Eksploitasi dan Ilusi Kemitraan
Gig economy hadir dengan harapan sebagai jenis pekerjaan masa depan beserta semboyan “to be your own boss” atau “sharing economy” yang seakan menjanjikan kesejahteraan bagi para pekerjanya. Namun faktanya tak seindah tagline atau semboyan yang kerap dilontarkan.
Menurut survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan (Kemenhub), pada 2019 sebanyak 34,5 persen pengemudi ojek online hanya memiliki pendapatan di kisaran Rp1 juta–Rp2 juta per bulan.
Begitu juga yang tertuang dalam laporan Bank Dunia bertajuk Working Without Borders: The Promise and Peril of Online Gig Work menyebutkan mayoritas pengemudi taksi dan ojek online atau ojol kesulitan membayar utang. Mereka juga tak memiliki tabungan.
Selain dirugikan oleh perang tarif antarperusahaan aplikasi, para driver online juga bekerja di bawah kendali dan kontrol algoritma yang didesain oleh perusahaan aplikasi. Perusahaan aplikasi mendesain skema insentif dengan berpatokan pada tiga variabel algoritma yaitu poin, rating, dan performa.
Untuk memperoleh insentif para driver online dituntut untuk bisa memenuhi target poin, rating, dan performa yang jumlahnya tiap level berbeda-beda. Sehingga para driver online kerap bekerja dengan waktu kerja di luar batas normal (overtime), kerja berlebih (overwork), namun tidak memiliki perlindungan sosial, dan ketiadaan jaminan pendapatan yang layak dalam jangka panjang.
Apabila mereka tidak mampu memperoleh poin yang sudah ditargetkan, meningkatkan rating serta tidak mampu menjaga performanya maka konsekuensinya pendapatan mereka bisa hilang karena disanksi sepi order, dan pada kondisi tertentu dapat berakibat fatal, yaitu diputus mitra secara sepihak.
Bahkan bukan hanya tidak mendapatkan jaminan sosial yang layak, perusahaan aplikasi juga memberlakukan potongan diatas 20 persen untuk komisi perusahaan yang dibebankan ke pengemudi. Hal ini menjadikan hubungan kemitraan yang diberlakukan perusahaan platform jauh lebih buruk dibanding hubungan industrial konvensional dengan sistem kontrak.
Sehingga pekerjaan dalam gig economy yang dialami driver online layaknya seperti yang diungkapkan Sarah Mason sebagai “gamification of work”, di mana pekerjaan seperti “permainan” yang aturannya dikontrol sepenuhnya oleh perusahaan aplikasi melalui algoritma untuk memaksa pengemudi untuk bekerja lebih keras dan lebih lama sembari mengkalkulasi poin, bonus, persentase performa dan rating agar mendapatkan upah yang cukup dan memastikan mereka bisa terus mengikuti permainan perusahaan (tidak diputus mitra).
Di sisi lain, hak-hak dasar para driver online tidak dipenuhi oleh perusahaan aplikasi, karena para driver online diklasifikasikan sebagai mitra, bukan sebagai buruh/karyawan perusahaan. Dengan kata lain, penindasan yang dialami oleh driver online dibungkus oleh kuasa ilusi kemitraan.
Artinya dengan model kemitraan inilah justru posisi tawar para driver online sangat lemah. Untuk itu, pemerintah perlu memperkuat regulasi untuk memaksa perusahaan aplikasi agar memenuhi hak-hak dasar driver online serta memberikan sanksi yang tegas apabila perusahaan aplikasi tidak memenuhinya dan meningkatkan potongan komisi untuk perusahaan secara sewenang-wenang.
Dan yang tak kalah penting, untuk meningkatkan posisi tawar pengemudi ojek online diperlukan kesadaran dari para driver online tentang pentingnya serikat pekerja, terutama serikat pekerja yang memiliki program politik serta ideologis yang jelas dan kuat untuk melakukan pengorganisasian dan membangun strategi perjuangan ke depan.
Pemerintah pun perlu melarang perusahaan platform yang memasukkan aksi-aksi politik sebagai pelanggaran, karena kebebasan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat adalah hak semua warga negara yang dijamin konstitusi.
*Penulis adalah Ketua Umum DPP GMNI
© Copyright 2024, All Rights Reserved