Meski mengalami peningkatan, pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan kesehatan gigi dan mulut sejak dini, masih rendah. Masih banyak abai, meski penyakit gigi dan mulut dapat mengganggu pertumbuhan anak.
Riset Riskesdas menunjukkan kesadaran masyarakat pada tahun 2007 diangka 23,2 persen. Pada tahun 2013, angkanya meningkat menjadi 25,9 persen. Peningkatan tersebut hanya berkisar 2,7 persen.
Ketua Ikatan Dokter Gigi Anak Indonesia (IDGAI) Jakarta, Eva Fauziah mengatakan, penyakit mulut dan gigi menduduki urutan pertama dengan angka prevalensi sebesar 61 persen, serta menempati posisi ke-6 sebagai penyakit paling dikhawatirkan di Indonesia.
Diantara sejumlah penyakit gigi dan mulut, karies gigi saat ini masih jadi masalah utama. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut, 89 persen anak-anak dengan usia di bawah 12 tahun di Indonesia mengalami karies gigi.
“Melihat kondisi tersebut, Kemenkes pada tahun 2015 menargetkan anak Indonesia usia 12 tahun bebas karies di tahun 2030 mendatang,” terang Eva kepada politikindonesia.com, disela acara pemeriksaan gigi gratis terhadap 200 anak yatim yang bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat Nasional Bangun Sejahtera Mitra (BSM) di Jakarta, minggu (17/12).
Eva menyebut, pemeriksaan gigi gratis ini dalam upaya mewujudkan program pemerintah mengenai Anak Indonesia Bebas Karies Gigi 2030. Dalam acara ini, IDGAI menerjunkan 100 dokter gigi untuk melakukan tindakan pencegahan gigi berlubang kepada 200 anak dhuafa.
Acara ini juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut sejak usia dini.
“Orang tua harus jeli dalam memperhatikan warna gigi anak yang menjadi salah satu kunci menyelamatkan anak dari karies. Karena karies merupakan infeksi yang merusak struktur gigi dan menyebabkan gigi berlubang,” ujar dia.
Eva menambahkan, jika tidak ditangani, karies bisa menyebabkan nyeri, penanggalan gigi, infeksi, berbagai kasus berbahaya, dan bahkan kematian. Karies tidak terjadi dalam sekejap mata melainkan melewati proses berminggu-minggu.
“Apalagi, banyak kasus pasien yang datang ke kami sudah dalam kondisi pipi membengkak, sulit makan, kurang tidur. Terutama anak, hal itu bisa mengganggu tumbuh kembang, dan rutinitas belajar mereka. Anak jadi malas belajar, karena sulit konsentrasi. Bahkan ada kasus anak sakit gigi ternyata bakterinya sudah menyebar ke pembuluh darah, sehingga menyebabkan kematian,” ungkapnya.
Eva mengingatkan, ada beberapa kebiasaan yang terkesan sepele, tapi dapat merusak gigi anak. Kebiasaan buruk itu, di antaranya kebiasaan minum susu dengan menggunakan dot di malam hari menjelang tidur. Hal ini menyebabkan anak tertidur dengan genangan susu di mulut. Kondisi ini memicu aktivitas mikroba dalam mulut yang memfermentasi zat gula dalam susu. Jika kondisi tersebut terjadi berulang dalam jangka lama, bisa memicu terjadinya karies.
“Orangtua perlu memahami, mencegah atau menghentikan kebiasaan tersebut. Caranya, harus dibersihkan dengan air putih,” terang dia.
Eva mengungkapkan, ada banyak faktor yang menyebabkan mengapa hanya sedikit masyarakat yang memperhatikan kesehatan gigi. Salah satunya adalah minimnya tingkat pendidikan dan faktor ekonomi masyarakat.
Selain itu, keterlambatan masyarakat memeriksa kondisi kesehatan gigi dan mulut yang sudah parah adalah bukti minimnya sosialisasi mengenai pentingnya menjaga kebersihan gigi dan mulut. Kondisi yang parah bisa dicegah dengan memeriksakan gigi secara rutin paling tidak 6 bulan sekali.
“Memeriksa kebersihan gigi dan mulut sejak usia dini penting. Jika orang dewasa disarankan untuk ke dokter gigi setiap 6 bulan sekali, maka lain halnya dengan anak-anak. Paling tidak 3 bulan sekali atau 4 bulan sekali, karena anak masih dalam tahap tumbuh kembang. Ini sangat dianjurkan agar dokter bisa melakukan tindakan preventif pada anak jika teridentifikasi adanya masalah gigi,” tandasnya.
Sementara itu, Direktur Philanthropy LAZNAS BSM Umat, Rudi Irawan menjelaskan, kegiatan ini diselenggarakan sebagai bagian dari kepedulian pihaknya terhadap kesehatan gigi, terutama gigi anak. Karena pernah ada penelitian, bahwa sakit gigi mempengaruhi tingkat kerja seseorang. Hal itu terjadi karena kesadaran pemeriksaan dan pemeliharaan gigi masih rendah.
“Kami berharap kegiatan ini memberikan manfaat bagi mereka yang melakukan pemeriksaan gigi. Apalagi, antusias anak-anak terlihat dari ekspresi mereka. Bahkan, mereka terlihat tidak takut untuk memeriksakan giginya. Karena selain melakukan pemeriksaan gigi gratis, para dokter gigi anak itu juga mengedukasi pemeliharaan kesehatan gigi dan tindakan pencegahan gigi berlubang pada anak,” imbuhnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved