KRITIKUS yang meyakini penegakan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran merasa terwakili oleh kegiatan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di beberapa kota di Indonesia, yang menuntut pengadilan kepada Joko Widodo. Hal itu justru terjadi ketika masa jabatan sebagai presiden telah berakhir.
Kode keras dari Presiden Prabowo Subianto yang mengubah rencana perjalanan kepulangan Joko Widodo dari semula akan naik pesawat komersial ke Kota Solo, kemudian diubah dengan diantar oleh Presiden Prabowo Subianto ke Bandar Udara Halim Perdanakusuma Jakarta untuk naik pesawat TNI Angkatan Udara.
Bukan hanya itu, selama penerbangan di udara dikawal oleh pasukan tempur sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa Joko Widodo sebagai mantan presiden.
Di samping itu, kedatangan Joko Widodo di Solo ditemani berada dalam pengawalan Panglima TNI dan Kapolri. Juga disambut oleh banyak masyarakat yang mengelu-elukan dari Bandara Adi Soemarmo hingga kediaman. Lama perjalanan darat yang semula sekitar 15 menit, telah bertambah menjadi 3,5 jam, karena padatnya sambutan dari masyarakat setempat sepanjang Bandara Adi Soemarmo hingga tempat tinggal Joko Widodo.
Akan tetapi simbolisme tersebut gagal menghapus permintaan untuk mengadili Joko Widodo semasa memerintah selama 10 tahun. Sebagian kritikus justru menuduh sebagai kegiatan pencitraan, termasuk terhadap baliho yang bertebaran yang mengucapkan ucapan terima kasih atas purna jabatan.
Keberatan terhadap kinerja demokrasi tersebut di atas antara lain, misalkan ditulis oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) adalah tentang fenomena penyempitan ruang sipil, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penyelenggaraan Pilpres dan Pileg yang dipersepsikan berlangsung dengan penuh kecurangan.
Mengembalikan rezim otoritarian. Membangun politik sentralistik dan hegemoni kekuasaan. Tidak cocok dengan Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law. Menggunakan aparat keamanan, pertahanan, dan intelijen untuk menangani Rempang tahun 2023. Terkesan terguncang luar biasa hebat oleh penurunan Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2019 ke tahun 2021 berdasarkan Democracy Report.
Kebebasan sipil yang dinilai memburuk. Mengabaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Represivitas di Papua. Kegagalan dalam mereformasi Kepolisian. Pengeksploitasian sumber daya alam (SDA). Berbohong ke dunia internasional.
Melakukan kriminalisasi terhadap ekspresi. Mengembalikan militer ke ranah sipil. Menyalahgunakan intelijen. Penegakan hukum semakin buruk. Melakukan politik impunitas. Jadi pengukuran kemunduran demokrasi menggunakan pengukuran kinerja hukum, demokrasi itu sendiri, dan HAM.
Nawacita ditagih janji implementasi di dunia nyata sebagai praktek atas janji selama kampanye Pilpres. Janji dipandang sebagai utang dunia akhirat. Merasa dirugikan oleh UU 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Terluka oleh kegiatan rangkap jabatan, misalnya untuk praktek Statuta UI tahun 2022.
Merasa dirugikan oleh muatan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah masa pensiun hakim MK.
Mencoba perpanjangan masa jabatan presiden menjadi 3 periode, walaupun gagal terimplementasikan. Melemahkan unsur pengawas. Melemahkan parlemen. Mengesahkan revisi UU Otonomi Khusus dan Daerah Otonomi Baru Papua. Mengesahkan UU 1/2022 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Mengesahkan UU 3/2022 tentang Ibukota Nusantara (IKN). Membubarkan ormas Front Pembela Islam (FPI) tanggal 30 Desember 2020. Menyerang dan mengancam pembela HAM mengunakan cara hacking, doxing, profiling, impersonasi, phishing, defacing, menggunakan serangan buzzer tanpa pengusutan kasus-kasus tersebut.
Membentuk virtual police. Meruntuhkan kebebasan akademik. Agenda reformasi sektor keamanan mengalami kemunduran. Masih banyak lagi yang lainnya.
Opini yang ditulis dan dipidatokan oleh Kontras kurang lebih sama dengan aspirasi dari para kritikus lainnya terhadap kinerja Joko Widodo di bidang demokrasi, praktek hukum, dan lain sebagainya sebagaimana sebagian telah tertulis di atas.
Persoalannya adalah Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara dalam fungsi sistem presidensial dianggap secara moral dan fisik maupun politik bertanggung jawab atas semua hasil kinerja pemerintahan, baik secara langsung dan tidak langsung, baik secara material tangible maupun intangible.
Kritikus terkesan menggunakan asumsi mendasar bersifat pokok bahwa presiden bekerja tanpa seorang pembantu satu pun. Dianggap para Menteri Koordinator, Menteri, Wakil Menteri, Kepala Badan, Dirjen, Deputi, eselon-eselon di bawahnya hingga pejabat eselon terendah, maupun aparatur sipil negara, serta aparatur TNI Polri dalam jajaran pemerintahan eksekutif seratus persen hanya ditanggung jawab oleh Joko Widodo seorang diri di alam nyata dunia ini sebagai kesatuan kinerja pemerintahan yang serba solid tanpa fragmentasi secuil pun.
Jadi kalau ada dakwaan tentang kesalahan kebijakan dan praktek di lapangan, maka itu semua serba otomatis adalah sebagai suatu kesalahan untuk ditimpakan dan ditanggung sepenuhnya seratus persen kepada Joko Widodo pribadi.
Kenaifan penggunaan asumsi seperti ini, kiranya terkesan kuat menyebabkan kemunculan permintaan mengadili Joko Widodo di luar forum DPR MPR dan pengadilan MK selama masih menjabat, melainkan menunggu setelah masa dinas telah berakhir.
Tidak mengherankan, jika pemikiran para kritikus aktivis, kemudian terepresentasikan secara nyata dan terang-benderang pada demonstrasi-demonstrasi mahasiswa di beberapa universitas di beberapa kota. Mahasiswa yang setuju untuk mengadili Joko Widodo, karena mempunyai pemikiran kritis yang terkesan serba sama dan sebangun tersebut di atas.
Sebenarnya apa yang dialami oleh Joko Widodo kurang lebih sama dengan perlakuan pasca berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto, maupun sebelumnya.
Jadi bukanlah merupakan sesuatu peristiwa yang baru, baik menggunakan jalur pengadilan, atau pun menggunakan demonstrasi jalanan. []
Associate Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved