Para ketua umum partai politik yang merangkap jabatan sebagai pejabat publik kini tengah dalam sorotan. Posisi merangkap jabatan tersebut dikhawatirkan menyebabkan penyimpangan penggunaan kekuasaan alias KKN, konflik kepentingan dan tidak maksimalnya pejabat negara mengurus tugas-tugas kenegaraan. Selama ini, Presiden Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden Hamzah Haz, Ketua DPR Akbar Tanjung, Ketua MPR Amien Rais memang merangkap jabatan tersebut.
Para pejabat publik tersebut memang tampak enggan melepaskan jabatan strukturalnya di partai politik. Selain karena tak ada peraturan yang mengaturnya, para elit partai tersebut boleh jadi memang mempertimbangkan posisi politiknya dalam pemilihan umum tahun 2004 mendatang. Bukan tidak mungkin, jika tak lagi memimpin partai, jabatan dan segala kemudahan yang kini diperoleh bisa terbang begitu saja. Satu hal lagi, yang sudah bukan rahasia, jabatan dan fasilitas publik yang dipegang elit parpol kerap dijadikan ‘kuda tunggangan’ untuk kepentingan partai termasuk untuk mengumpulkan dana politik.
“Gejala penyimpangan itu dari waktu ke waktu dapat terlihat, sehingga dibutuhkan percepatan dalam pembentukan pengaturan mengenai hal tersebut,” ujar Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah yang juga pengamat politik Prof Dr Azyumardi Azra dalam konferensi pers usai menghadap Wapres Hamzah Haz di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (19/2).
Sejak pertama kali Megawati Soekarnoputri yang juga Ketua Umum PDI Perjuangan terpilih sebagai Presiden RI, Azyumardi mengaku, telah meminta supaya tidak ada rangkap jabatan antara ketua umum partai politik dan pejabat publik. Karena dalam posisi demikian sangat besar kemungkinan terjadi konflik kepentingan.
“Jadi ini pendapat pribadi, bahwa sebaiknya pimpinan partai yang duduk di berbagai lembaga, apakah lembaga eksekutif atau legislatif tidak memegang jabatan rangkap sebagai ketua umum partai dan sebagai pejabat publik, karena sangat besar terjadi kepentingan {conflict of interest} antara jabatan partai dan jabatan publik yang dipegangnya,” paparnya.
Sehingga, lanjut Azra, pengaturan mengenai jabatan rangkap perlu diperjelas dan dipercepat agar tidak terjadi penyalahgunaan ataupun pemanfaatan fasilitas publik untuk kepentingan partai.
“Inilah yang saya sebut {conflict of interest}. Kita belum lihat adanya penyimpangan yang eksplisit, tapi sangat besar kemungkinan dan saya kira gejala seperti itu dapat kita lihat dari waktu ke waktu,” ungkapnya.
Pada bagian lain, ia menegaskan pentingnya tekanan publik dan LSM yang bergerak dalam pemantauan lembaga publik dalam memainkan perannya sebagai alat kontrol, karena kecenderungannya partai politik yang memiliki representasi di parlemen akan selalu berusaha mengamankan kepentingan partainya semaksimal mungkin, meskipun hal tersebut tidak sesuai dengan kepentingan publik.
“Dalam hal ini tekanan publik dan NGO yang bergerak dalam pemantauan lembaga publik, apakah eksekutif atau legislatif harus tetap memainkan perannya sebagai alat kontrol. Karena kalau tidak demikian, partai-partai yang punya kursi di DPR akan berusaha mengamankan kepentingan mereka, meskipun itu tidak sesuai dengan kepentingan publik,” tandasnya
Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Ermaya Suradinata mengharapakan agar para ketua umum partai politik yang merangkap jabatan sebagai pejabat negara perlu mempertimbangkan untuk menunjuk pelaksana harian (Plh.) di partai masing-masing.
"Kita minta mereka berkonsentrasi penuh memimpin bangsa dan pemerintahan," kata Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ermaya Suradinata dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR di Senayan, Jakarta, Senin (18/02/2002).
Menurut Ermaya, ia tidak menyarankan mereka untuk melepaskan jabatan, sebab mereka menjadi pejabat negara seperti presiden, wakil presiden, dan pejabat tinggi negara karena partainya. Ini, kata dia, berlaku untuk semua, bukan hanya PDIP, yang kebetulan ketua umumnya Megawati Soekarnoputri yang juga presiden.
Gagasan menghindari rangkap jabatan, menurut Sekjen PDIP Soetjipto, bisa dipahami dan kemungkinan PDIP akan membahas masalah itu dalam rapat kerja nasional mendatang. Ia menilai, lebih baik bila masalah rangkap jabatan diatur undang-undang. Namun, menurut Sekjen PDIP itu, Rakernas PDIP memutuskan ketua umum tetap memegang jabatannya di partai meski sudah menjadi presiden. "Meskipun Ibu Mega sibuk mengurusi pemerintahan, DPP bisa mengatasi permasalahan itu," ujarnya.
Menanggapi perlunya menghindari rangkap jabatan, Ketua MPR Amien Rais yang juga Ketua Umum PAN menilai bahwa usul agar para ketua umum yang merangkap jabatan di posisi kenegaraan harus mundur dari parpol bagus dan masuk akal. Ia akan berkonsultasi dengan rekan-rekannya mengenai soal itu. "Ini saya pertimbangkan serius, betul. {Wait and see}," katanya.
Sementara, Wakil Presiden Hamzah Haz menegaskan, sejauh ini belum ada UU yang mengatur hal itu. Bila rangkap jabatan dipermasalahkan, Hamzah meminta ada aturan khusus tentang hal itu dan dimasukkan dalam UU Kepresidenan yang belum diselesaikan DPR. "Jadi, ada kepastian hukum," ujarnya di Istana Wapres kemarin.
© Copyright 2024, All Rights Reserved