Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan membantu sejumlah industri tekstil dalam negeri seperti Sritex Cs dalam menghadapi serbuan tsunami tekstil impor, salah satunya dari China.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati akan menerbitkan peraturan menteri keuangan soal pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk sejumlah komoditas, khususnya tekstil.
Langkah tersebut dilakukan sebagai respons atas permintaan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
"Jadi Permenkeu akan keluar berdasarkan permintaan beliau (Menperin) dan Menteri Perdagangan. BMPT dan BMAD seterusnya akan di-follow up berdasarkan permintaan Mendag dan Menperin," kata Sri Mulyani di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (25/6/2024).
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) menjelaskan, nantinya BMAD dan BMPT tidak hanya akan dikenakan terhadap produk tekstil saja, tapi juga untuk barang elektronik, alas kaki hingga keramik.
BMTP dan BMAD dinilai dapat melindungi industri Indonesia yang mengalami kerugian akibat maraknya aktivitas impor. "Semua dikenakan BMTP dan anti-dumping sekalian," kata Zulhas.
Sedangkan untuk merumuskan perlindungan pelaku industri tekstil lokal dalam jangka panjang, ia mengatakan Kementerian/Lembaga terkait masih membahas soal revisi permendag.
Salah satu solusinya adalah mengembalikan aturan ke Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Ada pun Permendag itu merupakan perubahan ketiga dari Permendag 36 Tahun 2023 sebagai upaya mengatasi penumpukan kontainer di pelabuhan.
"Usulan kementerian perindustrian apakah kembali ke Permendag 8, atau apakah susun aturan baru, nanti kami akan berunding lebih lanjut," kata Zulhas.
Saat ini industri tekstil di Tanah Air tengah merana. Kondisi ini diketahui dari pernyataan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN). Organisasi itu menyebut kinerja penjualan mereka lesu belakangan ini.
Presiden KSPN, Ristadi, mengatakan, tingkat pesanan yang masuk ke sejumlah pabrik tekstil di Indonesia terus menurun. Nestapa pabrik tekstil Indonesia menjalar.
Imbas lesunya penjualan itu, mereka harus melakukan efisiensi, dengan salah satunya melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pekerja.
KSPN mencatat sekitar 13.800 buruh tekstil sudah terkena PHK dari Januari 2024 hingga awal Juni 2024 imbas masalah itu.
Ristadi mengatakan data PHK yang terjadi di Jawa Tengah lebih masif. Ristiadi mencatat pabrik-pabrik yang terdampak, misalnya di grup Sritex.
Ristiadi mencontohkan tiga perusahaan di bawah grup Sritex yang mem-PHK sejumlah karyawannya. Juga PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, PT Bitratex di Kabupaten Semarang, dan PT Djohartex yang ada di Magelang.
Direktur Keuangan PT Sri Rejeki Isman (Sritex), Weilly Salam, mengakui hal tersebut. Weilly blak-blakan soal kondisi sulit yang dialami perusahaan bahkan di tengah isu bangkrut yang melanda Sritex. Namun dia membantah Sritex bangkrut.
Welly mengatakan, saat ini kondisi industri tekstil sedang tidak baik-baik saja. Hal itu terjadi buntut kondisi geopolitik dan banjir barang murah dari China.
"Kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supply chain dan penurunan ekspor karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di Eropa maupun AS," kata dia melalui keterangan resmi di keterbukaan informasi BEI, Sabtu (22/6/2024).
Di tengah masalah itu, ungkap Weilly, Indonesia malah kebanjiran produk tekstil dari China. Weilly menyebut situasi geopolitik dan gempuran produk China masih berlangsung, hingga penjualan belum pulih.
"Kendati, perusahaan tetap beroperasi dengan menjaga keberlangsungan usaha serta operasional dengan menggunakan kas internal maupun dukungan sponsor," jelas Weilly.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana, mengatakan, maraknya PHK di industri tekstil disebabkan kondisi global yang masih tidak baik-baik saja. Imbas kondisi itu, daya beli masyarakat dunia lesu karena lonjakan inflasi.
Selain inflasi, kondisi global diperburuk dengan perang Israel - Palestina. Perang tersebut berdampak pada jalur pelayaran. Imbasnya, kapal yang mengangkut produk tekstil harus memutar. Hal itu katanya, membuat ongkos atau biaya pengapalan meningkat sebanyak 5 kali lipat.
Akibatnya industri tekstil menahan pengiriman barang yang melewati kawasan tersebut. Imbasnya, pasokan menumpuk. Salah satu penumpukan terjadi di China sebagai produsen tekstil dan produk tekstil terbesar di dunia.
"Kondisi ini mengakibatkan dunia kelebihan pasokan termasuk Tiongkok sebagai produsen TPT terbesar di dunia. Kelebihan pasok ini membanjiri negara-negara yang lemah dalam menerapkan perlindungan perdagangan salah satunya Indonesia," ungkap Danang.
Menurut Danang, penurunan permintaan membuat perusahaan mau tidak mau melakukan rasionalisasi dan efisiensi pada jumlah tenaga kerjanya. API mencatat hingga Mei 2024, total PHK yang terjadi di industri tekstil kurang lebih 10.800 tenaga kerja. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved