Pekan ini, blantika pers di Indonesia mendapat suguhan materi pembelajaran yang cukup berarti. Sampai-sampai mantan Presiden Republik Indonesia, K.H. Abdurrahman Wahid, bersama redaktur senior majalah Tempo Goenawan Mohammad dan Pemimpin Redaksi Koran Tempo Bambang Harymurti, masuk ke ruang sidang dan dengan anteng, bak diatas di sofa ruang keluarga, menduduki kursi Majelis Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Rabu (1/10).
Ada apa? Sebenarnya hanya sebuah hal yang sangat {remeh-temeh}, dan biasa-biasa saja. Sebab hal seperti itu kerap terjadi dalam sebuah proses peradilan perdata. Tak ada yang istimewa. Dan tak ada yang harus diistimewakan, memang. Hanya sebuah penetapan sita jaminan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur.
Yang cukup istimewa, dan belum pernah terjadi dalam sejarah peradilan di negeri ini, mimbar dan kursi majelis hakim yang begitu terhormat, diduduki serta dipergunakan untuk memberikan keterangan pers.
Mengapa bisa terjadi? Adalah Perkara No. 180/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Tim yang menghantarkan hakim untuk menetapkan sita jaminan. Melalui penetapan nomor 180/Pdt.G/2003/PN.Jkt Tim,jo No.20/CB/2003 tertanggal 25 September 2003, Ketua Majelis Hakim PN Jakarta Timur, Mabruq Nur menetapkan sita jaminan atas rumah milik Goenawan Mohamad (tergugat) dan sebuah bangunan di Kebayoran Centre Blok a 11A-A 15, Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta Selatan, yang sehari-hari dipergunakan sebagai kantor Koran Tempo, milik (tergugat) PT. Tempo Inti Media Harian, penerbit Koran Tempo.
Nah, penetapan inilah yang kemudian menimbulkan beragam komentar. Ada yang menyebut, ini merupakan sebuah ancaman bagi kehidupan pers. Bahkan ada yang mengimbau, agar penetapan ini harus dilawan. Sebuah ajakan yang
keliru. Bukankah melawan keputusan pengadilan merupakan sebuah tindakan melawan hukum juga.
Yang cukup menggelikan, adalah komentar salah seorang kuasa hukum Tempo, Todung Mulya Lubis. Seperti dikutip {Media Indonesia} (1/10),Todung menilai keluarnya penetapan tersebut merupakan bentuk intimidasi dan teror yang dilakukan konglomerasi. Entah apa komentar yang akan dikeluarkan Todung, jika ia melihat suasana di ruang sidang PN Jakarta Timur pada Rabu (1/10).
“Pernyataan Todung itu tidak pantas dikeluarkan oleh seorang pengacara. Sebab, apabila Todung menganut asas {equality before the law}, dia tidak usah memandang Goenawan Mohamad sebagai tokoh terhormat. Apa hebatnya
Goenawan Mohamad?,’ ujar Hotma Sitompoel, pengacara dan pemilik kantor {Law Office Hotma Sitompoel & Associates}.
Sebenarnya, bila saja tidak ditanggapi secara emosional dan reaksional, soal sita jaminan sudah diterangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Disana disebutkan, pihak penggugat mempunyai hak untuk mengajukan permohonan sita jaminan atas harta benda milik tergugat kepada majelis hakim.
Sita jaminan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain harus ada sangkaan yang beralasan, barang yang disita merupakan barang kepunyaan orang yang terkena sita, permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara dan harus bisa diletakkan sita terhadap barang-barang yang bergerak dan tidak bergerak.
Nah, dalam konteks penetapan sita jaminan majelis hakim PN Jakarta Timur, unsur-unsur tersebut sudah dipenuhi. Mengapa harus berbondong-bondong ke pengadilan? Bahkan, kuasa hukum Tempo, baik secara pribadi maupun institusi, setidaknya dalam perkara No. 232/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pst yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, tergugat Ahmad Taufik, melalui kuasa hukumnya Ahmad Yani dalam gugatan baliknya juga mengajukan permohonan sita jaminan terhadap asset Tomy Winata dan Grup Artha Graha. Hal serupa (memohon sita jaminan) juga dilakukan PT. Tempo Inti Media Tbk, dan Bambang Harymurti yang memohon sita jaminan ke PN Jakarta Pusat terhadap asset Tomy Winata. Lantas, apa yang aneh, atau hukum mana yang dilanggar?
Padahal, jika dilihat dari proses hukum dan dengan kacamata yang jernih, tanpa ada pretensi yang lain, sebenarnya TW tidak ingin berperkara di pengadilan melawan Tempo. Niat tersebut ditunjukkannya---melalui kuasa hukumnya, dengan melayangkan surat Somasi ke majalah Tempo. Namun apa yang didapat? Hingga habis tenggat waktu untuk menjawab Somasi, yang diperoleh hanya sebuah pernyataan tidak ingin meminta ma’af yang dikeluarkan melalui penerbitan Koran Tempo.
Artinya apa? Majalah Tempo berkeyakinan bahwa berita dengan tajuk {Ada Tomy di Tenabang,} itu benar adanya. Mereka meyakini bahwa berita mereka memiliki fakta dan data yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Bila anak bangsa ini tetap berkomitmen, bahwa Republik Indonesia ini harus ditegakkan berdasarkan hukum, maka untuk mendapatkan kebenaran secara hukum, pengadilanlah tempatnya. Bukan dengan cara membangun opini publik melalui media massa. Sebab, bila opini yang dijadikan dasar untuk menegakkan hukum, tak perlu lagi ada polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Cukup hanya media massa.
Adalah sesuatu yang juga biasa, manakala dua pihak yang berperkara di pengadilan, ada pihak yang kalah dan ada yang menang. Pengadilan tak pernah membuat putusan yang mendua: sama kalah dan sama-sama menang. Dengan demikian, bila yang menghujat pengadilan tidak adil, ya itu reaksi yang lumrah saja. Begitu juga sebaliknya.
Dalam konteks perkara Tomy Winata dan Tempo, sebenarnya, langkah TW itu semata-mata ingin membela hak asasinya yang teraniaya. Apalagi, ketika {hearing} bersama Komisi I DPR RI, disarankan kepada para pihak yang ingin berseteru, untuk menyelesaikan kasus ini harus menempuh jalur hukum yang ada di Indonesia. Dan para wakil rakyat itu akan memonitor seluruh proses hukum yang berlangsung.
Akhirnya, soal sita jaminan memang merupakan bukti adanya sebuah proses peradilan. Bukan buah keahlian dari hasil memutarkan balikkan fakta dan opini.
Menyitir ungkapan Andreas Harsono, seperti yang ditulis majalah TRUST edisi nomor 24 tahun I, “…kalau seorang wartawan salah, ya harus meminta ma’af dan melakukan koreksi. Suka tak suka, gerakan politik atau tidak, jurnalisme harus senantiasa proporsional dan komprehensif…” Lantas, “….gerakan politik melulu, tanpa diimbangi kritik terhadap jurnalisme itu sendiri, pada gilirannya bisa membahayakan demokrasi juga.”(*)
© Copyright 2024, All Rights Reserved