Politisi di Partai Golkar kembali cakar-cakaran. Ceruk perpecahan mulai terbuka lebar. Tim Penyelamat Golkar (TPG) dimunculkan, setelah Akbar Tanjung, sang ketua umum, kian terperosok dalam skandal Bulog II. Akankah Golkar mengikuti jejak PPP dan PKB?
TPG bentukan Dewan Penasehat Golkar itu dipimpin oleh Cosmas Batubara dengan anggota Muladi, Suhardiman, Pinantun Hutasoit dan AA Baramuli. Kabarnya, TPG memiliki agenda terselubung untuk mendepak Akbar sekaligus menguasai Golkar.
Memang, perpecahan internal bukan hanya melanda Golkar. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) masih menyisakan konflik terbuka antara PKB Alwi Shihab dan PKB Matori. Perpecahan juga melanda Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kubu Zainudin MZ yang tak puas dengan kebijakan Hamzah Haz , memilih keluar dan mendirikan PPP Reformasi. Sementara konflik laten di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terkuak melalui momen mundurnya Sophan Sophian dari DPR/MPR pekan lalu.
Bila disimak, apa yang terjadi di Partai Golkar bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Sejak kejatuhan Soeharto (1998), partai ini memang mengalami krisis yang luar biasa. Sebagai partai pendukung dan penopang suksesnya Orde Baru, sebagian publik pun mendesak agar partai ini dibubarkan.Alasannya, bagaimanapun Golkar bertanggungjawab atas kehancuran ekonomi dan praktik-praktik politik kotor selama rezim Soeharto berkuasa.
Krisis identitas dan desakan pembubaran Golkar dijawab secara ‘canggih’ melalui manuver Akbar Tanjung dan kawan-kawan. Akbar terpilih menjadi ketua umum dalam Munaslub tahun (1998), melalui pertarungan sengit dengan kubu Edy Sudradjat. Akbar dan kawan-kawan pun meluncurkan ‘Golkar Dengan Paradigma Baru”. Partai Golkar dibawah kepemimpinan Akbar Tanjung diklaim sebagai partai dengan visi reformasi dan dengan demikian terbebas dari dosa politik masa lalu. Agak aneh memang.
Tentu saja, munculnya Akbar dan tersingkirnya Edy Sudrajat, yang akhirnya mendirikan PKP, tak bisa dilihat secara sederhana, sebagai sebuah pertarungan hanya untuk merebut kursi pemimpin partai. Bagaimanapun Golkar yang selama orde baru, menjadi mesin politik Soeharto, tak bisa dipisahkan dari kekuatan modal kroni Cendana dan jaringan kekuasan yang ada. Disinilah sebetulnya terjadi pertarungan kepentingan, antara kelompok yang ingin menggunakan Golkar sebagai kekuatan politik yang berorientasi pengamanan posisi dan kelompok muda di barisan Akbar yang ingin membebaskan Golkar dari masa lalu. Tentu itu bukan hal yang mudah.
Pada konteks pengelolaan konflik, politisi di Golkar boleh dibilang piawai. Inilah yang tidak bisa dimiliki partai politik lainnya. Ketika terjadi ‘penghianatan’ oleh Akbar dan kawan-kawan terhadap BJ Habibie dalam sidang Umum MPR (1999), Golkar yang nyaris terbelah , masih tetap terintegrasi dalam satu wadah tunggal.
Dari sisi ini, kemampuan organisasi politik Golkar untuk melakukan konsolidasi dan meredam konflik yang muncul harus diakui, telah menjadikan partai ini tetap eksis. Paling tidak, jika dibandingkan dengan partai-partai lain yang kini terbelah dan faksi-faksi politiknya memilih jalan sendiri-sendiri.
Begitulah politik. Lagi-lagi, konflik dan konsensus ditentukan oleh kepentingan masing-masing pihak. Selagi kepentingan bisa terakomodasi, maka jalan terus. Kalau tidak, cari jalan lain. Bila perlu menyebrang atau bikin partai sendiri.
Sekarang, bagaimana nasib Partai Golkar. Sang ketua umum yang dikenal ‘licin’ dan piawai berpolitik, mulai terjerembab dalam dalam skandal Bulog II. Kepanikan melanda partai berlambang pohon beringin itu. Paling tidak pembentukan TPG adalah indikasi kuat Golkar semakin panik akibat tersangkutnya Akbar dalam persoalan hukum itu.
Genderang perang antara faksi yang berada di TPG melawan kubu Akbar Tanjung di DPP Partai Golkar telihat jelas. Ada indikasi kuat bahwa kubu TPG memang punya agenda untuk menguasai Golkar dan menyelamat Golkar agar tak terseret bersama Akbar Tanjung. Itu terlihat dari upaya TPG yang memiliki spektrum politik beragam untuk mendorong percepatan Munaslub pada 2003.
Tentu saja, kubu Akbar tak bisa membiarkan manuver TPG. Ketua Umum Golkar ini mengingatkan bahwa TPG tidak punya fungsi operasional dan mengambil keputusan partai. Perseteruan kian panas. Slamet Efendy Yusuf, salah seorang Ketua DPP Partai Golkar mengakui muncul pro dan kontra di dalam partai sehubungan terbentuknya TPG .
Slamet berharap, TPG tetap harus berada dalam kerangka memberikan nasihat dan tidak melakukan kegiatan operasional. "Kalau mereka memiliki agenda aksi, seperti mendorong daerah untuk melakukan Munaslub, itu jelas bukan lagi fungsi penasihat." Soal Munaslub, kata Slamet, hanya dapat dilakukan apabila diusulkan oleh dua per tiga Dewan Pimpinan Daerah (DPD), sedangkan saat ini tak satu DPD pun yang mengusulkan itu.
Serangan terhadap TPG, khususnya kepada Muladi secara keras dilontarkan oleh fungsionaris Partai Golkar Mahadi Sinambela. “TPG bukan merupakan institusi resmi partai. Tim itu hanya merupakan gagasan sebagian anggota Dewan Penasihat. DPP tidak pernah membicarakan soal tim tersebut,” kata Sinambela.
Sementara rekan Muladi di TPG, Suhardiman juga membantah pernyataan Muladi. Menurut ‘dukun politik’ ini, TPG tidak pernah membahas soal operasional, termasuk rencana menggelar Munaslub 2003 untuk menon-aktifkan Akbar Tanjung. “Wong kita belum pernah rapat.” Mungkin, apa yang diungkapkan Muladi, itu ungkapan yang akan disampaikan dalam rapat TPG yang direncanakan akan digelar pekan depan,” ungkap tokoh Soksi ini meyakinkan.
Dalam pandangan Suhardiman, Akbar Tanjung hanyalah sasaran antara dari kelompok yang ingin menghancurkan Golkar dengan menggunakan kasus Bulog. “Akbar itu sasaran antara, sasaran akhirnya Pratai Golkar,”
Tapi Muladi tampaknya sudah all-out. Pernyataan, Suhardiman dibantah oleh mantan menteri yang dikenal akbar dengan Habibie ini. TPG dibentuk secara resmi dan merupakan keputusan Dewan Penasihat Partai Golkar. Pada pertemuan itu, juga hadir anggota DPP Partai Golkar, seperti Agung Laksono, Aulia Rahman, dan Bomer Pasaribu. Kata Muladi, keputusan ini juga sudah disampaikan oleh Ketua Dewan Penasihat Harmoko kepada Akbar Tandjung.
Pertanyaannya kemudian, keputusan yang mana yang dilaporkan Harmoko kepada Akbar? Soal pembentukan TPG atau soal pernyataan Muladi? Memang, secara realitas politik, Partai Golkar memang mengalami tekanan berat. Apalagi, saat ini musuh-musuh politik Akbar kian menyatukan langkah. Apakah Akbar bisa bertahan? Kepiawaian Akbar dan faksinya dalam menata konflik tampaknya kembali mendapat tantangan. Mampukah mereka?
© Copyright 2024, All Rights Reserved